_________________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Kata Pengantar :
Tulisan bersambung ini dinukil dari beberapa
bagian tulisan dari Thesis penulis “Kepemimpinan K.H. Ali Maksum
dan Metode Pengajarannya di P.P. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1943 s.d. 1989)”.
Pempublikasian tulisan ini dimaksudkan untuk :
1. Menyambut
Peringatan Haul Atas Wafatnya syaikhina wa murobbi ruuhina, KH Ali
Maksum (wafat pada hari kamis malam Jum’at, 15 Jumadil Awwal 1411 H / 7
Desember 1989) dan KH
M. Munawwir (Wafat pada hari jum’at, 11 Jumadil Akhir tahun 1360 H / 6 Juli 1942 M)
2. Mengenang
keteladanan syaikhina wa murobbi ruuhina, KH Ali Maksum dan KH M. Munawwir,
terutama dalam hal kepemimpinan dan metode penghajarannya, agar hal ini dijadikan
sebagai uswatun hasanah, terutama bagi para santri dan alumninya.
3. Sebagai
bahan Study/Kajian awal tentang Kepemimpinan dan Metode Pengajaran kedua tokoh
tersebut, dan diharapkan dapat dikembangkan dalam kajian-kajian yang lebih
mendalam di masa-masa mendatang.
=======================================
POLA KEPEMIMPINAN K.H. ALI MAKSUM
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta didirikan pada
tahun 1910 oleh K.H.M. Munawwir. Selama dalam perjalanannya sampai tahun 1989,
pesantren Al-Munawwir telah mengalami tiga kali periode kepemimpinan :
1. Periode kepemimpinan tunggal K.H.M. Munawwir
(1910 – 1941)
2. Periode kepemimpinan ”tiga serangkai” : K.H.R.
Abdullah Afandi Munawwir, K.H.R. Abdul Qodir Munawwir dan K.H. Ali Maksum (1941
– 1967).
3. Periode kepemimpinan tunggal K.H. Ali Maksum
(1967 – 1989)
Pada periode kepemimpinan tunggal K.H.M. Munawwir
(1910-1941) ini, beliau merupakan pendiri, pengasuh sekaligus pemilik
pesantren. Beliau adalah faktor inti pesantren. Beliau adalah figur sentral
disebabkan seluruh penyelenggaraan pesantren berpusat kepada beliau. Beliau
merupakan sumber utama dalam hal kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan misi
pesantren. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, beliau lebih bertindak
secara otokratis (otoriter), dalam arti bahwa beliau mengambil keputusan
sendiri tanpa melibatkan para bawahannya. Maju-mundur dan kebesaran pesantren
tergantung pada sepak terjang kepemimpinan dan kekharismaannya. Warna dan corak
pesantren Al-Munawwir sebagai pesantren spesialis tahfizhul Qur’an
ketika itu sepenuhnya ditentukan oleh beliau selaku seorang ulama ahli Al-Qur’an
yang sangat berkompeten di bidangnya dan sangat sulit dicarikan tandingannya
pada masa itu. Pesantren diibaratkan sebuah kerajaan, beliau adalah raja yang
berkuasa secara mutlak pada pesantrennya, karena beliaulah yang mendirikan
sekaligus sebagai pemiliknya.
K.H.M. Munawwir adalah seorang kiai yang disegani dan
berkharisma. Kekharismaan beliau bukan diperoleh dari warisan orang tuanya,
akan tetapi lebih disebabkan oleh keahliannya di bidang ulumul Qur’an,
kepribadiannya yang menjadi suri teladan masyarakat (terutama para santri) dan
diakui oleh masyarakat sebagai kiai yang memiliki kekuatan karamah.
Diantara karamah beliau yang diakui masyarakat ialah kemampuannya dalam
melahirkan ratusan alumni dan tidak sedikit diantara mereka telah menjadi
pendiri dan pengasuh pesantren besar bernuansa Al-Qur’an, terutama yang
tersebar di pulau Jawa dan Madura.
Dari segi sumber kekuasaan yang menjadikannya sebagai
seorang kiai dan pemimpin pesantren di atas, maka pola kepemimpinan K.H.M.
Munawwir menurut kategori Max Weber dapat digolongkan sebagai kepemimpinan
karismatik, bukan berpola kepemimpinan rasional yang didasarkan oleh jabatan
formal menurut tata aturan perundang-undangan, dan bukan pula kepemimpinan
tradisional yang menurut aturan tradisi diperoleh dari warisan orang tuanya.
Sepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan
kesepakatan kekuarga ”Bani Munawwir”, kepemimpinan pesantren kemudian diambil
alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir
Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab
dalam urusan sarana prasarana pesantren dan urusan hubungan dengan luar
pesantren, sedangkan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penanggung
jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. Namun satu persatu santri pulang
meninggalkan pesantren, dan belum genap 100 hari wafatnya, jumlah santri
tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke
Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga santri tinggal
beberapa orang, padahal jumlah santri pada saat wafatnya K.H.M. Munawwir
mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan, seperti
pengajaran Al-Qur’an, tetap berjalan seperti pada masa-masa sebelumnya dengan
jumlah santri apa adanya.
Dari fenomena diatas sementara dapat disimpulkan bahwa
kewibawaan dan kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran
pesantren dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku
keturunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma
dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah
dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke depan. Untuk mengatasi hal ini,
maka pada tahun 1943 musyawarah keluarga Bani Munawwir memutuskan untuk
mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir) --yang pada saat itu telah berhasil membenahi
sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah
santri-- agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis
tersebut. Sekalipun pada awalnya prosesnya cukup alot, dimana ajakan ini
ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum, namun
kekerasan hati beliau akhirnya luluh dan menerima ajakan tersebut.
Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak (1943), pesantren
Al-Munawwir kemudian dibawah kepemimpinan tiga serangkai dengan
pembagian tugas sebagai berikut:
1. K.H.R. Abdullah Affandi (putra,
wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan umum, menangani urusan
sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
2. K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat
1961), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern
pesantren
3. K.H. Ali Maksum (menantu),
sebagai penanggung jawab urusan pengajaran Kitab Kuning dan pembenahan
sistem pendidikannya.
Dengan memperhatikan uraian di atas, dipandang dari segi
sumber kekuasaan dan fungsi kepemimpinan, maka pola kepemimpinan K.H.R.
Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir lebih cenderung kepada pola
tradisional, yakni dalam pengertian sebagai suatu pola kepemimpinan yang
membutuhkan legitimasi formal komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan
keturunan dari pola kepemimpinan (kharismatik) sebelumnya. Dalam hal ini,
komunitas pendukung melihat K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir
Munawwir sebagai pemimpin ialah lebih disebabkan oleh posisinya sebagai anak
K.H.M. Munawwir, yang secara tradisional berhak mewarisi kepemimpinan orang
tuanya. Sesuai dengan tradisi pesantren yang kental dengan budaya feodalistik,
maka K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir lebih besar peluangnya untuk
menduduki kepemimpinan daripada adik-adiknya atau saudara-saudara iparnya,
apalagi proses kepemimpinan ini melalui pesan wasiat sang ayah dan didukung
oleh kesepakatan keluarga, sehingga proses pelimpahan kekuasaan dapat berjalan
secara lancar dan tanpa menimbulkan gejolak.
Sedangkan pola kepemimpinan K.H. Ali Maksum, dipandang
dari segi sumber kekuasaan dan fungsi kepemimpinan, merupakan perpaduan antara
pola tradisional dan kharismatik. Pada awalnya berpola tradisional dalam arti
bahwa proses kepemimpinannya terjadi berdasarkan keputusan dari pemimpin
tradisional itu sendiri. Dalam hal ini proses kepemimpinannya lebih didasarkan
pada penunjukan melalui wasiat dari K.H.M. Munawwir, yang diperkuat dengan
kesepakatan keluarga besar Bani Munawwir. Kemudian pada perkembangan
berikutnya, kepemimpinannya lebih berpola karismatik. Dalam pengertian bahwa
sumber kekuatan kepemimpinannya tidak sekedar disebabkan oleh posisinya sebagai
putra K.H. Maksum Lasem dan menantu K.H.M. Munawwir yang mendapatkan wasiat dari
beliau serta dukungan dari keluarga besar pesantren (Bani Munawwir), akan
tetapi adalah lebih disebabkan oleh kualitas dan keunggulan kepribadiannya.
Bahkan tanpa bantuan orang lain, atau penunjukan dan pewarisan dari pemimpin
sebelumnya pun seseorang yang memiliki tipe-tipe karismatik akan menciptakan
citra yang menggambarkan kekuatan dirinya, dan pada perkembangan berikutnya
masyarakat memandangnya sebagai pemimpin mereka.
K.H. Ali Maksum merupakan seorang kiai yang memiliki
karisma yang cukup besar dan kuat. Besarnya karisma K.H. Ali Maksum tidak
terbatas didalam lingkungan pesantren, malahan meluas ke level nasional, dan
bahkan sampai ke level dunia Islam. Kekarismaan K.H. Ali Maksum ini ditunjukkan
antara lain oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Pemimpin karismatik biasanya muncul ketika
terjadi keadaan krisis atau kekacauan di suatu daerah, dan inilah yang terjadi
pada diri K.H. Ali Maksum, dimana sepeninggal K.H.M. Munawwir pesantren
Al-Munawwir mengalami krisis dan kemunduran yang sangat drastis, baik dari sisi
berkurangnya jumlah santri maupun amburadulnya sistem pendidikan dan
pengajaran. Sementara itu, K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H. Abdul Qodir yang
dipercaya sebagai penerus K.H.M. Munawwir tidak mampu mengatasi krisis
tersebut, maka dengan bermodalkan pengalaman, kedalaman ilmunnya dan kualitas
pribadinya, K.H. Ali Maksum berusaha membenahi pesantren dengan menetapkan dua
langkah strategis, yaitu : pertama, mengkader calon ulama, tenaga
pengajar dan pengelola dari kalangan keluarga pesantren; kedua, membenahi
sistem pendidikan dan pengajaran.
Langkah
strategis pertama ”pengkaderan ulama dan tenaga pengelola” yang
sepenuhnya melibatkan keluarga pesantren dilakukan secara intensif dan hasilnya
sangat memuaskan. Dengan kesuksesan pengkaderan ini, mereka tentu saja merasa
segan (bahasa jawa: sungkan), hormat dan sami’na wa atho’na
kepada K.H. Ali Maksum, karena mereka merasa menjadi murid/santrinya dan merasa
berhutang budi dalam usahanya membimbing mereka menjadi kiai-kiai yang
berkualitas, meskipun tidak menimba ilmu di pesantren-pesantren lain [1]. Maka dari sudut ini, K.H.
Ali dipandang sebagai ”sesepuh” pesantren Krapyak sepeninggal K.H.M. Munawwir.
Para kiai
hasil pengkaderan ini kemudian diterjunkan untuk bersama-sama mewujudkan
langkah strategis kedua, yakni membenahi sistem pendidikan dan pengajaran yang
amburadul, sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama, pesantren Al-Munawwir
mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam pengajaran Al-Qur’an maupun
pengajaran Kitab Kuning, serta lahirnya berbagai lembaga pendidikan
formal (sistim madrasi). Atas keberhasilannya dalam mengembangkan sistem
pendidikan dan pengajaran Kitab Kuning di pesantren Al-Munawwir, yang
tadinya merupakan pesantren spesialis Al-Qur’an menjadi sebuah pesantren yang
juga terkenal dengan pengajaran Kitab Kuning dan sistim madrasi, K.H.
Ali Maksum dipandang sebagai ”pembangun” pesantren Al-Munawwir sepeninggal
K.H.M. Munawwir.
2. Kharisma K.H. Ali juga muncul dari sikap pembawaannya yang tenang, santun dan
mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang lemah
lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja yang
ditemui, tutur katanya yang manis, raut wajahnya yang selalu ceria dan semringah
dengan hiasan senyuman yang khas,
sehingga beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang
tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan, apalagi dikultuskan,
suka memaafkan kesalahan orang, jauh dari sifat pendendam dan dengki,
menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
3. Keluasan wawasan dan kedalaman ilmu K.H. Ali Maksum, terutama dalam
disiplin ilmu tafsir dan Bahasa Arab, diakui oleh berbagai kalangan, baik para
kiai, intelektual kampus, kaum modernis dan masyarakat luas. Julukan “Munjid
Berjalan” untuk Kiai Ali Maksum dan ditunjuknya beliau sebagai guru besar
ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga, yang kemudian diangkat menjadi anggota Tim
Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur’an oleh Depag RI, menunjukkan keluasan,
kedalaman dan keahliannya di bidang keilmuan.
4. Keistiqomahan K.H. Ali dalam mendidik dan
mengajar santri, didukung dengan keluasan wawasannya dan bervariasinya metode
yang diterapkan, menyebabkan setiap pengajian Kitab Kuning yang di-balah-nya
dan sorogan yang diadakannya selalu diikuti oleh seluruh tingkatan
santri. Hal ini tentu saja menambah semakin dekatnya hubungan antara
kiai-santri, semakin besarnya kewibawaan beliau, dan semakin besar rasa hormat,
segan serta kepercayaan seluruh masyarakat pesantren terhadap kepemimpinan
beliau.
5. Hubungan pergaulan K.H. Ali dengan para
santri sangat dekat dan intim, seperti layaknya hubungan anak dan bapak. Beliau
sangat hafal dan titen dengan nama santri, orang tuanya, tempat
tinggalnya di pesantren, bahkan alamat rumahnya. Hubungan ini tidak hanya
selama mereka nyantri di pesantren, namun juga sampai mereka telah
pulang ke kampung halamannya, melalui hubungan saling bersilaturrahmi, kirim
salam, mengundang para alumni untuk menghadiri Haul K.H.M. Munawwir, dan
lain-lain. Hal ini yang membuatnya dihormati, disegani dan disukai oleh mereka.
Demikian pula hubungan pergaulannya yang sangat luas dengan berbagai kalangan
masyarakat : para kiai, intelektual, tokoh modernis, pejabat pemerintah dan
masyarakat pada umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh seringnya beliau menerima
kunjungan dari berbagai kalangan tersebut
6. Beliau dipercaya sebagai Rois syuriyah PWNU
Propinsi DIY berturut-turut sejak tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, menjadi
anggota konstituante dari unsur NU DIY hasil Pemilu 1955, menjadi Rois ’Am
PBNU hasil Munas Alim Ulama NU di Kaliurang tahun 1981 menggantikan posisi KH
Bisri Syansuri yang wafat, dan menjadi Mustasyar PBNU periode 1984-1989.
Bahkan beliau dipandang sebagai ”penyelamat” NU ketika organisasi ini dilanda
krisis kepemimpinan, kemelut di tubuh NU akibat perseteruan kubu politik
”Cipete” dan kubu ulama ”Situbondo”, dan ketika terjadi gejolak segelintir
aktivis yang berusaha ingin menggoyang Khittah 1926 dan menjerumuskan NU ke
politik praktis. Semuanya ini menunjukkan betapa besarnya karisma dan
kewibawaan beliau di kalangan kaum nahdhiyyin sampai menembus
dinding-dinding pesantren, dimulai dari level terbawah sampai ke level Nasional.
Bahkan kebesaran nama K.H. Ali Maksum ini menembus ke dunia Islam, terutama
Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah, disebabkan atas kepeloporannya dalam
usaha menggagalkan rencana
Sidang Dewan Gereja se-Dunia di Jakarta (1968).
Dengan besarnya kharisma yang muncul dalam pribadi K.H.
Ali Maksum seperti uraian di atas, ditambah lagi dengan posisi beliau yang
secara tradisional ditetapkan sebagai penerus kepemimpinan K.H.M. Munawwir
bersama-sama dengan K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir
Munawwir, maka semakin memperkokoh kepemimpinan individualnya di pesantren
Al-Munawwir dan menjadikannya sebagai figur sentral yang sangat menentukan
corak pesantren yang dipimpinnya, terutama pada periode kepemimpinan tunggalnya
(1968 – 1989).
[1]) A. Zuhdi Mukhdlor, K.H. Ali Maksum :
Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1989, cet.1,halm. 21-22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar