Selasa, 17 Februari 2015

Kajian Tentang Kepemimpinan dan Metode Pengajaran KH Ali Maksum – (1)





_________________________________
Oleh : Achmad Suchaimi


Kata Pengantar :

Tulisan bersambung ini dinukil dari beberapa bagian tulisan dari Thesis penulis “Kepemimpinan K.H. Ali Maksum dan Metode Pengajarannya di P.P. Al-Munawwir Krapyak  Yogyakarta (1943 s.d. 1989)”.
Pempublikasian tulisan ini dimaksudkan untuk :
1. Menyambut Peringatan Haul Atas Wafatnya syaikhina wa murobbi ruuhina, KH Ali Maksum (wafat pada hari kamis malam Jum’at, 15 Jumadil Awwal 1411 H / 7 Desember 1989) dan KH M. Munawwir (Wafat pada hari jum’at, 11 Jumadil Akhir tahun 1360 H / 6 Juli 1942 M)
2.  Mengenang keteladanan syaikhina wa murobbi ruuhina, KH Ali Maksum dan KH M. Munawwir, terutama dalam hal kepemimpinan dan metode penghajarannya, agar hal ini dijadikan sebagai uswatun hasanah, terutama bagi para santri dan alumninya.
3.  Sebagai bahan Study/Kajian awal tentang Kepemimpinan dan Metode Pengajaran kedua tokoh tersebut, dan diharapkan dapat dikembangkan dalam kajian-kajian yang lebih mendalam di masa-masa mendatang.

=======================================






POLA KEPEMIMPINAN K.H. ALI MAKSUM

Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta didirikan pada tahun 1910 oleh K.H.M. Munawwir. Selama dalam perjalanannya sampai tahun 1989, pesantren Al-Munawwir telah mengalami tiga kali periode kepemimpinan :
1.    Periode kepemimpinan tunggal K.H.M. Munawwir (1910 – 1941)
2.  Periode kepemimpinan ”tiga serangkai” : K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, K.H.R. Abdul Qodir Munawwir dan K.H. Ali Maksum (1941 – 1967).
3.    Periode kepemimpinan tunggal K.H. Ali Maksum (1967 – 1989)
Pada periode kepemimpinan tunggal K.H.M. Munawwir (1910-1941) ini, beliau merupakan pendiri, pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Beliau adalah faktor inti pesantren. Beliau adalah figur sentral disebabkan seluruh penyelenggaraan pesantren berpusat kepada beliau. Beliau merupakan sumber utama dalam hal kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan misi pesantren. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, beliau lebih bertindak secara otokratis (otoriter), dalam arti bahwa beliau mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan para bawahannya. Maju-mundur dan kebesaran pesantren tergantung pada sepak terjang kepemimpinan dan kekharismaannya. Warna dan corak pesantren Al-Munawwir sebagai pesantren spesialis tahfizhul Qur’an ketika itu sepenuhnya ditentukan oleh beliau selaku seorang ulama ahli Al-Qur’an yang sangat berkompeten di bidangnya dan sangat sulit dicarikan tandingannya pada masa itu. Pesantren diibaratkan sebuah kerajaan, beliau adalah raja yang berkuasa secara mutlak pada pesantrennya, karena beliaulah yang mendirikan sekaligus sebagai pemiliknya.
K.H.M. Munawwir adalah seorang kiai yang disegani dan berkharisma. Kekharismaan beliau bukan diperoleh dari warisan orang tuanya, akan tetapi lebih disebabkan oleh keahliannya di bidang ulumul Qur’an, kepribadiannya yang menjadi suri teladan masyarakat (terutama para santri) dan diakui oleh masyarakat sebagai kiai yang memiliki kekuatan karamah. Diantara karamah beliau yang diakui masyarakat ialah kemampuannya dalam melahirkan ratusan alumni dan tidak sedikit diantara mereka telah menjadi pendiri dan pengasuh pesantren besar bernuansa Al-Qur’an, terutama yang tersebar di pulau Jawa dan Madura.
Dari segi sumber kekuasaan yang menjadikannya sebagai seorang kiai dan pemimpin pesantren di atas, maka pola kepemimpinan K.H.M. Munawwir menurut kategori Max Weber dapat digolongkan sebagai kepemimpinan karismatik, bukan berpola kepemimpinan rasional yang didasarkan oleh jabatan formal menurut tata aturan perundang-undangan, dan bukan pula kepemimpinan tradisional yang menurut aturan tradisi diperoleh dari warisan orang tuanya.
Sepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan kekuarga ”Bani Munawwir”, kepemimpinan pesantren kemudian diambil alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan urusan hubungan dengan luar pesantren, sedangkan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. Namun satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren, dan belum genap 100 hari wafatnya, jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga santri tinggal beberapa orang, padahal jumlah santri pada saat wafatnya K.H.M. Munawwir mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan, seperti pengajaran Al-Qur’an, tetap berjalan seperti pada masa-masa sebelumnya dengan jumlah santri apa adanya.
Dari fenomena diatas sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran pesantren dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku keturunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke depan. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tahun 1943 musyawarah keluarga Bani Munawwir memutuskan untuk mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir)  --yang pada saat itu telah berhasil membenahi sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah santri-- agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut. Sekalipun pada awalnya prosesnya cukup alot, dimana ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum, namun  kekerasan hati beliau akhirnya luluh dan menerima ajakan tersebut.
Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak (1943), pesantren Al-Munawwir kemudian dibawah kepemimpinan tiga serangkai dengan pembagian tugas sebagai berikut:
1.   K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
2.   K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
3.   K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran Kitab Kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.
Dengan memperhatikan uraian di atas, dipandang dari segi sumber kekuasaan dan fungsi kepemimpinan, maka pola kepemimpinan K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir lebih cenderung kepada pola tradisional, yakni dalam pengertian sebagai suatu pola kepemimpinan yang membutuhkan legitimasi formal komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan keturunan dari pola kepemimpinan (kharismatik) sebelumnya. Dalam hal ini, komunitas pendukung melihat K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir sebagai pemimpin ialah lebih disebabkan oleh posisinya sebagai anak K.H.M. Munawwir, yang secara tradisional berhak mewarisi kepemimpinan orang tuanya. Sesuai dengan tradisi pesantren yang kental dengan budaya feodalistik, maka K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir lebih besar peluangnya untuk menduduki kepemimpinan daripada adik-adiknya atau saudara-saudara iparnya, apalagi proses kepemimpinan ini melalui pesan wasiat sang ayah dan didukung oleh kesepakatan keluarga, sehingga proses pelimpahan kekuasaan dapat berjalan secara lancar dan tanpa menimbulkan gejolak.
Sedangkan pola kepemimpinan K.H. Ali Maksum, dipandang dari segi sumber kekuasaan dan fungsi kepemimpinan, merupakan perpaduan antara pola tradisional dan kharismatik. Pada awalnya berpola tradisional dalam arti bahwa proses kepemimpinannya terjadi berdasarkan keputusan dari pemimpin tradisional itu sendiri. Dalam hal ini proses kepemimpinannya lebih didasarkan pada penunjukan melalui wasiat dari K.H.M. Munawwir, yang diperkuat dengan kesepakatan keluarga besar Bani Munawwir. Kemudian pada perkembangan berikutnya, kepemimpinannya lebih berpola karismatik. Dalam pengertian bahwa sumber kekuatan kepemimpinannya tidak sekedar disebabkan oleh posisinya sebagai putra K.H. Maksum Lasem dan menantu K.H.M. Munawwir yang mendapatkan wasiat dari beliau serta dukungan dari keluarga besar pesantren (Bani Munawwir), akan tetapi adalah lebih disebabkan oleh kualitas dan keunggulan kepribadiannya. Bahkan tanpa bantuan orang lain, atau penunjukan dan pewarisan dari pemimpin sebelumnya pun seseorang yang memiliki tipe-tipe karismatik akan menciptakan citra yang menggambarkan kekuatan dirinya, dan pada perkembangan berikutnya masyarakat memandangnya sebagai pemimpin mereka.
K.H. Ali Maksum merupakan seorang kiai yang memiliki karisma yang cukup besar dan kuat. Besarnya karisma K.H. Ali Maksum tidak terbatas didalam lingkungan pesantren, malahan meluas ke level nasional, dan bahkan sampai ke level dunia Islam. Kekarismaan K.H. Ali Maksum ini ditunjukkan antara lain oleh hal-hal sebagai berikut :
1.   Pemimpin karismatik biasanya muncul ketika terjadi keadaan krisis atau kekacauan di suatu daerah, dan inilah yang terjadi pada diri K.H. Ali Maksum, dimana sepeninggal K.H.M. Munawwir pesantren Al-Munawwir mengalami krisis dan kemunduran yang sangat drastis, baik dari sisi berkurangnya jumlah santri maupun amburadulnya sistem pendidikan dan pengajaran. Sementara itu, K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H. Abdul Qodir yang dipercaya sebagai penerus K.H.M. Munawwir tidak mampu mengatasi krisis tersebut, maka dengan bermodalkan pengalaman, kedalaman ilmunnya dan kualitas pribadinya, K.H. Ali Maksum berusaha membenahi pesantren dengan menetapkan dua langkah strategis, yaitu : pertama, mengkader calon ulama, tenaga pengajar dan pengelola dari kalangan keluarga pesantren; kedua, membenahi sistem pendidikan dan pengajaran.
Langkah strategis pertama ”pengkaderan ulama dan tenaga pengelola” yang sepenuhnya melibatkan keluarga pesantren dilakukan secara intensif dan hasilnya sangat memuaskan. Dengan kesuksesan pengkaderan ini, mereka tentu saja merasa segan (bahasa jawa: sungkan), hormat dan sami’na wa atho’na kepada K.H. Ali Maksum, karena mereka merasa menjadi murid/santrinya dan merasa berhutang budi dalam usahanya membimbing mereka menjadi kiai-kiai yang berkualitas, meskipun tidak menimba ilmu di pesantren-pesantren lain [1]. Maka dari sudut ini, K.H. Ali dipandang sebagai ”sesepuh” pesantren Krapyak sepeninggal K.H.M. Munawwir.
Para kiai hasil pengkaderan ini kemudian diterjunkan untuk bersama-sama mewujudkan langkah strategis kedua, yakni membenahi sistem pendidikan dan pengajaran yang amburadul, sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama, pesantren Al-Munawwir mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam pengajaran Al-Qur’an maupun pengajaran Kitab Kuning, serta lahirnya berbagai lembaga pendidikan formal (sistim madrasi). Atas keberhasilannya dalam mengembangkan sistem pendidikan dan pengajaran Kitab Kuning di pesantren Al-Munawwir, yang tadinya merupakan pesantren spesialis Al-Qur’an menjadi sebuah pesantren yang juga terkenal dengan pengajaran Kitab Kuning dan sistim madrasi, K.H. Ali Maksum dipandang sebagai ”pembangun” pesantren Al-Munawwir sepeninggal K.H.M. Munawwir.
2. Kharisma K.H. Ali juga muncul dari sikap pembawaannya yang tenang, santun dan mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, raut wajahnya yang selalu ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang khas,  sehingga beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan, apalagi dikultuskan, suka memaafkan kesalahan orang, jauh dari sifat pendendam dan dengki, menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
3.   Keluasan wawasan dan kedalaman ilmu K.H. Ali Maksum, terutama dalam disiplin ilmu tafsir dan Bahasa Arab, diakui oleh berbagai kalangan, baik para kiai, intelektual kampus, kaum modernis dan masyarakat luas. Julukan “Munjid Berjalan” untuk Kiai Ali Maksum dan ditunjuknya beliau sebagai guru besar ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga, yang kemudian diangkat menjadi anggota Tim Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur’an oleh Depag RI, menunjukkan keluasan, kedalaman dan keahliannya di bidang keilmuan.
4.   Keistiqomahan K.H. Ali dalam mendidik dan mengajar santri, didukung dengan keluasan wawasannya dan bervariasinya metode yang diterapkan, menyebabkan setiap pengajian Kitab Kuning yang di-balah-nya dan sorogan yang diadakannya selalu diikuti oleh seluruh tingkatan santri. Hal ini tentu saja menambah semakin dekatnya hubungan antara kiai-santri, semakin besarnya kewibawaan beliau, dan semakin besar rasa hormat, segan serta kepercayaan seluruh masyarakat pesantren terhadap kepemimpinan beliau.
5.   Hubungan pergaulan K.H. Ali dengan para santri sangat dekat dan intim, seperti layaknya hubungan anak dan bapak. Beliau sangat hafal dan titen dengan nama santri, orang tuanya, tempat tinggalnya di pesantren, bahkan alamat rumahnya. Hubungan ini tidak hanya selama mereka nyantri di pesantren, namun juga sampai mereka telah pulang ke kampung halamannya, melalui hubungan saling bersilaturrahmi, kirim salam, mengundang para alumni untuk menghadiri Haul K.H.M. Munawwir, dan lain-lain. Hal ini yang membuatnya dihormati, disegani dan disukai oleh mereka. Demikian pula hubungan pergaulannya yang sangat luas dengan berbagai kalangan masyarakat : para kiai, intelektual, tokoh modernis, pejabat pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh seringnya beliau menerima kunjungan dari berbagai kalangan tersebut
6.  Beliau dipercaya sebagai Rois syuriyah PWNU Propinsi DIY berturut-turut sejak tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, menjadi anggota konstituante dari unsur NU DIY hasil Pemilu 1955, menjadi Rois ’Am PBNU hasil Munas Alim Ulama NU di Kaliurang tahun 1981 menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat, dan menjadi Mustasyar PBNU periode 1984-1989. Bahkan beliau dipandang sebagai ”penyelamat” NU ketika organisasi ini dilanda krisis kepemimpinan, kemelut di tubuh NU akibat perseteruan kubu politik ”Cipete” dan kubu ulama ”Situbondo”, dan ketika terjadi gejolak segelintir aktivis yang berusaha ingin menggoyang Khittah 1926 dan menjerumuskan NU ke politik praktis. Semuanya ini menunjukkan betapa besarnya karisma dan kewibawaan beliau di kalangan kaum nahdhiyyin sampai menembus dinding-dinding pesantren, dimulai dari level terbawah sampai ke level Nasional. Bahkan kebesaran nama K.H. Ali Maksum ini menembus ke dunia Islam, terutama Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah, disebabkan atas kepeloporannya dalam usaha menggagalkan rencana Sidang Dewan Gereja se-Dunia di Jakarta (1968).  
Dengan besarnya kharisma yang muncul dalam pribadi K.H. Ali Maksum seperti uraian di atas, ditambah lagi dengan posisi beliau yang secara tradisional ditetapkan sebagai penerus kepemimpinan K.H.M. Munawwir bersama-sama dengan K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir, maka semakin memperkokoh kepemimpinan individualnya di pesantren Al-Munawwir dan menjadikannya sebagai figur sentral yang sangat menentukan corak pesantren yang dipimpinnya, terutama pada periode kepemimpinan tunggalnya (1968 – 1989).


[1]) A. Zuhdi Mukhdlor, K.H. Ali Maksum : Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989, cet.1,halm. 21-22



Tidak ada komentar:

Posting Komentar