____________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Ilmu Shorof merupakan salah satu cabang dari
’ulumul lughah al-’Arabiyah (ilmu bahasa Arab) yang memiliki peranan yang cukup
penting di samping ilmu Nahwu. Hubungan diantara kedua ilmu (shorof dan
nahwu) ini tidak dapat dipisahkan, diibaratkan hubungan antara ibu dan bapak
yang saling membutuhkan dan melengkapi. Sebagian ulama mengatakan: الصَّرْفُ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَ النَّحْوُ
أَبُوْهَا, bahwa shorof adalah ibu/induk
segala ilmu, sedangkan nahwu adalah bapaknya. Bedanya, ilmu shorof
membahas suatu ”kata” atau ”lafazh” sebelum masuk kedalam susunan kalimat,
sedangkan ilmu nahwu adalah membahas suatu ”kata” atau ”lafazh” ketika
sudah masuk didalam susunan kalimat.[1] Kedua ilmu ini merupakan
materi pengajaran pokok di pesantren-pesantren pada umumnya, disebabkan
kedudukannya sebagai ilmu alat (perantara) atau prasyarat untuk
mampu menguasai (segi pembacaan dan penulisan secara benar) dan mengungkap isi
kandungan seluruh Kitab Kuning yang sering disebut dengan ”kitab
gundul”.[2] K.H. Ali Maksum pernah mengatakan, bahwa
bahasa Arab justru menjadi kunci pembuka yang paling utama. Sebab Al-Qur’an,
Sunnah Nabi dan kitab-kitab tafsir serta syarah-syarah hadis semuanya
tertulis dalam bahasa Arab. Tanpa menguasai ilmu bahasa arab, seorang santri
mustahil dapat menguasai secara baik kitab-kitab kuning. [3]
Namun Kiai Ali mengakui, bahwa metode
belajar konvensional yang biasa diterapkan di pesantren terlalu memakan waktu lama,
sehingga menghabiskan umur, karena yang dijadikan ukuran bahwa seorang santri dipandang
telah memahami bahasa Arab ialah jika ia mampu menguasai kitab Syarah Ibnu
’Aqil, sementara untuk dapat memahami kitab ini, seorang santri harus mempelajari
bahasa Arab secara sistimatis dan bertahap, mulai dari kitab-kitab taraf rendah
sampai yang tertinggi, yang biasanya berurutan mulai dari kitab Jurumiyah,
’Imrithy, Mutammimah, dan terakhir Alfiyah Ibnu Malik dengan
syarahnya Ibnu ’Aqil. Cara belajar yang konvensional seperti ini
membutuhkan waktu yang lama. Hal ini tentu saja memperkuat anggapan bahwa
bahasa Arab sangat rumit dan sulit dipelajari, bahkan menjadi momok yang
menakutkan bagi sekelompok pelajar-mahasiswa perguruan Islam.[4] Akibat dari anggapan ini, maka minat belajar
bahasa Arab di kalangan kaum muslimin, terutama di kalangan generasi mudanya
dari waktu ke waktu semakin menurun. Padahal mempelajari bahasa Arab merupakan
tuntutan syar’i, sebagaimana sabda Nabi :
تَعَلَّمُوْا الْعَرَبِيَّةَ وَ عَلِّمُوْهَا النَّاسَ
Artinya: “Pelajarilah
bahasa arab, dan ajarkanlah kepada orang lain”
Ringkas kata, menurut pandangan
Kiai Ali, mereka kesulitan mempelajari bahasa Arab bukan karena dari segi
ilmunya yang sulit atau kosa katanya yang rumit, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaktepatan
metode yang diterapkan dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, Kiai Ali
kemudian menawarkan metode belajar bahasa Arab dengan pendekatan tashrif
atau shorof. Dengan pendekatan ini, kesulitan dan kerumitan kosakata dapat
teratasi, serta dapat mempersingkat masa tempuh belajarnya.
Pandangan Kiai Ali di atas
diperkuat oleh K.H.A. Warson Munawwir, penulis buku Al-Munawwir : Kamus
Lengkap Arab – Indonesia, bahwa pendekatan
tashrif atau shorof merupakan kunci utama dalam mempelajari
bahasa Arab, disamping juga pendekatan ilmu Nahwu. Karena dengan penguasaan ilmu
shorof ini, maka seseorang akan memperoleh beberapa keuntungan, diantaranya :
1) ia dapat memperpendek masa
tempuh pembelajaran bahasa Arab;
2) ia
mampu mengatasi kerumitan kosakata yang mungkin muncul;
3) dengan
menggunakan shorof sebagai perangkat analisis struktur kata bahasa Arab, maka
ia tidak perlu banyak memerlukan buku Kamus;
4) atau setidaknya ia
menjadi terampil dan mudah mencari kata dalam kamus. Hal ini dikarenakan kamus
bahasa Arab pada umumnya disusun berdasar pola asal suku kata dasar, dan tidak
sepenuhnya berdasar pola alfabetis, dengan demikian ilmu shorof sangat
diperlukan dalam penggunaan kamus tersebut.[5]
Kiai Ali selanjutnya menjelaskan
beberapa keuntungan yang dapat diraih dari pendekatan shorof dalam pembelajaran
bahasa Arab, sebagai berikut[6] :
1). Kegunaan dalam tahajji
(mengeja) dan qira’ah (membaca).
Setelah murid sudah mengenal mufrodatul
huruf atau huruf hijaiyah, ia dapat langsung diberi hafalan tashrif
kalimah. Misalnya, ia disuruh men-tashrif kalimah ”نَصَرَ - يَنْصُرُ” (secara ishtilahy
atau lughawi) sampai selesai. Lalu disuruh lagi men-tashrif kalimah
”رَسَمَ - يَرْسُمُ” sampai
selesai. Dan begitu seterusnya.
Dengan cara
seperti itu, maka dengan tanpa menggunakan cara mengeja yang bertele-tela,
murid dengan sendirinya akan mengenal dan dapat membaca kalimat-kalimat
tertentu.
2). Kegunaan dalam khath
(seni tulis)
Dengan metode tashrif kalimah
atau shorof, murid dengan sendirinya terlatih menulis secara baik dan benar
suatu huruf dalam berbagai bentuknya. Maksudnya, dengan perintah menuliskan tashrif
kalimah ”نَصَرَ - يَنْصُرُ”, berarti ia
mengulang-ulang tulisan huruf ن - ص dan ر dengan bermacam-macam perubahan bentuknya.
3). Kegunaan dalam ketepatan makhroj
(pengucapan huruf)
Dengan mengulang-ulang tashrif
kalimah, murid otomatis terlatih mengucapkan makhroj secara benar.
Karena itu guru sebaiknya mengajak murid mengucapkan tashrif kalimah
dengan suara keras dan fasih. Disamping itu mengajak murid mengucapkan
huruf-huruf tertentu lewat tashrif untuk tujuan ”tahqiqul makhroj”
(pengucapan huruf secara benar). Misalnya, untuk mengucapkan huruf ”خ” (خَاءْ), agar sesuai
dengan tahqiqul makhroj, guru cukup mencarikan kalimat yang mengandung
huruf ”خ”, seperti
kalimah : دَخَلَ - يَدْخُلُ atau خَرَجَ - يَخْرُجُ agar di-tashrif sampai
selesai. Dengan demikian, guru tidak perlu lagi menggunakan metode lama untuk tahqiqul
makhroj, seperti :
خَاخًا خَلِخَنْ مِنَ الْمُخْنِ
مَخَاخًا خَلِخَا
Karena cara
seperti itu, menurut Kiai Ali, disamping tidak memberikan dasar-dasar
pengetahuan bahasa Arab, juga tidak mengandung makna, karena susunan kalimat seperti
itu tidak pernah dijumpai dalam bahasa Arab.
4). Kegunaan dalam imla’
(dikte)
Imla’ atau dikte biasa digunakan ustadz untuk menguji kemampuan dan
kecermatan santri dalam menangkap kalimat Arab, sekaligus menuliskannya.
Misalnya ustadz mengucapkan satu kalimat, lalu santri menuliskannya, dan begitu
seterusnya. Maka dengan model tashrifan, ustadz cukup menyebut satu
kalimat, misalnya ”ذَهَبَ”, kemudian
menyuruh santri untuk menuliskan dan meneruskan tashrifannya.
5). Kegunaan dalam memperluas perubahan-perubahan
bentuk kalimat
Belajar bahasa Arab dengan
pendekatan shorof ini, menurut Kiai Ali berarti sekaligus belajar dasar-dasar
ilmu nahwu. Karena, selain santri dan ustadz memperoleh perbendaharaan kata /
kosakata yang banyak, sekaligus juga dapat mengenal perubahan bentuk (shighat)
kalimat, seperti sighat fi’il madhi, fi’il mudhori’, fi’il amar, isim fa’il,
isim maf’ul, isim tafdhil, isim mubalaghah, dan sebagainya. Dengan demikian,
murid tidak akan lupa atau ”pangling” dengan perubahan bentuk kalimat
tersebut, dan dengan sendirinya ia telah menguasai dasar-dasar ilmu nahwu, sehingga
pada tahap berikutnya sangat mudah baginya untuk diperkuat dengan kaidah-kaidah
nahwiyah.
Pembelajaran bahasa Arab dengan
pendekatan shorof sebenarnya sudah cukup membantu mempersingkat masa belajar. Namun
metode pembelajaran shorof yang telah ada dirasa kurang praktis, masih bertele-tele,
serta masih ditemukan adanya pemborosan energi, tenaga dan waktu, disebabkan
adanya kata-kata atau kalimat yang semestinya tidak termasuk unsur pokok dalam
pentashrifan, lalu ikut-ikutan di-tashrif. Misalnya tashfrif model
K.H. Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang yang mengikutsertakan kata-kata ”فَهُوَ” dan ”وَذَاكَ” yang sebenarnya tidak perlu, dikarenakan bukan termasuk
unsur penting dalam pentashrifan.
Atas dasar itu maka Kiai Ali
mencoba menawarkan metode pembelajaran shorof yang disusun sedemikian rupa
sehingga lebih mudah dipelajari, relatif lebih praktis dan fungsional, tidak
bertele-tele, serta tidak terjadi adanya pemborosan tenaga (energi) dan waktu dalam
proses pembelajarannya.
Bila dibandingkan dengan metode
pembelajaran shorof model Jombang, metode pembelajaran shorof temuan Kiai Ali
Maksum ini memiliki ciri khas dan perbedaan yang cukup menonjol dari segi
pentashrifan secara ishtilahiy, sedangkan dari segi pentashrifan secara lughawiy
relatif sama.
Ciri khas dan perbedaan tersebut sebagai berikut:
1) adanya
pengklasifikasian secara tegas antara bentuk fi’il dan isim;
2) pembuangan kata-kata ”فَهُوَ” dan ”وَذَاكَ” yang
sebenarnya tidak termasuk unsur penting dalam pentashrifan, sekedar sebagai
variasi;
3) tidak mencantumkan dalam
pentashrifan beberapa bentuk (shighat) kata/kalimat yang dipandang
kurang berfungsi dan jarang digunakan dalam penggunaan bahasa Arab sehari-hari,
seperti mashdar mim (المصدر
الميم) dan isim alat (اسم الألة);
4) tidak
mencantumkan bentuk fi’il nahi (الفعل النهي) dalam
pentashrifan, karena merupakan bagian dari pembahasan ilmu nahwu;
5) bentuk-bentuk
kata yang ditashrif terdiri dari 8 unsur pokok yang secara urut terdiri dari sighot:
a) fi’il madhi; b) fi’il
mudhori’; c) fi’il amar; d) isim mashdar; e) isim fa’il; f) isim maf’ul; g dan h) isim zaman dan isim makan.
Dengan
demikian, pola dan metode shorof temuan Kiai Ali ini nampak menjadi lebih sederhana,
praktis dan sistimatis, sehingga lebih mempermudah santri dalam mempelajari
ilmu shorof dan bahasa Arab pada umumnya, dan pada gilirannya nanti akan lebih
mengefektifkan proses pembelajaran dan mengefisienkan (mempersingkat) masa
belajar santri.
Coba perhatikan perbedaan antara
pola pentashrifan metode ”Krapyak” (tabel 10) dan metode ”Jombang” (tabel 11) berikut ini :
Tabel 10
Pola Tashrif Ishthilahiy Metode
Krapyak
اسم
|
فعل
|
صيغة
|
|||||
الزمان
و المكان
|
المفعول
|
الفاعل
|
المصدر
|
الأمر
|
المضارع
|
الماضي
|
|
7-8
|
6
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|
مَنْصَرٌ - 2× َ
|
مَنْصُوْرٌ
|
نَاصِرٌ
|
نَصْرًا
|
اُنْصُرْ
|
يَنْصُرُ
|
نَصَرَ
|
وزن 1
|
مَضْرِبٌ - 2×
|
مَضْرُوْبٌ
|
ضَارِبٌ
|
ضَرْبًا
|
اِضْرِبْ
|
يَضْرِبُ
|
ضَرَبَ
|
وزن 2
|
مَفْتَحٌ - 2×
|
مَفْتُوْحٌ
|
فَاتِحٌ
|
فَتْحًا
|
اِفْتَحْ
|
يَفْتَحُ
|
فَتَحَ
|
وزن 3
|
مَحْمَدٌ - 2×
|
مَحْمُوْدٌ
|
حَامِدٌ
|
حَمْدًا
|
اِحْمَدْ
|
يَحْمَدُ
|
حَمِدَ
|
وزن 4
|
مَكْرَمٌ - 2×
|
-
|
كَرِيْمٌ
|
كَرَامَةً
|
اُكْرُمْ
|
يَكْرُمُ
|
كَرُمَ
|
وزن 5
|
مَحْسَبٌ
– 2×
|
مَحْسُوْبٌ
|
حَاسِبٌ
|
حِسْبَانًا
|
اِحْسَبْ
|
يَحْسَبُ
|
حَسِبَ
|
وزن 6
|
Tabel 11
Pola Tashrif Ishthilahiy Metode
Jombang
اسم
ألـة
|
زمان و
مكان
|
فعل
نهي
|
فعل
أمر
|
اسم
مفعول
|
اسم
ضمير
|
اسم
فاعل
|
اسم
ضمير
|
مصدر
ميم
|
اسم
مصدر
|
فعل
مضارغ
|
فعل
ماضي
|
|
13
|
11-12
|
10
|
9
|
8
|
7
|
6
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|
مِنْصَرٌ
|
مَنْصَرٌ
-2× َ
|
لَاتَنْصُرْ
|
اُنْصُرْ
|
مَنْصُوْرٌ
|
وَذَاكَ
|
نَاصِرٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَنْصَرًا
|
نَصْرًا
|
يَنْصُرُ
|
نَصَرَ
|
1
|
مِضْرَبٌ
|
مَضْرِبٌ -2×
|
لَاتَضْرِبْ
|
اِضْرِبْ
|
مَضْرُوْبٌ
|
وَذَاكَ
|
ضَارِبٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَضْرَبًا
|
ضَرْبًا
|
يَضْرِبُ
|
ضَرَبَ
|
2
|
مِفْتَحٌ
|
مَفْتَحٌ
-2×
|
لَاتَفْتَحْ
|
اِفْتَحْ
|
مَفْتُوْحٌ
|
وَذَاكَ
|
فَاتِحٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَفْتَحًا
|
فَتْحًا
|
يَفْتَحُ
|
فَتَحَ
|
3
|
مَحْمَدٌ -2×
|
لَاتَحْمَدْ
|
اِحْمَدْ
|
مَحْمُوْدٌ
|
وَذَاكَ
|
حَامِدٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَحْمَدًا
|
حَمْدًا
|
يَحْمَدُ
|
حَمِدَ
|
4
|
|
مَكْرَمٌ -2×
|
لَاتَكْرُمْ
|
اُكْرُمْ
|
-
|
-
|
كَرِيْمٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَكْرَمًا
|
كَرَامَةً
|
يَكْرُمُ
|
كَرُمَ
|
5
|
|
مَحْسَبٌ
–2×
|
لَاتَحْسَبْ
|
اِحْسَبْ
|
مَحْسُوْبٌ
|
وَذَاكَ
|
حَاسِبٌ
|
فَهُوَ
|
وَمَحْسَبًا
|
حِسْبَانًا
|
يَحْسَبُ
|
حَسِبَ
|
6
|
Metode shorof atau Tashriful
kalimah model Kiai Ali yang diberi nama ”الصَّرْفُ الْوَاضِحُ” ini merupakan
”temuan baru” yang beliau ciptakan ketika masih mondok di Tremas pada tahun
1927-1935 dan langsung diujicobakan
kepada para santri di Madrasah Diniyah Pesantren Tremas yang beliau dirikan
bersama ahli bait (keluarga mDalem) pesantren, dan hasilnya
ternyata cukup menggembirakan. Menurut K.H. Habib Dimyati, shorof model Kiai
Ali ini masih dihafal dan dikembangkan oleh sebagian alumni pesantren Tremas,
bahkan keluarga pesantren.[7] Sejak diselenggarakannya
sistem madrasah di Pesantren Al-Munawwir
pada tahun 1946 dan K.H. Ali Maksum menjadi salah satu diantara
pengasuhnya, metode shorof ini diterapkan hingga sekarang.
Metode ini kemudian
dikembangkan oleh sebagian alumninya di daerahnya masing-masing, dan lahirlah
beberapa buku shorof yang mengacu kepada metode ini, diantaranya :
1). Ash-Sharful Wadhih,
karya K.H. Ali Maksum.
2). Al-Maqoyis :
Materi Pelajaran Shorof Metode K.H. Ali Maksum, tulisan Drs. H. Nur Hadi,
diterbitkan oleh cv Kota Kembang Yogyakarta, t.t.
3). Ash-Shorful Wadhih
: Shorof Praktis Metode Krapyak, tulisan Drs. Muhtarom Busyro,
diterbitkan oleh Multi Karya Grafika Pondok Krapyak Yogyakarta (1995), dan
Menara Kudus Jogjakarta (2003).
4). Materi kajian Shorof “الصَّرْفُ الْوَاضِح”, jilid 1 dan 2, oleh
Achmad Suchaimi, Surabaya : P.P. Roudlotut Tholibin - untuk kalangan sendiri.
cet. 1 - 2004, cet.2 – 2005
[1] Drs. Muhtarom
Busyro, Shorof Praktis Metode Krapyak, Yogyakarta : Menara Kudus
Jogjakarta, 2003, cet.1. halm. 22-23.
[2] Disebut demikian,
karena hampir semua kitab kuning dicetak dengan tanpa syakal (harakat).
[3] A. Zuhdi Mukhdlor,
op.cit., halm.34.
Kata kiai Ali selanjutnya, “… Memang sekarang banyak
kitab-kitab tersebut telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, tetapi
bagaimanapun, buku terjemahan itu tidak mungkin bermakna setingkat dengan kitab
aslinya. Apalagi jika si penterjemah kurang teliti, atau memang kemampuannya
kurang mumpuni”
[4] Ibid., 36-38
Pengalaman
Kiai Ali ketika menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga membuktikan hal tersebut.
Banyak mahasiswa yang tidak menguasai bahasa Arab, padahal literatur yang
digunakan hampir semuanya
berbahasa Arab, sehingga mereka merasa ketakutan sewaktu menghadapi mata
kuliyah berbahasa Arab.
[5] K.H.A. Warson
Munawwir, Kata Pengantar, dalam Drs. Muhtarom Busyro, op.cit., halm. 7-8
[6] A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 39-41
[7] A. Zuhdi Mukhdlor,
op.cit., halm. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar