Senin, 23 Februari 2015

Metode Pengajaran Sistem Sorogan Ala KH Ali Maksum - (6)

__________________________
Oleh : Achmad Suchaimi






Pengajaran Kitab Kuning dengan sistem sorogan yang diterapkan di pesantren-pesantren pada umumnya juga memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Sorogan sebenarnya merupakan sistem pengajaran individual yang sesuai dengan perkembangan pendidikan modern. Proses pengajarannya: santri terlebih dahulu mempersiapkan materi bacaan dan mencari makna lafzhiyyah setiap kata, baik dengan cara mencarinya di kitab kamus Arab-Indonesia misalnya, maupun dengan jalan bertanya kepada teman-teman seniornya. Kemudian ia menyetorkan kepada kiai bacaan kitab dan menterjemahkan kata perkata kedalam bahasa Daerah (Jawa). Kiai meluruskan (membenarkan) jika terjadi kesalahan, baik dalam bacaan maupun terjemahannya. Kiai terkadang bertanya kepada santri, atau memberi kesempatan kepada santri untuk bertanya tentang persoalan yang berkaitan dengan susunan kalimat bahasa Arab (nahwu), arti terjemahan, maupun isi kandungannya.

Dari ilustrasi proses pembelajaran sistem sorogan tersebut dapatlah diketahui beberapa kelebihan, diantaranya :
a.   Dalam sistem sorogan, kiai dan santri sama-sama aktif dalam proses pembelajaran
b.   Kiai dan santri dapat saling mengenal.
c.  Kiai dapat mengenali, mengetahui, dan mengevaluasi tingkat perkembangan intelektual atau kemampuan belajar santri
d.  Santri lebih cepat, trampil dan matang dalam membaca teks kitab dan memahami isi kandungan Kitab Kuning.
e.   Mendorong santri untuk belajar secara otodidak (mandiri).
f.    Santri lebih mudah berdialog atau bertanya jawab secara langsung dengan kiai.
g.  Sistem sorogan merupakan wadah kaderisasi yang tepat untuk mempersiapkan calon-calon kiai dan ustadz yang ahli membaca dan memahami isi kandungan Kitab Kuning, yang untuk selanjutnya dikembangkannya dalam pengajaran sistem weton.
h.  Keaktifan, kerajinan, ketekunan, kedisiplinan dan kesabaran dari individu santri sangat menentukan keberhasilannya dalam menguasai Kitab Kuning.

Sedangkan kelemahan sistem sorogan secara umum ialah bahwa sistem ini kurang diminati oleh sebagian besar santri di pesantren-pesantren pada umumnya, hanya sebagian santri senior dan ustadz yunior yang aktif mengikutinya. Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa sistem sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, karena sistim ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisipilinan pribadi santri.[1] Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala yang menghambat para santri, diantaranya:
a.  Adanya perasaan takut, karena santri dituntut lebih siap dan harus menguasai materi bacaan beserta makna lafzhiyah sebelum maju ke kiai.
b.  Adanya perasaan ketidakmampuan santri, disebabkan minimnya kemampuan santri dalam menguasai ilmu alat (shorof dan nahwu).
Berdasarkan beberapa kelebihan yang dimiliki sistem sorogan ini dan betapa pentingnya sistem sorogan sebagai sarana yang paling efektif untuk menyiapkan kader-kader ulama’ yang dapat diandalkan kemampuannya dalam menguasai Kitab Kuning, K.H. Ali Maksum mewajibkan sistem sorogan ini kepada seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari santri baru (yunior), santri senior,  sampai pada para ustadz yunior.[2]

Adapun sistem sorogan yang sempat menjadi “momok” para santri pada sebagian besar pesantren ini, oleh K.H. Ali Maksum dikembangkan sedemikian rupa sambil meminimalisir kelemahan-kelemahannya, sehingga sistem ini tidak lagi menakutkan dan tidak hanya dimonopoli oleh para santri senior dan ustadz yunior. Untuk keperluan ini, K.H. Ali Maksum melakukan langkah-langkah pendekatan sebagai berikut  :
a.  Menjadikan sistem sorogan sebagai sarana latihan bagi santri untuk memperbagus cara penulisan, pembacaan, dan penterjemahan teks-teks berbahasa Arab.
b.   Menjadikan sistem sorogan sebagai sarana pembiasaan bagi santri untuk mempelajari Kitab Kuning secara mandiri (autodidak).
c.   Menerapkan metode, tehnik/prosedur sorogan yang beragam dan berbeda antara santri baru (yunior), santri senior dan ustadz yunior.

Dalam proses pengajaran sistem sorogan ini, K.H. Ali Maksum lebih menekankan proses pembelajarannya secara mandiri atau autodidak. Kiai menentukan suatu kitab tertentu yang sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan pengetahuan santri. Santri berusaha mengkaji kitab ini secara mandiri, baik dengan cara mencari arti di kitab-kitab Kamus, bertanya atau minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, maupun dengan cara menelaah kitab yang sama yang sudah ada terjemahan makna gandul-nya.
Sorogan dilaksanakan setiap hari, kecuali hari jum’at, waktunya antara ba’da shalat shubuh sampai kira-kira pukul 08.30 WIB. Beberapa santri[3] dengan tingkatan pengetahuan yang berbeda hampir bersamaan datang dan menghadap ke kiai didalam satu majlis di ruang belajar yang sekaligus ruang tempat tidur pribadi K.H. Ali Maksum[4] untuk menyetorkan pembacaan kitabnya masing-masing dengan suara keras, sementara kiai hanya cukup mendengar bacaan santri, sambil meluruskan/membenarkan jika terjadi kesalahan bacaan, dan terkadang mengajukan beberapa pertanyaan, atau semacam dialog kecil.[5]  Selesai penyetoran bacaan, K.H. Ali Maksum membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks kitab yang dibaca santri, atau pada batas akhir tulisan didalam buku catatannya.

Tujuan pengajaran yang ingin dicapai dari sistem sorogan ini adalah:
a.   Mendidik para santri agar mampu dan terampil membaca Kitab Kuning.  
b.   Mendorong para santri untuk memperdalam, memperluas wawasan dan mengembangkan kajian Kitab Kuning secara mandiri. 
Target yang ingin dicapai dalam sorogan ini adalah agar para santri terbiasa membaca dan mengkaji kitab kuning dengan semangat autodidak yang tinggi. Dengan kebiasaan ini, para santri nantinya diharapkan mampu membaca dan mengkaji sendiri Kitab Kuning tanpa menggantungkan bantuan dari orang lain. Dengan kata lain, para santri diharapkan mampu secara autodidak mengkaji dan memperdalam Kitab Kuning secara mandiri, sekalipun kitab tersebut belum pernah diajarkan oleh kiai, atau sudah pernah diajarkan tetapi tidak sampai khatam sehingga santri diharapkan mampu meneruskan kajiannya secara mandiri.
Pelaksanaan sistem sorogan di pesantren-pesantren lain pada umumnya, seperti di pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang, pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, hanya diikuti oleh para santri senior dan para ustadz yang sudah menguasai ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah).[6] Namun di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, sistem sorogon justru diwajibkan kepada seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari tingkat pemula (santri yunior), santri senior, bahkan mereka yang sudah bertitel ustadz. Barangkali ini yang membedakan antara orientasi sistem sorogan di pesantren Al-Munawwir dengan pesantren-pesantren lainnya.
Metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem sorogan pada umumnya sama, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hanya saja tehnik, prosedur dan titik tekannya saja yang berbeda antara santri satu dengan santri lainnya. Untuk keperluan ini, para santri dikelompokkan menjadi lima tingkatan beserta tingkatan kitab yang harus dibaca[7] :
a.   Santri tingkat pertama (yunior) yang sekolahnya kira-kira setingkat MI/SD, SMP dan Tsanawiyah kelas satu : kitab yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat dasar yang dijadikan sebagai materi pelajaran di Madrasah atau di kelompok/halaqah pengajiannya.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri menulis kembali teks arab disertai dengan makna gandul-nya didalam buku tulis. Makna dari setiap lafazh/kata dapat diambil dari kitab-kitab cetakan sejenis yang sudah ada makna gandul-nya, atau diambil dari hasil pembacaan kitab oleh ustadz di Madrasah dan di kelompok/halaqah pengajiannya. Tulisan teks Arab dan makna gandul didalam buku tulis itulah yang dibaca santri di hadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku tulis santri.
Bagi santri pemula (baru) yang belum lancar membaca teks arab, kiai menentukan materi kitab As-Shorful Wadhih atau al-Amtsilatut-Tashrifiyah model “Krapyak”. Santri menulis sebuah lafazh atau kalimah sesuai yang ditentukan K.H. Ali Maksum, misalnya kalimahنَصَرَ”, lalu di-tashrif,  baik secara ishthilahy (نَصَرَ يَنْصُرُ اُنْصُرْ نَصْرًا نَاصِرٌ مَنْصُوْرٌ مَنْصَرٌ - مَنْصَرٌ), maupun secara lughawy (misal tashrif lughawy untuk fi’il madhyنَصَرَ“ = نَصَرَ نَصَرَا نَصَرُوْا نَصَرَتْ نَصَرَتَا نَصَرْنَ نَصَرْتَ نَصَرْتُمَا نَصَرْتُمْ نَصَرْتِ نَصَرْتُمَا نَصَرْتُنَّ نَصَرْتُ - نَصَرْنَا). Setelah selesai ditulis di buku tulisnya, santri membacanya dihadapan kiai Ali. Selesai sorogan, kiai  Ali membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku santri dan memberi materi baru, misalnya diperintah men-tashrif kata “ضَرَبَ, untuk ditulis dan dibaca pada hari berikutnya, dan begitu seterusnya. Dengan kebiasaan sorogan model K.H. Ali ini, santri secara tidak sadar sudah mengenal dasar-dasar ilmu shorof secara praktis.
Target yang ingin dicapai pada tingkatan ini ialah kelancaran bacaan, memperbagus tulisan, membaca dan menulis secara benar, serta mengenal dasar-dasar tata bahasa arab, terutama dalam ilmu shorof.
b.   Santri tingkat kedua yang sekolahnya kira-kira setingkat SMP/Tsanawiyah sampai kelas 3 dan  SMA : Kitab yang dibaca ialah kitab-kitab lanjutan dari tingkat dasar seperti fathul qorib, kifayatul ‘awam, al-jawahirul kalamiyah, mukhtashor jiddan: syarah Ajurumiyah, dll.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri mencari makna teks dari  buku kamus Arab-Indonesia atau hasil pengajaran guru di Madrasah / pengajian weton. Teks Arab dalam kitab tersebut ditulis didalam buku tulis beserta makna gandul-nya. Kemudian hasil tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
c.   Santri tingkat ketiga yang sekolahnya kira-kira setingkat Madrasah Aliyah, tamatan SMA dan mahasiswa Umum, yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat ketiga, seperti kitab Al-Halqotur Robi’ah fil Fiqh, al-Hushunul Hamidiyah, Mutammimah al-Ajurumiyah, Khulashoh Arkanil Islam (tulisan Sayyid Ali Fikri) dan lain-lain.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri menyiapkan materi bacaan teks kitab dan mencari arti lafzhiyyah-nya dari kitab-kitab kamus, serta wajib mencari kata-kata mutiara dalam bahasa arab, kalam hikmah, syi’ir-syi’ir dan sejenisnya yang tersebar didalam Kitab Kuning, lalu ditulis didalam buku tulis beserta maknanya.  Kemudian kitab dan kalam hikmah hasil tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir dari teks kitab yang dibaca dan batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
d.   Santri tingkat keempat ini lebih senior dan lebih maju lagi dalam penguasaan Kitab Kuning, termasuk didalamnya para ustadz. Yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat menengah ke atas (tingkat keempat), baik karya ulama’ salaf maupun ulama kholaf, dengan target untuk memperdalam pemahaman terhadap isi kandungan kitab dan memperluas wawasan keilmuan santri, seperti kitab al-Muhadz-dzab, Hikmatut Tasyrik wa falsafatuha (Jurjawi), al-Insanul Kamil (Sayyid Muhammad al-Maliki), Muhammad al-Matsalul Kamil (Jadul Maula), Majalah Rabithah al-Alam al-Islami, Mau’zhotul Mukminin, dll.
Metode/Prosedur pengajarannya: Santri mempersiapkan materi teks bacaan dan mencari makna lafzhiyah-nya dari kitab kamus. Santri membaca teks Arab beserta makna lafzhiyah-nya secara agak cepat. Kiai membutuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks yang dibaca santri. Kitab-kitab ini tidak mesti dibaca santri sampai khatam, namun terkadang bacaan santri yang baru sampai pada seperempat atau setengah bagian kitab, kiai sudah menganggapnya cukup, lalu membubuhkan tanda tangan dan terkadang memberi catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di halaman terakhir dari kitabnya sebagai pertanda bahwa santri tersebut telah selesai membaca, atau sudah layak dan mampu menguasai isinya.[9]  Untuk selanjutnya, kiai menentukan kitab yang lain, atau santri sendiri yang mengajukan kitab pilihan yang menjadi minatnya dan kiai menyetujuinya.[10] Pada tingkatan ini, terjadi dialog antara kiai dan santri tentang pemahamannya terhadap teks dan isi kandungan kitab yang dibaca.[11]
e.  Santri tingkat kelima, yaitu santri takhassus : kitab yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat tinggi terutama karya ulama’ salaf. Targetnya ialah untuk pengembangan dan pendalaman wawasan keilmuan. Untuk tingkat ini, para santri bebas menyetorkan bacaan kitab yang dipilih sendiri sesuai minatnya dan tidak mesti dibaca sampai khatam. Setelah menyelesaikan beberapa bab atau fasal, kiai biasanya menganggap sudah cukup, lalu membubuhkan tanda tangan dan catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di halaman terakhir kitab. Santri kemudian diminta memilih bacaan kitab yang lain, sebagaimana yang tertera dalam daftar nama kitab untuk tingkatan kelima. Pada tingkatan ini, terjadi dialog dan diskusi yang lebih intens antara santri dan kiai tentang berbagai persoalan yang terkait dengan isi kandungan teks beserta aplikasinya dalam kehidupan.





[1]  Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 28

[2]  Ibid., halm. 31
“ ….. Penyelenggaraan bermacam-macam kelas bandongan ini dimungkinkan oleh sustu sistem yang berkembang di pesantren dimana kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang melakukan praktek mengajar ini mendapat titel ustadz (guru). Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelompok, yaitu yang masih yunior (ustadz muda), dan yang sudah senior, yang biasanya sudah menjadi anggota kelas musyawarah. Satu-dua ustadz senior yang sudah matang dengan pengalaman mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda….”

[3] Jumlah para santri dalam satu majlis yang maju sorogan ke kiai dalam waktu yang hampir bersamaan ialah antara 5 - 10 orang santri yunior, atau antara 1 – 5 santri senior dan ustadz yunior.

[4] Kondisi ini terjadi antara tahun 1980-an sampai wafatnya. Namun kadang-kadang sorogan diselenggarakan di gedung perpustakaan yang berlokasi di sebelah timur kediamannya.

[5]  Aliy As’ad, Ibid., halm. 47

[6] M. Ridlwan Nasir,op.cit., halm. 138, 187, 210

[7] Tingkatan kitab yang harus dibaca disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual santri dan tingkat penguasaannya terhadap materi kitab kuning. Tingkatan kitab-kitab yang sekaligus menjadi kurikulum pengajaran kitab kuning, baik dengan sistem weton maupun sorogan, dapat dilihat pada pada paparan sebelumnya (Bab IV.C.2.b.).


[8] Bentuk catatan semacampengesahan” atau “ijazah” tersebut ditulis dalam bahasa arab yang antara lain berbunyi:
بحمد اللّه  قد  أَتَمَّ ولدي    ..... (nama santri)     ِقراءةَ هذا الكتاب في   ...... (tgl, bln, thn )      وفَّقهُ اللَّهُ للعلم النافع.

[9] Kitab yang diajukan santri terkadang ditulis oleh ulama pembaharu/reformis dan tidak tercantum dalam daftar nama kitab-kitab yang menjadi kurikulum pesantren. Bahkan pada awal tahun 1980-an, ada salah satu santri (mahasiswa Fak Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bernama A. Faishol dari Banyuwangi) yang terpengaruh faham syi’ah imamiyah mengajukan kitab-kitab tulisan ulama’ syi’ah, namun K.H. Ali Maksum dengan arif bijaksana menyetujuinya, dengan harapan setelah mengadakan dialog-dialog, santri ini akan berubah pikiran untuk kembali berfaham sunni seperti semula.


[10] Wawancara dengan Ustadz Taufiq Ahmad, 04-09-2010. Dia pada tahun 1985-1989 aktif mengikuti sorogan bersama santri senior dan asatidz lainnya seperti Gus Fuad Habib Dimyati (saat ini menjadi salah satu pengasuh pesantren Tremas), Gus Shodiq Mubasyir dll. Kini, ustadz Taufiq merupakan ustadz senior di Pesantren Al-Muanwwir dan Yayasan Ali Maksum Pondok Krapyak Yogyakarta.  



Sabtu, 21 Februari 2015

Pengajaran Madrasah, Majlis Taklim dan Pembinaan Minat & Bakat Santri di Masa Kepengasuhan KH Ali Maksum - (4)


_____________________________
Oleh : Achmad Suchaimi





PENGAJARAN MADRASAH

Selama periode kepemimpinan Tiga Serangkai (1942-1968) dan kepemimpinan tunggal K.H. Ali Maksum (1987-1989) terjadi perubahan besar di bidang pendidikan dan pengajaran, baik dalam pengajaran Al-Qur’an maupun Kitab Kuning. Pengajaran Kitab Kuning benar-benar ditangani secara serius, sehingga menjadi pengajaran utama di samping Al-Qur’an. Pengajaran Kitab Kuning tidak sekedar melalui sistem weton dan sorogan saja, tetapi juga melalui sistem madrasi (sekolah formal), berjenjang dan ada batasan waktu belajar, suatu kondisi yang belum dikenal pada periode-periode sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan K.H. Ali Maksum sebagai tokoh penggerak perubahan dan perkembangan tersebut, yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran madrasah disertai dengan kurikulum yang terprogram.
Dengan kata lain, selama periode kepemimpinan K.H. Ali Maksum,  Pesantren Al-Munawwir yang tadinya merupakan pesantren yang bercorak salafi dengan menitikberatkan pada pengajaran Al-Qur’an (aktifitas utama) dan pengajaran Kitab Kuning (aktifitas sampingan), berubah menjadi sebuah pesantren bercorak kholafi yang ditandai dengan masih mempertahankan pola pengajaran sistem salafi dengan tambahan memasukkan pengajaran pengetahuan umum kedalam kurikulum madrasahnya menurut klasifikasi Zamakhsyari Dhofier.[1] Atau berubah dari pesantren salaf/klasik menjadi sebuah pesantren semi berkembang yang ditandai dengan berdirinya madrasah (swasta) dengan perbandingan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum, kemudian menjadi pesantren berkembang yang ditandai dengan kurikulum 70 % agama dan 30 % umum pada madrasahnya atau juga berdirinya madrasah SKB dengan tambahan madrasah diniyyah, menurut klasifikasi M. Ridlwan Nasir.[2]
Sejak kepemimpinan K.H. Ali Maksum, lembaga-lembaga pendidikan–pengajaran yang bermunculan sebagai berikut :
 1). Madrasah Ibtidaiyah putra ( 4 tahun), didirikan pada tahun 1946
2) Madrasah Tsanawiyah putra (3 tahun), didirikan pada tahun 1948
3). SMP Eksakta Alam (3 tahun),  didirikan pada tahun 1950
4). Madrasah Banat (putri), didirikan pada tahun 1951
5). Madrasah Aliyah Salafiyah putra (3 tahun), didirikan pada tahun 1955
6). Madrasah Diniyah, didirikan pada tahun 1960
7). Madrasah Tsanawiyah (6 tahun), didirikan pada tahun 1962
8). Raudhatutl Atfal / TK nDasari Budi


1). Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun.

Madrasah ini didirikan pada awal bulan Agustus 1946 oleh K.H. Ali Maksum, dengan dibantu oleh dua orang kader beliau: K.H. Zaini Munawwir dan KH Zuhdi Dahlan. Madrasah ini mula-mula bertempat di serambi Masjid Pesantren Krapyak dengan sarana prasarana sangat sederhana, yaitu hanya “dampar” sebagai meja tulisnya. Santri duduk bersila di serambi masjid mendengarkan keterangan guru sambil menulis diatas dampar. Para muridnya berasal dari masyarakat sekitar pesantren. Madrasah ini kemudian dipindah ke rumah penduduk (rumah Bp. Asyrofi) di sebelah timur pesantren, setelah serambi Masjid tidak mampu menampung jumlah santri yang semakin banyak. Kemudian dipindah lagi kedalam pesantren, setelah mendapatkan bantuan berupa bangunan gedung beberapa lokal dari pemerintah. Aktifitas Madrasah ini sempat terhenti pada masa agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, terutama Yogyakarta pada tahun 1947, dan aktif kembali pada tahun 1948 setelah negara dalam kondisi aman dan Belanda sudah hengkang dari negeri ini. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi : Al-Qur’an, Tafsir, Hadis, Tajwid, Fiqih, Tauhid, Akhlak, Nahwu, Shorof, Insya’, Khot,  Imla’, Tarikh Islam, Sejarah Indonesia, Bahasa Indonesia, Berhitung dan Ilmu Bumi.[3]



2) Madrasah Tsanawiyah Putra dan SMP Eksakta Alam

Madrasah ini didirikan oleh K.H. Ali Maksum pada bulan Agustus 1948 dengan lama belajar 3 tahun. Para muridnya seluruhnya putra, yang sebagian besar merupakan santri pesantren dan sebagian masyarakat sekitar yang telah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana di atas. Diantara gurunya adalah K.H. Ali Maksum sendiri dan para kader beliau seperti K.H. Zainal Abidin, K.H. Dalhar Munawwir, KH Zaini Munawwir, KH Zuhdi Dahlan, KH Ahmad Warson Munawwir, K.H. Mabarun, dan beberapa santri senior. Madrasah Tsanawiyah ini terus berkembang dengan pesat, sebagaimana kepesatan Madrasah Ibtidaiyah. Kurikulumnya 100 % menggunakan kurikulum pesantren, yakni berupa ilmu-ilmu agama (kitab kuning). Dengan demikian, Madrasah Tsanawiyah ini bisa dikatakan bercorak salafiyah.
Setelah ada himbauan dari pemerintah RI agar bangsa Indonesia tidak hanya pandai ilmu agamasaja, akan tetapi juga menguasai ilmu-ilmu umum, maka atas prakarsa K.H. Ali Maksum didirikanlah SMP Eksakta Alam pada tahun 1951, dengan harapan agar nantinya muncul ilmuwan-ilmuwan muslim yang menguasai sains. Adapun mata pelajarannya adalah khusus ilmu-ilmu umum, diantaranya : bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Hayat (biologi), Berhitung (matematika) dan Fisika. Sementara ilmu agamanya diperoleh melalui pengajaran di pesantren dalam bentuk pengajian weton dan sorogan.
Setelah tiga tahun berjalan, maka pada tahun 1954 SMP Eksakta Alam ini dihapus dan seterusnya dilebur kedalam Madrasah Tsanawiyah, dengan pertimbangan agar nantinya para lulusannya tidak hanya dapat masuk ke perguruan tinggi umum saja, akan tetapi juga bisa diterima di perguruan tinggi agama semacam PTAIN (sekarang IAIN, UIN atau STAIN). Konsekwensi dari peleburan ini adalah bahwa kurikulum Madrasah Tsanawiyah tidak melulu 100 % pelajaran ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga mata pelajaran umum.[4] Kurikulum dan materi pelajarannya sebagai berikut :

(Tabel 1)
KURIKULUM MADRASAH TSANAWIYAH PUTRA
P.P. AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA (1954 – 1962)[5]
No
Mata Pelajaran
Kitab-Kitab
Muatan Kurikulum
I
II
III
01
Al Qur’an dan Tafsir
Tafsir Maraghi
3
3
6
02
Hadis
Adabun Nabawi
3
-
-
Bulughul Maram
-
3
3
03
Ilmu Hadis
Nukhbatul Fikri
-
-
2
04
Tauhid
Al Aqaid lil Hasan Al Banna
3
-
-
Fathul Majid

3

Al-Husunul Hamidiyah


3
05
Fiqh
Tuhfatut Thullab (S. Tahrir)
4
4
-
Al Mu’amalat Al Hamidiyah
-
-
4
06
Ushul Fiqh
Al Luma’
-
3
3
07
Q. Fiqh
Al Faraidul Bahiyah
-
2
2
08
Sorof dan B. Arab
Qawaidul Lughoh al Arabiyah
4
4
-
Tahdzibi al Taudhih fi qismis Shorfi
-
-
4
09
Nahwu
An Nahwu Wadhih lis Sanawi
4
-
-


Al Qawaidul Asasiyah
-
4
4
10
Insya’
Mu’allimul Insya’ al Arabiyah I, II, III
4
4
4
11
Ulumul Balaghah
Al Balaghah Al Wadhihah
-
4
4
12
Al Qiroah
Al Mutholaah al-Arabiyah I, II, III
4
4
4
13
Tarikhul Islam
At Tarikh Al Islami li Mahmud Thoha
3
2
2
14
Bahasa Indonesia

2
2
2
15
Bahasa Inggris

3
2
2
16
Ilmu Bumi

2
2
2
17
Sejarah Dunia

2
2
-
18
Civic

2
2
-
19
IPA

1
1
-
Jumlah
43
47
46

 Pada tahun 1960-an, perjalanan Madrasah Ibtidaiyah semakin surut, jumlah santri semakin berkurang dan bahkan kurang diminati, maka pada tahun 1962 Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah dilebur (merger) menjadi Madrasah Tsanawiyah 6 tahun dengan kepala Madrasah K.H. Ali Maksum sendiri. Hal ini sekaligus untuk menjawab tantangan perkembangan jaman, dimana dengan berbekal Ijazah swasta yang dikeluarkan oleh MTs 6 tahun ini para lulusannya diharapkan dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi agama (PTAIN/IAIN) atau perguruan tinggi umum (UGM, IKIP, UII dll).  Sedangkan bagi santri yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi ingin memperdalam kajian kitab kuning disarankan untuk melanjutkan ke Madrasah Tahassus (peleburan dari Madrasah Aliyah Salafiyah). Mengingat kesibukan K.H. Ali Maksum yang ketika itu diangkat sebagai dosen luar biasa dan guru besar dalam ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, maka sejak tahun 1970 urusan Madrasah diserahkan pengelolaannya kepada Drs. K.H.M. Hasbullah (menantunya), sementara beliau sendiri tetap sebagai Direktur atau Kepala Madrasah.[6]
Calon siswa yang diterima di MTs 6 tahun Pesantren Krapyak ini adalah mereka yang telah tamat SD/MI dan yang sederajat serta tamat MTs/SMP dan yang sederajat. Untuk menentukan kelasnya, calon siswa akan dites atau diseleksi terlebih dahulu oleh K.H. Ali Maksum tentang kemampuannya dalam hal membaca dan menulis teks arab, serta kemampuannya dalam membaca kitab kuning. Tamatan SD/MI dites dengan menulis surat Al-Fatihah dan membaca teks kitab yang berharokat seperti kitab Al-Qiro’ah al-Roasyidah atau Durusul Lughah al-‘Arabiyyah. Orang yang baru saja tamat dari SD/MI, setelah dites oleh kiai, belum tentu ia duduk di kelas 1, bisa jadi ia ditempatkan di kelas 2. Demikian pula orang tamatan dari MTs/SMP atau pindahan dari MA/SMA, belum tentu langsung ditempatkan di kelas 4, akan tetapi bisa jadi ia ditempatkan di kelas 2, kelas 3 atau kelas 5, tergantung pada kemampuannya dalam menulis dan membaca teks kitab.[7]   Kurikulumnya menggunakan kurikulum pesantren dengan perbandingan 70 % ilmu agama dan 30 % ilmu umum :

(Tabel 2)
KURIKULUM MADRASAH TSANAWIYAH 6 TAHUN
P.P. AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA (1962 – 1978) [8]
No
Mata Pelajaran
Kitab-Kitab
Muatan Kurikulum
1
2
3
4
5
6
01
Al Qur’an dan Tafsir
Juz 30 dan Juz 1-5
4
2
2



Tafsir Juz ‘Amma
2
2
2



Tafsir Al-Maroghi



4
2
2
02
Ilmu Tafsir
Al-Itqan fi Ulumil Qur’an




2
2
03
Tajwid
Syifaul Jinan

2




Hidayatus Shibyan


2



04
Hadis
Al-Arba’in an-Nawawiyah
4



-
-
Al-Majalisus Saniyyah

4
4



Adabun Nabawi



4


Bulughul Maram




2
2
05
Ilmu Hadits
Mushtholahul Hadits



2
2
2
06
Tauhid
Durusul ‘Aqaid
2



-
-
Aqidatul ‘Awam

2




Jawahirul Kalamiyah


2



Al Aqaid - Hasan Al Banna



2


Fathul Majid




2

Al-Husunul Hamidiyah





2
07
Fiqh
Mabadiul Fiqhiyyah
4
4




Fathul Qorib


4



Tuhfatut Thullab (Tahrir)



4
4
2
Fiqhul Mawaris





4
08
Ushul Fiqh
Waraqat – fi Ushul al-Fiqh
-



2

Ushulul Fiqh – Lil Hudhori





2
09
Qowaidul  Fiqh
Al Faraidul Bahiyah
-



4

Ringkasan Al-Asybah wan Nadhoir (KH Humam Bajuri)





4
10
Shorof
Ash-Sharful Wadhih 1 (Lughawi - mujarrod)
4





Ash-Sharful Wadhih 2 (Ishtilahi - mujarrod)

4




Ash-Sharful Wadhih 3 (Lughawi/Istilahi - Mazid)


4



Qawaidul Lughoh al Arabiyah



4
2

Tahdzibi al Taudhih fi qismi Shorfi





2
11
Nahwu
An Nahwul Wadhih 1 dan 2
2
2


-
-
Ad-Durusun Nahwiyah 1 - 2
2
2




An Nahwu Wadhih lis Sanawi


4



Al Qawaidul Asasiyah



4
4
4
12.
Mahfudhot dan Insya’
Al-Muntakhobat fil Mahfudhot
2





Durusul Insya’ wal Mahfudhot

2
2



Mu’allimul Insya’ al Arabiyah I, II, III



2
2
2
13
Ulumul Balaghah
Al Balaghah Al Wadhihah
-



2
2
14
Al-Qiroah
Qiroatur Rosyidah 1 dan 2
2
2




Al-Qiro’ah wal-Muthola’ah


2



Al Mutholaah al-Arabiyah I, II



2
2

15
Tarikhul Islam
Khulashoh Nurul Yaqin 1, 2, 3
2
2
2



At Tarikh Al Islami li Mahmud Thoha



4
2
2
16
Bhs Indonesia
Bhs. Indonesia
2
2
2
2
2
2
17
Bhs Inggris
Bahasa Inggris
2
2
2
2
2
2
18
I.Bumi/
I.Bumi/Geografi
2
2
2
2


19
S. Indonesia
Sej. Indonesia
2
2
2
1
1
1
Sej. Dunia
Sej. Dunia



1
1
1
20
Civic
Civic
2
2
2
2
2
2
21
IPA
Ilmu Hayat - Fisika
2
2
2



22
Akuntansi
Akuntansi



2
2
2
23
Matematika
Matematika
2
2
2
2
2
2









Jumlah
44
44
44
46
46
46

 Telah terdengar wacana tentang tidak berlakunya “Ijazah” swasta untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pada tahun pelajaran 1979/1980 dikeluarkanlah kebijakan untuk mengikuti “Ujian Persamaan”, baik untuk tingkat Tsanawiyah maupun tingkat Aliyah, sekaligus diadakan pemisahan secara kelembagaan dari Madrasah Tsanawiyah 6 tahun menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs) 3 tahun dan Madrasah Aliyah (MA) 3 tahun. Kemudian menetapkan Drs. K.H. M. Hasbullah, SH menjadi Kepala Madrasah dari kedua lembaga tersebut. Sebagai konsekwensi dari mengikutkan para siswa dalam Ujian Negara atau Ujian Persamaan, kurikulum yang ditentukan pesantren pun ikut mengalami perubahan, namun perbandingannya masih tetap 70 % ilmu agama dan 30 % ilmu umum, yang diberlakukan sejak tahun pelajaran 1980/1981 s/d 1989/1990. Khusus untuk Madrasah Aliyah, jurusan yang diambil adalah jurusan IPS.[9]


(Tabel 3)
KURIKULUM MADRASAH TSANAWIYAH 3 TAHUN
P.P. AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA (1980/1981)[10]
No
Mata Pelajaran
Muatan Kurikulum
1
2
3
1. Program Umum
01
Aqidah – Akhlaq
2
2
2
02
Al-Qur’an Hadis
2
2
2
03
Syari’ah
2
2
2
04
PMP
2
2
2
05
Pendidikan Olah Raga/Kesehatan
2
2
2
06
Pendidikan Kesenian
1
1
1

Jumlah
11
11
11
2. Program Akademis
07
Sejarah Kebudayan Islam
2
2
2
08
Bahasa Arab
2
2
2
09
Bahasa Indonesia
2
2
2
10
Bahasa Daerah
1
1
1
11
Bahasa Inggris
2
2
4
12
IPS
2
2
2
13
Matematika
3
3
4
14
IPA (Fisika dan Biologi)
2
2
2

Jumlah
16
16
19
3. Program Ketrampilan
15
PKK
2
2
2
16
Ibadah Praktis
2
2
2

Jumlah
4
4
4
4. Program Pesantren
17
Tafsir Al-Qur’an
2
2
2
18
Tajwid
2
2
2
19
Hadis
2
2
2
20
Tauhid
2
2
2
21
Fiqih
2
2
2
22
Akhlak (al-Akhlaq lil Banin, Wasoya)
2
2
2
23
Mahfudhot
1
1
-
24
Al-Qiro’ah wal Muthola’ah
1
1
-
25
Imlak
1
1
-
26
Nahwu (Nahwul Wadhih)
2
2
2
27
Shorof  (ash-Shorful Wadhih)
2
2
2
28
Tarikh (Khulasoh Nurul Yaqin)
2
2
2
29
Pengajian Kitab (Fathul Qorib)
6
6
6
30
Pengajian Kitab (Jurumiyah, Mutamimah)
6
6
6

Jumlah
33
33
30

TOTAL
64
64
64
1 jam tatap muka = 35 menit.
Jam belajar :  Pagi : 07.00 – 13.00.  Sore : 15.00 – 16.30


(Tabel 4)
KURIKULUM MADRASAH ALIYAH 3 TAHUN
JURUSAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
P.P. AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA (1980/1981)[11]

No
Mata Pelajaran
Muatan Kurikulum
1
2
3
1. Program Umum
01
Aqidah – Akhlaq
1
2
2
02
Al-Qur’an Hadis
2
1
2
03
Syari’ah
2
2
1
04
PMP
2
2
2
05
Pendidikan Olah Raga/Kesehatan
2
2
2
06
Pendidikan Kesenian
1
1
1

Jumlah
10
10
10
2. Program Akademis
07
Sejarah Kebudayan Islam
1
1
1
08
Bahasa Arab
2
2
2
09
Bahasa Indonesia
2
2
2
10
Bahasa Daerah
1
1
1
11
Bahasa Inggris
3
3
3
12
Tata Buku / Hitung dagang
2
2
2
13
Ekonomi Koperasi
1
1
1
14
Sejarah (Indonesia & Umum)
2
2
2
15
Geografi Antropologi
1
1
1
16
Matematika
3
3
3






Jumlah
20
20
20
3. Program Ketrampilan
17
PKK
1
1
1
18
Ibadah Praktis
1
1
1
19
Ketrampilan Agama
2
2
2

Jumlah
4
4
4
4. Program Pesantren
20
Tafsir Al-Qur’an
2
2
2
21
Ilmu Tafsir
1
1
1
22
Hadis
2
2
2
23
Mustholahul Hadits
2
2
2
24
Ilmu Tauhid
2
2
2
25
Ilmu Akhlak
2
2
2
26
Fiqih
2
2
2
27
Qowa’idul Fiqh
2
2
2
28
Ushul Fiqh
2
2
2
29
Ilmu Faroidh/Mawaris
2
2
2
30
Al-Qiro’ah wal Muthola’ah
1
1
1
31
Mahfudhot
1
1
1
32
Insya’
1
1
1
33
Qiroatul Kutub ad-Diniyyah
1
1
1
34
Nahwu
2
2
2
35
Shorof 
2
2
2
36
Balaghah
2
2
2
37
Tarikh
1
1
1
38
Pengajian Kitab (Tuhfatut Thullab/Tahrir)
4
4
4
39
Pengajian Kitab (Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyyah
4
4
4

Jumlah
38
38
38

TOTAL
72
72
72
1 jam tatap muka = 35 menit.
Jam belajar : Pagi : 07.00 -  13.00 WIB  dan Sore : 15.00 – 17.20 WIB


Mulai tahun pelajaran 1986/1987, MTs Al-Munawwir menerima siswa putri, sedangkan Madrasah Aliyah mulai tahun pelajaran 1987/1988.  Sejak saat itu jumlah siswa/santri MTs dan MA Al-Munawwir terus mengalami perkembangan yang sangat pesat, sampai saat wafatnya K.H. Ali Maksum pada tahun 1989. Kelas 1, 2 dan 3, baik MTs maupun MA masing-masing memiliki empat kelas pararel, yaitu A,B,C dan D, sehingga MTs memiliki 12 kelas pararel dan MA juga 12 kelas pararel. Kemudian sejak tahun pelajaran 1990/1991, MTs dan MA ini secara kelembagaan tidak lagi berada didalam naungan Pesantren Al-Munawwir yang diasuh oleh K.H. Zainal Abidin Munawwir, tetapi dikelola secara khusus oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta yang dipimpin oleh K.H. Atabik Ali Maksum.


3).   Madrasah Aliyah Salafiyah
Madrasah Aliyah Salafiyah dengan lama belajar 3 tahun ini didirikan pada tahun 1955 oleh K.H. Ali Maksum, dengan kepala sekolah K.H. Zainal Abidin Munawwir. Tujuan awal didirikannya Madrasah Aliyah Salafiyah ini adalah untuk mendidik para santri agar mampu menguasai kitab-kitab klasik (salaf) dalam rangka mengantarkan mereka menjadi “ulama salaf” (militan). Kurikulumnya menggunakan kurikulum pesantren dengan perbandingan 90 %  ilmu-ilmu agama dan 10 % ilmu-ilmu umum. Diantara para murid yang pertama kali mengikuti program ini adalah K.H. Abdul Aziz Masyhuri; DR. K.H.. Abd. Muchid AF; K.H. Asyhari Marzuki;  K.H. Humam Bajuri; K.H. Atabik Ali dan lain-lain.[12]

Kurikulum Madrasah Aliyah Salafiyah (1955 – 1965)  sebagai berikut :


 (Tabel 5)
KURIKULUM MADRASAH ALIYAH SALAFIYAH[13]

No

Mata Pelajaran

Kitab-Kitab
Muatan Kurikulum
I
II
III

Syar’i
Lughah
01
Tafsir
Tafsir Maraghi
3
3
6
6
02
Ilmu Tafsir
Al-Itqan
3
3
3
-
03
Hadis
Al-Jami’us Shohih lil Bukhori
3
3
6
6
04
Ilmu Hadis
Syarah Alfiyah As-Suyuthi  fi Ilmi Atsir
2
2
3
-
05
Fiqh Dalil
Al Muhadzab li Sya’roni
4
4
3
-
Bidayatul Mujtahid


3
3
06
Ushul Fiqh
Ushul Fiqh lil Khudhori
3
4
3
-
Al-Mustasyfa
-
-
3
3
07
Q. Fiqh
Al-Asybah wan Nadhoir
3
3
3
-
08
Nahwu dan Sharaf
Syarah Ibn ‘Aqil wa
Duru Tasrif li Muhyidin
4
4
-
6
09
An Naqd wal
Balaghah
Jawahirul Balaghah
4
4
-
-
Kitabu Sona’atain
-
-
-
6
10
Adab wan Nushus
An Nususu Al Adabiyah
3
-
-
-


Al Adab wan Nushus lis Saibani
-
3
-
5
11
Matnul Lughoh
Fiqhul Lughoh wa Sirril Arabiyah
-
-
-
2
12
Arudh wal Qawafi
Ahdy Sabili ila Alami al Kholil
2
-
-
-
13
Tarikh Islam
Fajrul Islam
2
2
-
-
14
Tasrikh Tasyri’
Tarikhut Tasyri’ Islami wa Fununus Sunnah lil Khudhori
2
2
2
-
15
Fiqhus Sirah
Fiqhus Sirah al-Muhammadiyah
2
2
-
-
16
Ilmu Mantiq
Ilmu Mantiq wan Nafs li Muhammad Thoha Mahmud
1
-
-
-
17
Tarikh Adab Al Arobi
Tarikh Adab al-Aroby
1
1
-
2
18
Bahasa Inggris

2
2
2
2
19
Ilmu Ekonomi

1
2
2
-
20
Civic 

1
1
1
1
21
Antropologi-Sosiologi

1
1
-
-
Jumlah
47
44
40
42

Sehubungan dengan berdirinya Madrasah Tsanawiyah 6 tahun (sebagai peleburan dari Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah 3 tahun), maka Madrasah Aliyah Salafiyah pun ikut dilebur dengan Program Takhassus, lalu statusnya diganti menjadi Madrasah Takhassus, yang kurikulumnya 100 % berupa ilmu-ilmu agama. Materi kajian kitabnya antara lain : Tafsir Tafsir Al-Maraghi; Hadits: Jami’us shoghir dan Jawahirul Bukhori (Hadits); Fiqih : Muhadz-dzab, Bidayatul Mujtahid, Al-Asybah wan Nazhoir;  Tauhid : Risalah Tauhid;  Bahasa Arab : Syarah Ibnu ‘Aqil, Jawahirul Balaghah, Nususul Adab; dan lain-lain. Madrasah Takhassus ini pada perkembangan selanjutnya merupakan cikal bakal berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Salaf “Al-Ma’had Al-‘Ali Al-Munawwir pada tahun 1414 H / 1993 M, dengan lama belajar 4 tahun (8 semester).[14]


4). Madrasah Banat (Putri).
Madrasah Banat yang khusus untuk santri putri ini didirikan pada tahun 1951, bertempat di komplek Nurussalam.  Madrasah ini dikelola dan diasuh oleh  K.H. Mufid Mas’ud, K.H. Dalhar Munawwir, Ny Hj. Jauharoh Munawwir dan keluarga pesantren. Jam belajarnya mulai pukul 18.30 s/d 20.30 WIB, mengingat para santrinya adalah mereka yang pada pagi/siang harinya sekolah di sekolah menengah (SMP, SMA dan yang sederajat) sampai perguruan tinggi (IAIN, UGM, UII dll). Kurikulum dan mata pelajarannya 100% berupa ilmu-ilmu agama. Pada perkembangan berikutnya, madrasah ini dilebur kedalam Madrasah Salafiyah I, ketika P.P. Al-Munawwir di bawah kepemimpinan K.H. Zainal Abidin Munawwir, 1989 s/d  sekarang ini.[15]

(Tabel 6)
KURIKULUM MADRASATUL BANAT
PP AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA[16]
No
Mata Pelajaran
Mata Pelajaran
Ula
Tsani
Tsalis
Rabi’
Khamis
Sadis
1
ALQUR’AN /TAFSIR
6
6
6
6
6
6
2
ILMU TAFSIR
-
-
-
1
1
-
3
ILMU TAJWID
1
1
-
-
1
-
4
HADITS
-
-
1
-
-
-
5
ILMU HADITS
-
-

1
-
-
6
TAUHID/AQIDAH
1
1
1
1
-
-
7
ULUMUS SYAR’IYYAH:

a. Fiqih
1
1
1
1
1
1

b. Furu’
-
-
1
-
-
-

c. Ushul Fiqh
-
-
1
1
-
-
8
AHLAK TASAWUF
1
1
1
1
1
1
9
LUGHAH ARABIYAH

a. Bahasa Arab/Lughah
1
-
-




b. Nahwu
-
1
1
1
1
-

c. Sharaf
1
1
1
-
-
-
10
TARIKH
1
-
-
-
-
-

JUMLAH
13
12
13
13
12
8


5).   Raudhatul Athfal / TK nDasari Budi dan Madrasah Diniyyah
RA/TK nDasari Budi PP Al-Munawwir  dengan masa belajar 1 tahun didirikan pada tahun 1957 atas prakarsa Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum. Pada perkembangan berikutnya, masa belajar di RA/TK ini ditambah setahun sehingga menjadi 2 tahun. Adapun mata pelajarannya dititikberatkan pada :
a).   Pembinaan aqidah, syari’ah, akhlak dan pendidikan Al-Qur’an melalui metode hafalan dan menyanyi
b).   Latihan beribadah
c).   Terwujudnya akhlak karimah melalui tingkah laku, ucapan dan pergaulan.[17]

Bersamaan dengan itu, Madrasah Diniyah PP Al-Muanwwir Krapyak dengan lama belajar 3 tahun didirikan pada tahun 1957 atas prakarsa Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum, dengan maksud dan tujuan agar masyarakat sekitar pesantren dapat mendalami ilmu agama.  Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Madrasah Diniyah diperuntukkan bagi masyarakat umum sekitar pesantren. Materi pelajarannya meliputi : 1) menulis huruf arab dan membaca surat-surat pendek; 2) Hadis;  3) Tafsir; 4) Mahfudhot; 5) Shorof; 6) Nahwu; 7) Khat; 8) Imlak; 9) Akhlak; dan 10) Tarikh Islam.[18]
Yang pertama kali menjadi Kepala Madrasah Diniyah adalah K.H. Asyhari Marzuki (Pendiri dan Pengasuh P.P. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta). Perkembangan Madrasah Diniyah mengalami pasang surut, dan mengalami perkembangan yang pesat sejak dikelolah oleh Drs. K.H. Henry Sutopo pada tahun 1980-an. Sejak tahun itu jumlah murid semakin banyak dan tidak hanya dari masyarakat umum, tetapi juga dari santri Krapyak yang sekolah di luar pondok. [19]



MAJLIS TAKLIM

Majlis Taklim atau pengajian umum merupakan media penyampaian proses belajar-mengajar pendidikan agama Islam secara umum dan terbuka, yang diikuti para jamaah dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak dibatasi usia. Majlis Taklim atau pengajian umum ini biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada minggu atau bulan tertentu, peringatan haul (ulang tahun kematian) seorang ulama’, Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Nisfu Sya’ban, dan lain-lain. Materi pembelajarannya pun beragama, disesuaikan dengan situasi dan kondiri. Metodenya bervariasi tergantung situasi dan kondiri, namun pada umumnya menggunakan metode ceramah, wirid/dzikir, pepujian  dan sejenisnya.
Majlis Taklim yang diadakan di Pesantren Al-Munawwir merupakan bentuk kepedulian dan pengabdian pengelola pesantren kepada masyarakat sekitar dalam bidang pembinaan keimanan dan hidup keagamaan. Diantaranya adalah

1).   Majlis Taklim setiap Jum’at legi.
Pesertanya khusus kaum ibu/para pemudi yang datang dari berbagai desa dan wilayah di sekitar kabupaten Bantul dan Kodya Yogyakarta.
Tempatnya di halaman rumah K.H. Ali Maksum.
Waktunya antara pukul 08.30 s/d 10.30 WIB.
Bentuk pengajarannya dimulai dengan bacaan dzikir Tahlil, diteruskan dengan pengajian/ceramah umum terutama oleh K.H. Ali Maksum.
Setelah itu ditutup dengan doa.

2).   Majlis Taklim setiap malam Sabtu Wage.
Pesertanya khusus bapak-bapak dan pemuda dari berbagai kampung/desa sekitar pesantren.
Tempatnya di gedung Aula dan serambi Masjid pesantren.
Waktunya antara pukul 19.30 s/d 21.30 WIB.
Bentuk pengajarannya dimulai dengan bacaan dzikir Tahlil, diteruskan dengan pengajian/ceramah umum oleh K.H. Zainal Abidin Munawwir.
Setelah itu ditutup dengan doa.
3).   Majlis Taklim “Peringatan Haul K.H.M. Munawwir” diadakan setahun sekali, yaitu setiap malam tanggal 11 Jumadil Akhir.
Pesertanya dari berbagai lapisan masyarakat dan para alumni pesantren yang datang dari berbagai kota, baik dari dalam dan dari luar kota Yogyakarta.
Tempatnya di P.P. Al-Munawwir. Waktunya dimulai sejak malam tanggal 10 sampai malam tanggal 11 Jumadil akhir.
Bentuk kegiatannya: Malam tanggal 10 sampai dengan siangnya didadakan semaan Al-Qur’an bil Ghaib di Masjid; antara pukul 09.30 s/d 12.00 tanggal 10 diadakan temu alumni dalam rangka memecahkan berbagai persoalan demi kemajuan pesantren. Sehabis shalat ‘Ashar sampai pukul 17.30 diadakan ziarah dan tahlil bersama di lokasi makam K.H.M. Munawwir di dusun Dongkelan.
Kegiatan puncaknya diadakan pada malam tanggal 11 ba’da shalat ‘Isyak, antara pukul 20.00 s/d 23.30, bahkan sampai larut malam. Acaranya dimulai dengan pembacaan dzikir Tahlil secara umum, sambutan-sambutan, lalu diteruskan dengan ceramah pengajian umum dengan penceramah muballigh/kiai kondang kaliber Nasional dari luar kota Yogyakarta. Selanjutnya Majlis Taklim Haul diakhiri dengan doa.[20]



PEMBINAAN MINAT DAN BAKAT SANTRI

Selain membekali para santri dengan berbagai bidang keilmuan melalui pendidikan dan pengajaran seperti di atas, Pesantren Al-Munawwir juga memberikan pelatihan ketrampilan (keorganisasian, kepemimpinan, muballigh, dll), penggemblengan mental dan karakter (kedisiplinan, kemandirian, amaliyah yaumiyah baik ubudiyah maupun mu’amalah, dll), serta pembinaan minat dan bakat lainnya, diantaranya melalui kegiatan-kegiatan seperti Kepengurusan lembaga-lembaga di lingkungan pesantren;  Jam’iyyah;  Pembinaan kesenian dan olahraga;  dan Pengabdian masyarakat dalam bentuk memberikan pembinaan mental keagamaan kepada masyarakat sekitar pesantren melalui Yayasan KODAMA (Korps Dakwah Mahasiswa) Yogyakarta. 

Pondok Pesantren Al-Muanwwir menerapkan tata aturan yang sangat longgar dan tidak terlalu ketat kepada para santri dalam kaitannya dengan aktifitas di luar lokasi pesantren, kecuali pada jam tertentu antara pukul 24.00 s/d 03.00 bagi santri putra, dan antara pukul 19.00 s/d 05.30 bagi santri putri. Artinya, para santri hidup dan tinggal di PP Al-Munawwir seperti hidup dan tinggal di rumah / kampung sendiri. Mereka diberi kebebasan yang luas untuk bermain, berhubungan, berinteraksi dan bertransaksi dengan masyarakat, serta bebas melakukan berbagai aktifitas di tengah masyarakat luar lokasi pesantren.  Tidak seperti keadaan para santri di sebagian besar pesantren pada umumnya yang diharuskan tinggal dan menetap didalam komplek pesantren selama 24 jam.
Adapun untuk melatih kedisiplinan para santri, pihak pengurus pesantren dan Madrasah menyiapkan tata tertip (berisi: kewajiban, larangan, dan sangsi) yang harus ditaati dan berbagai macam kegiatan positif yang harus diikuti para santri, seperti kegiatan pengajian rutin, musyawarah atau belajar bersama, jam’iyyah dan sebagainya. Dengan cara demikian, maka akan tercipta kedisiplinan dan ketaatan yang timbul dari kesadarannya sendiri.
Jadwal kegiatan sehari-hari para santri PP Al-Munawwir sejak pagi hingga malam hari sebagai berikut :

No
Waktu
Kegiatan
1
04.00 – 05.00
Bangun pagi, tahajjud dan jamaah sholat subuh
2
05.00 – 06.15
Sorogan, pengajian weton, Al-Qur’an
3
06.15 – 07.00
Mandi, sarapan, dan berangkat ke Madrasah
4
07.00 – 12.30
Masuk ke Madrasah (proses belajar-mengajar)
5
12.30 – 13.00
Jamaah sholat dhuhur
6
13.00 – 15.00
Makan siang, istirahat
7
15.00 – 17.30
Masuk Madrasah
8
17.30 – 18.15
Jamaah shalat maghrib, istirahat
9
18.15 – 19.15
Pengajian kitab (weton) dan Al-Qur’an
10
19.15 – 20.00
Sholat isyak dan makan malam
11
20.00 – 22.00
Musyawarah (belajar kelompok), Al-Qur’an, dan pengajian weton.
12
22.00 – 04.00
Istirahat, tidur malam,

Diluar padatnya jadwal kegiatan santri di atas, Pesantren Al-Munawwir masih menyempatkan diri untuk melakukan pembinaan dan pengembangan minat dan bakat para santri, diantaranya melalui kegiatan:
1).   Jam’iyyah yang diadakan para santri setiap komplek (unit gedung asrama) setiap malam Jum’at, antara ba’da maghrib sampai pukul 20.00 WIB. Jam’iyyah artinya perkumpulan, yang dimaksudkannya adalah suatu perkumpulan dengan serangkaian kegiatan yang bermanfaat sebagai sarana latihan dan pengembangan bakat kepemimpinan para santri, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial keagamaan. Acaranya meliputi : qiro’ah, pembacaan surat Yasin, Tahlil,  kitab Dziba’ / Barzanji,  dan latihan pidato, dengan para petugas yang ditunjuk secara bergiliran setiap minggunya.
Dari kegiatan jam’iyyah diharapkan muncul bakat kepemimpinan santri, diantaranya bakat dan ketrampilan sebagai pemimpin yasinan, tahlilan, dzibaan atau berzanjian, sebagai qori’/qori’ah, muballigh, presenter atau pengatur acara dan lain-lain, sehingga para santri ketika pulang kembali ke daerahnya masing-masing tidak merasa canggung dalam memimpin dan mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di tengah masyarakatnya.

2).   Pembinaan minat dan bakat olahraga yang dilakukan setiap hari Jum’at pagi dan sore. Cabang olahraga yang ada di pesantren Al-Munawwir diantaranya : tenis meja, bola voli, sepakbola, pencak silat, karate, olahraga tenaga dalam. Dalam hal ini pesantren menyiapkan sarana dan prasarananya yang meliputi : 2 lapangan bola voli, 4 lapangan bulu tangkis, 6 meja tennis meja, 1 lapangan sepak bola (milik masyarakat yang setiap hari jum’at khusus dipergunakan untuk keperluan latihan olahraga para santri). Untuk meningkatkan minat dan bakat olahraga ini, pada event-event tertentu seperti dalam rangka peringatan Isro’ Mi’roj, menyambut tahun Baru Hijriyah, peringatan HUT RI dan lain, diadakanlah berbagai macam perlombaan olahraga, MTQ, qiroatul kutub dan perlombaan lainnya antar komplek (unit gedung asrama); mengadakan pertandingan persahabatan dengan pondok-pondok lain dan masyarakat sekitar pesantren. Di samping itu juga mengirimkan beberapa santri untuk mengikuti Porseni, Popda dan lain-lain.

 3). Pembinaan minat dan bakat kesenian. Dalam hal ini pesantren mengadakan pelatihan atau pembinaan beberapa cabang kesenian, diantaranya
a). Seni Baca Al-Qur’an (Qiro’ah) setiap malam jum’at antara pukul 20.30 s/d 22.30 WIB; 
b). Samroh/Albanjari setiap hari jum’at pagi antara pukul 08.00 s/d 10.00 WIB; 
c). Drama, beberapa minggu sebelum tampil; dan cabang seni lainnya.
Untuk mengembangkan minat dan bakat ini, diadakanlah berbagai macam perlombaan antar komplek didalam pesantren, mengirimkan beberapa santri untuk mengikuti Porseni, Popda, MTQ tingkat Kabupaten, Propinsi dan Nasional. Pada tahun 1980-an, salah satu santri Krapyak pernah mewakili Propinsi DIY dan mendapat juara ke-1 MTQ tingkat Nasional untuk usia anak-anak dan pada dua tahun berikutnya  juara ke-2 untuk usia Remaja atas nama Bahrori Rahza (santri asal Pekalongan).[21]

Selain pembinaan dan pengembangan minat-bakat yang dilakukan pesantren, para santri senior (Mahasiswa) juga menyalurkan bakatnya di luar lembaga pesantren. Misalnya untuk menyalurkan bakat sebagai muballigh, para santri membentuk organisasi dakwah yang diberi nama CODAMA (Corps Dakwah Mahasiswa) pada tahun 1975 dan masih aktif sampai sekarang (2010). Pada perkembangan selanjutnya, organisasi ini menjadi sebuah lembaga yang berbadan hukum dalam bentuk Yayasan pada tahun 1982 dengan nama “Yayasan KODAMA Yogyakarta” yang bergerak di bidang Dakwah, Pendidikan dan Sosial. Pada akhir tahun 1989, Yayasan KODAMA yang memiliki kantor di Jl. KH Ali Maksum RT 01 RW 01 Dusun Krapyak Kulon, Panggungharjo, Sewon Bantul, yang berseberangan dengan lapangan sepak bola dan Rumah Sakit Bedah Patmasuri ini beranggotakan + 150 santri; memiliki 1 Madrasah Diniyah di Saman Bangunharjo Sewon Bantul, 1 lembaga kursus menjahit, 1 BMT (Baitul Mal wat-Tamwil), serta memiliki 42 masjid/musholla/tempat binaan yang tersebar di berbagai pelosok dusun wilayah kabupaten Bantul, Kodya Yogya, kabupaten Sleman, kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo, bahkan ada yang di daerah Muntilan Magelang (dekat lokasi Candi Borobudur).
Para santri senior yang menjadi anggotanya tersebut dikirim ke daerah binaan (musholla/masjid/rumah penduduk) beberapa hari dalam satu minggunya untuk mengajari anak-anak dan masyarakat membaca Al-Qur’an, memberikan pengajian kitab-kitab kuning secara rutin, menjadi khotib sholat jum’at, atau penceramah pada pengajian umum yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat.
Organisasi milik santri senior Pesantren Krapyak ini secara struktural memang tidak berada di bawah lembaga pesantren Al-Munawwir, namun secara kultural organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan dan dukungan pesantren Al-Munawwir, yang telah memberikan kebebasan bagi para santrinya, terutama mereka yang menjadi mahasiswa, untuk mengabdikan keilmuannya kepada masyarakat diluar pesantren, dan organisasi ini berada di bawah bimbingan, pembinaan dan perlindungan K.H. Ali Maksum beserta para Kiai dan para ustadz  pesantren.[22]



[1]   Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 41

Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi dua kelompok besar, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan sistem pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem lama, tapi tanpa mengenalkan pengejaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi, sama seperti pesantren salafi, hanya saja dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan peantren.

[2]   M. Ridlwan Nasir, op.cit., halm. 87
M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5, yaitu 1) Pesantren salaf/klasik, ditandai dengan penerapan sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)  dan sistem klasikal (madrasah) salaf;  2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf ditambah adanya sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum’  3) pesantren berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya, 70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3, hanya lebih lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi (umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris);  5) pesantren ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai pesantren.

[3]  Djunaidi dkk, Ibid., halm.34-35. Juga wawancara dengan K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H. A. Warson Munawwir, 03-09-2010

[4]  Ibid. halm. 35 juga wawancara dengan K.H. Zanal Abidin dan K.H.A. Warson Munawwir, 03-09-2010.

[5]  Aly As’ad., Ibid., Bagian Lampiran halm.7-8

[6]  Djunaidi dkk., Ibid., halm. 36-37. Juga wawancara dengan KH Asyhari Abta, 04-09-2010

[7] Berikut ini merupakan gambaran seleksi penerimaan dan penempatran kelas model K.H. Ali Makum, sesuai dengan pengalaman penulis sewaktu dites dan pengalaman kawan-kawan penulis : materi tes untuk tamatan SD/MI atau pindahan dari MTs/SMP dan yang sederajat adalah diperintah menulis surat Al-Fatihah tanpa melihat Mushhaf dan membaca teks kitab yang berharokat seperti kitab Al-Qiro’ah al-Rosyidah, Durusul Lughah al-‘Arabiyyah dan semisalnya. Jika calon siswa mampu menulis secara benar surat Al-Fatihah (tanpa ada kesalahan tulisan huruf dan harokat) dan lancar membaca teks kitab tersebut, bisa dipastikan bahwa dia akan ditempatkan di kelas 2 Tsanawiyah. Sedangkan materi tes untuk tamatan MTs/SMP/sederajat atau pindahan dari MA/SMA dan yang sederajat adalah diperintah menulis surat Adh-Dhuha dan membaca teks kitab “gundul” semisal kitab Fathul Qorib beserta pemahamannya. Jika dia mampu menulis secara benar surat Adh-Dhuha (tanpa ada kesalahan tulisan huruf dan harokat) serta mampu membaca secara lancar dan benar teks kitab “gundul” tersebut beserta pemahamannya, dia akan ditempatkan di kelas 5 Tsanawiyah, dan jika ada kesalahan tetapi tidak seberapa, dia akan ditempatkan di kelas 4 Tsanawiyah, namun jika dia tidak mampu atau mampu tetapi kesalahannya agak parah, biasanya akan ditempatkan di kelas 2 atau 3 Tsanawiyah. Jadi, penempatan calon siswa di tingkatan kelas sepenuhnya merupakan hak prerogatif K.H. Ali Maksum. Sedangkan pihak pengelola Madrasah tinggal melaksanakan instruksi atau surat perintah dari beliau.

[8] Dokumen MTs Yayasan Ali Maksum PP Krapyak Yogyakarta, dan wawancara dengan Drs. K.H. Asyhari Abta, 04-09-2010

[9]  Wawancara dengan Drs. KH. Asyhari Abta, 04-09-2010

[10] Dokumen MTs/MA Yayasan Ali Maksum PP Krapyak Yogyakarta.

[11] Dokumen MTs/MA Yayasan Ali maksum PP Krapyak Yogyakarta

[12]  Wawancara dengan KH Zainal Abidin Munawwir dan KH A. Warson Munawwir, 03-09-2010

[13] Aly As’ad, ibid., bagian Lampiran halm.9-10

[14] Wawancara dengan KH Zainal Abidin Munawwir dan KH A. Warson Munawwir, 03-09-2010

[15] Djunaidi dkk., Ibid., halm. 36-37. Juga wawancara dengan K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H. A. Warson Munawwir, 03-09-2010

[16] Ibid., halm., 60-61

[17] Aly As’ad, ibid., halm. 52

[18] Djunaidi dkk., halm.

[19] Wawancara dengan Drs. KH. Henry Sutopo, mantan Direktur Madrasah Diniyah 1980 – 2002, pada tanggal  03-09-2010.

[20] Wawancara dengan Drs. K.H. Henry Sutopo, Drs. K.H. Asyhari Abta dan Drs. K.H. Munawwir AF, 03-09-2010

[21] Wawancara pada tanggal 18 Juli 2010 dengan Drs. Djunaidi (mantan ketua pondok tahun 1988-1990). Juga wawancara dengan Drs K.H. Munawwir AF (guru senior pondok, dan mantan pengurus pondok), K.H. Drs. Asyhari Abta, M.Pd.I (kepala MA Al-Munawwir, mantan pengurus pondok), 04-09-2010


[22] Wawancara pada tanggal 04-09-2010 dengan Drs. H. A. Zuhdi Mukhdlor, M.Hum (mantan ketua Yayasan KODAMA periode 1981-1983), Drs. KH Munawwir AF (mantan ketua Yayasan KODAMA periode 1985-1987), dan Drs. KH Asyhari Abta,M.PdI (mantan ketua Yayasan KODAMA periode 1991-1993).