____________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang sejak awal
dipersiapkan untuk melakukan beberapa fungsi, diantaranya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan
lembaga penyiaran agama Islam.[1]
Sebagai
Lembaga Pendidikan, pesantren berfungsi melakukan transmisi dan transfer
ilmu-ilmu keislaman kepada santri, mempersiapkan kader-kader ulama dan
mempertahankan tradisi Islam,[2]
terutama yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah[3]
dan bersumber pada Kitab Kuning tulisan para ulama salaf abad
pertengahan (sekitar abad 16 – 18 M) melalui penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran, baik formal maupun non formal, yang meliputi pengajian-pengajian (weton,
sorogan, majlis ta’lim), madrasah (Diniyah, MI, MTs, MA), sekolah
umum (SD, SMP, SMA, SMK dll), dan perguruan tinggi.
Sebagai
Lembaga Sosial, pesantren menampung santri-santri dari berbagai strata
dan lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat sosial ekonominya. Di samping
terbuka menerima tamu dari masyarakat umum dengan berbagai tujuan dan motif,
mulai dari sekedar shilaturrahim, meminta nasihat, berobat, meminta doa
dan jimat, konsultasi untuk memecahkan berbagai persoalan hidup, minta dukungan politik sebagaimana yang terjadi
akhir-akhir ini dalam kaitannya dengan PEMILU (Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilbub
dan Pilkades) dan motif-motif lainnya, sehingga mengokohkan pesantren sebagai
pusat rujukan masyarakat dalam memecahkan berbagai problem kehidupan mereka.
Pesantren sebagai Lembaga
Penyiaran Agama Islam ditunjukkan
oleh masjid pesantren yang terbuka bagi masyarakat umum sebagai tempat ibadah
dan penyampaian khutbah jum’at, penyelenggaraan majlis ta’lim
(pengajian rutin bagi masyarakat umum), diskusi-diskusi keagamaan dan
sebagainya. Disamping itu, kiai dan para ustadz senior selain
mengajar di pesantren juga menjadi muballigh di tengah-tengah masyarakat
luar pesantren. Bahkan sejak awal kemunculannya di Jawa, pesantren dijadikan
oleh para muballigh walisongo sebagai sarana menggembleng kader-kader muballigh
dalam proses islamisasi masyarakat Jawa saat itu, selain melalui saluran perdagangan, tradisi
budaya, tasawwuf, dan politik
Ketiga
fungsi tersebut menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi
dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan
masyarakat umum.
Sehubungan
dengan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, K.H. Ali menyatakan, bahwa
missi utama dan tugas pokok pendidikan pesantren adalah mencetak ulama’.[4]
Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut ulama’ adalah orang yang
luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar ketaqwaan (khosyyah)
yang tinggi.[5]
Dalam penampilannya sehari-hari, seorang ulama ditunjukkan oleh ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah;
2. Sebagai orang yang berilmu pengetahuan (agama) yang sejati, yang
konsekwen, dan mengamalkan ilmunya secara sempurna dalam kehidupan nyata;
3. Sebagai suri teladan kehidupan yang utuh dan seimbang antara
kemampuan lahiriah dengan bimbingan yang diperolehnya secara murni dari syari’ah;
dan
4. Sebagai manusia pembangun dan pembina mental spiritual masyarakat,
yang berperan sebagai motivator dan dinamisator yang kreatif dan inovatif.[6]
Untuk mewujudkan missi
tersebut, maka pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan,
mendidik kepribadian yang luhur, dan menuntut pengamalan ilmu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, di samping bahwa pesantren tetap membimbing alumninya
setelah pulang.[7]
Missi inilah yang melandasi dan mendorong K.H. Ali Maksum untuk mengatasi
kemunduran pesantren dan melakukan pembenahan-pembenahan terutama di bidang
sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulumnya.
Sejak
wafatnya K.H.M. Munawwir, pesantren ini mengalami kemunduran yang sangat
drastis, baik dari sisi jumlah santri maupun sistem pendidikan dan
pengajarannya. Dari sisi jumlah santri, semakin hari semakin berkurang
jumlahnya, dan bahkan tinggal beberapa orang saja. Paling tidak ada dua faktor
penyebab penurunan jumlah santri:
1. Faktor intern, yaitu sehubungan dengan
wafatnya K.H.M. Munawwir, seorang figur utama yang menentukan keberadaan dan
kemajuan pesantren. Belum sampai genap 100 hari wafatnya, satu persatu diantara para
santrinya kemudian “boyongan” pulang ke kampungnya masing-masing dan
tidak kembali lagi.
2. Faktor
ekstern, yaitu akibat langsung dari penjajahan Jepang, yang menyebabkan sebagian
besar pondok pesantren, termasuk pesantren Al-Munawwir, nyaris gulung tikar
kalau tidak mendapatkan pertolongan Allah berupa kemerdekaan, dan menghenti kan
aktifitas kepesantrenan karena ditinggal pulang oleh para santrinya, di samping
juga ditinggal pergi oleh para ustadz dan kiyainya untuk berjuang membela tanah
air.
Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan
sepinya pondok-pondok pesantren di mana-mana pada saat itu:[8]
1. Jepang sering menggunakan
kekejaman kepada siapa saja yang dicurigai, sehingga suasana ini tidak
memungkinkan bagi orang-orang untuk memperdalam ilmu di pesantren.
2. Kaum muslimin terpanggil untuk
menyiapkan diri berjuang merebut kemerdekaan. Mereka banyak yang masuk kedalam
barisan Tentara Pelajar, PETA (Pembela Tanah Air), Hizbullah, Sabilillah,
dan sejenisnya.
3. Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat parah, disebabkan politik
tanam paksa Jepang (terutama menanam pohon jarak), yang hasilnya digunakan
untuk keperluan Jepang sendiri dalam pembiayaan Perang Dunia II melawan sekutu.
Sedangkan
kemunduran dari segi sistem pendidikan-pengajaran, bahwa aktifitas
belajar-mengajar yang berjalan di Pesantren Krapyak hanya pengajaran Al-Qur’an
saja, dan itupun berjalan secara apa adanya. Sedangkan pengajaran Kitab
Kuning tidak berjalan sama sekali, karena tidak adanya tenaga pengajar yang
mumpuni dari keluarga pesantren. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya [9] :
1. Sejak awal, pesantren Al-Munawwir memang
dipersiapkan sebagai pesantren yang memfokuskan pendidikan dan pengajarannya
pada ‘ulumul Qur’an, terutama dalam bidang tahfizhul Qur’an (penghafalan
Qur’an), sedangkan pengajaran Kitab Kuning hanya bersifat penyempurna,
pelengkap atau sekedar kegiatan sampingan. Sementara itu, calon ulama’ tidak
sekedar mampu menguasai ‘ulumul Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata,
tetapi juga harus menguasai ‘ulumus syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab
Kuning. Dengan begitu, penguasaan
terhadap Kitab Kuning merupakan syarat mutlak bagi kader ulama’.[10]
2. Tenaga pengajar Kitab Kuning pada masa
hidupnya K.H.M. Munawwir direkrut dari kalangan santri senior yang memiliki
kemampuan dalam membaca Kitab Kuning dan kini santri tersebut telah
kembali ke kampung halamannya, padahal tenaga pengajar tetap yang menguasai Kitab
Kuning, terutama yang berasal dari keluarga pesantren, sangat dibutuhkan
untuk mewujudkan cita-cita mencetak kader ulama’.
3. Putra-putri kiai sebagian besar masih kecil
atau remaja, sehingga mereka belum siap menggantikan posisi K.H.M. Munawwir
sebagai ulama’, pengajar, sekaligus pengasuh pesantren, dan hanya beberapa
orang putra yang sudah menginjak usia dewasa, dan itupun mereka memfokuskan
pendalamannya pada bidang tahfizhul Qur’an, bukan pada penguasaan Kitab
Kuning.
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, K.H. Ali Maksum kemudian melakukan
pembenahan-pembenahan demi kemajuan pesantren dengan menetapkan kebijakan,
langkah strategis dan skala prioritas sebagai berikut :
1. Pengkaderan ulama / tenaga pengajar dari
keluarga pesantren
2. Pembenahan dan Pengembangan sistem
pendidikan-pengajaran dan kurikulum
3. Melengkapi sarana-prasarana pesantren
Namun dalam pembahasan ini, penulis
memfokuskan pembahasannya pada : 1) pengkaderan ulama dari keluarga pesantren;
2) pembenahan dan pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum.
Setelah
melakukan pembenahan-pembenahan tersebut, hasilnya adalah bahwa selama dalam
periode kepemimpinan Tiga Serangkai (1942-1968) dan kepemimpinan tunggal
K.H. Ali Maksum (1987-1989) ini telah terjadi perubahan besar di bidang
pendidikan dan pengajaran, baik dalam pengajaran Al-Qur’an maupun pengajaran Kitab
Kuning. Pengajaran Kitab Kuning
benar-benar ditangani secara serius, sehingga menjadi pengajaran utama di
samping Al-Qur’an. Pengajaran Kitab
Kuning tidak sekedar melalui sistem weton dan sorogan
saja, akan tetapi dikembangkan melalui sistem madrasi (sekolah formal),
berjenjang dan ada batasan waktu belajar. Ini merupakan suatu kondisi yang
belum dikenal pada periode-periode sebelumnya. Dengan terjadinya perubahan,
perkembangan dan kemajuan tersebut, maka secara otomatis akan diikuti oleh
bertambahnya jumlah santri yang mondok di Pesantren Al-Munawwir. Kesemuanya ini
tentu tidak lepas dari peran K.H. Ali Maksum sebagai tokoh penggerak perubahan
dan perkembangan tersebut, yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga
pendidikan dan pengajaran madrasah disertai dengan kurikulum pesantren yang
terprogram.
Dengan
kata lain, selama periode kepemimpinan K.H. Ali Maksum, Pesantren Al-Munawwir yang tadinya sebagai
pesantren berciri khas salafi yang menitikberatkan pada pengajaran
Al-Qur’an (aktifitas utama) dan pengajaran Kitab Kuning (aktifitas
sampingan), berubah menjadi sebuah pesantren berciri khas kholafi yang
ditandai dengan masih dipertahankannya pola pengajaran sistem salafi
dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum kedalam kurikulum madrasahnya,
menurut klasifikasi Zamakhsyari Dhofier.[11]
Atau berubah dari pesantren salaf/klasik menjadi sebuah “pesantren
semi berkembang” yang ditandai dengan berdirinya madrasah (swasta) dengan
kurikulum 90 % agama dan 10 % umum, kemudian menjadi “pesantren berkembang”
yang ditandai dengan kurikulum 70 % agama dan 30 % umum pada madrasahnya atau
juga berdirinya madrasah SKB dengan tambahan diniyyah, menurut klasifikasi
M. Ridlwan Nasir.[12]
Berikut
ini akan diuraikan pelaksanaan dari langkah-langkah strategis untuk mengatasi
kemuduran pesantren beserta dinamika perubahan menuju kemajuan pesantren,
terutama di bidang sistem pendidikan dan pengajarannya.
1. PENGKADERAN
ULAMA DARI KELUARGA PESANTREN
Kebijakan
strategis yang pertama kali diambil K.H. Ali Maksum selaku salah satu pengasuh
yang dibebani tugas mengatasi kemunduran tersebut ialah melakukan pengkaderan
calon-calon ulama’ dari kalangan keluarga pesantren (para putra dan menantu
K.H.M. Munawwir) dan beberapa santri senior dari luar keluarga yang nantinya
diharapkan dapat menjadi motor penggerak perubahan dalam usaha mengembangkan
dan memajukan pesantren di masa-masa mendatang, tanpa harus menggantungkan bantuan
tenaga dari luar pesantren.
Agar
usaha tersebut dapat berjalan secara efektif dan sukses, K.H. Ali Maksum
mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menutup aktifitas pesantren untuk sementara
waktu. Pesantren tidak menerima pendaftaran santri baru, sementara para santri
yang tersisa dipulangkan, kecuali beberapa orang santri dari tetangga pesantren
yang diperlukan sebagai kader untuk memajukan pesantren.
b. Mengkonsentrasikan diri pada pengkaderan dan
pembinaan terhadap para kader ulama’ tersebut.
c. Setelah dipandang cukup, para kader tersebut
diberi tugas dan didorong untuk mengajar, mengelola lembaga pendidikan dan
mengembangkannya menurut kemampuan dan bidangnya masing-masing demi kemajuan
pesantren.
Pengkaderan
ini dilakukan secara intensif selama kurang lebih 2 tahun, antara tahun 1943 –
1944. Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari: K.H.R. Abdul Qodir
Munawwir (pengasuh), K.H. Zaini Munawwir,
K.H. Zainal Abidin Munawwir, K.H. Ahmad Munawwir, K.H. Dalhar Munawwir, K.H.A. Warson Munawwir,
K.H. Nawawi Abdul Aziz (menantu), K.H. Mufid Mas’ud (menantu), K.H. Habib
Dimyati (asal pesantren Tremas), H. Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul
Hamid (tetangga, Krapyak), dan K.H. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan
Yogyakarta). Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun
diantara mereka yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka
harus mengikuti pengajian berbagai macam Kitab Kuning dengan sistem halaqah/weton
dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara
nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang
diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang diberlakukan kepada peserta ahlul
bait (keluarga pesantren).[13]
Setelah
dua tahun dikader, mereka diberi tugas untuk ikut membantu K.H. Ali Maksum
dalam pengajaran Kitab Kuning, mendirikan lembaga pendidikan, mengelola
pesantren dan mengembangkannya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Bekal
ilmu yang diperoleh dari K.H. Ali Maksum tersebut menjadi landasan bagi para kader
untuk memperdalam berbagai disiplin keilmuan secara mandiri (autodidak) pada
masa-masa berikutnya. Buah dari ketekunan mereka di kemudian hari diantaranya,
bahwa mereka akhirnya menjadi kiai-kiai yang alim, meskipun mereka tidak
menambah wawasan keilmuan dari pesantren lain. Sebut saja K.H. Zainal Abidin
yang menjadi tangan kanan K.H. Ali Maksum dan selalu aktif mengembangkan
pengajian Kitab Kuning; K.H. Habib Dimyati yang membantu K.H. Ali Maksum
mengajarkan kitab Dahlan (syarah Alfiyah Ibnu Malik) dan setelah
pulang kampung, beliau dipercaya sebagai pengasuh pesantren Tremas menggantikan
posisi kakaknya yang telah wafat; K.H.A. Warson yang menekuni dan mengembangkan
ilmunya di bidang penulisan “Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia”
yang sangat terkenal itu, disamping juga mengembangkan pengajian Kitab
Kuning; K.H. Mufid Mas’ud dan K.H. Nawawi Abdul Aziz membantu mengembangkan
pengajaran Al-Qur’an dan pada akhirnya mereka berdua mendirikan pesantren
sendiri diluar Krapyak.[14]
Dari sisi ini, maka K.H. Ali Maksum dapat dipandang sebagai “Sesepuh”
Krapyak setelah wafatnya K.H.M. Munawwir.[15]
2. PENGEMBANGAN
SISTEM PENDIDIKAN-PENGAJARAN DAN PEMBENAHAN KURIKULUM
Setelah
tahap pengkaderan tersebut, Pesantren Al-Munawwir Krapyak dibuka kembali untuk
masyarakat umum pada tahun 1944/1945 dan dalam waktu singkat sudah nampak
terjadi perubahan-perubahan antara lain di bidang sistem pendidikan-pengajaran
dan kurikulum, bertambahnya jumlah santri, berdirinya lembaga-lembaga
pendidikan, dan semakin lengkapnya sarana-prasarana.
Sebagaimana
yang disinggung di atas, bahwa missi dan tugas pesantren adalah mencetak kader
ulama’, sementara itu seorang ulama’ tidak sekedar dituntut mampu menguasai ‘ulumul
Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata, tetapi juga dituntut menguasai ‘ulumus
syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab Kuning. Untuk mewujudkan
hal ini, K.H. Ali Maksum memandang perlu adanya pengembangan sistem
pendidikan-pengajaran dan pembenahan kurikulumnya secara bertahap. Menurut Kiai
Ali, pesantren harus memberikan bekal keilmuan kepada para santrinya melalui
proses pendidikan dan pengajaran. Kelompok bidang keilmuan yang perlu
dimasukkan dalam kurikulum pesantren paling tidak meliputi :
a. ‘Ulumus Syar’iyyah dan ‘ulumul
Qur’an : Tafsir, Hadits, Fiqh, Tauhid, dan ilmu-ilmu lain yang bersangkutan
dengannya, termasuk ‘ulumul lughah (bahasa Arab : Nahwu, Shorof,
Balaghah)
b. Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, termasuk di
sini ialah Tarikh Islam, Sejarah Umum, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Ilmu
Kemasyarakatan (sosiologi-antropologi) dan Ilmu Kewarganegaraan (civic)
c. Ilmu-ilmu yang membuat kemampuan berfikir
kritis dan berwawasan luas, seperti Ilmu Mantiq (Logika), Ushul Fiqh, Qawa’idul
Fiqh, dan sejenisnya.
d. Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan karakter
keislaman, diantaranya Ilmu Akhlaq (etika), Ilmu Tasawwuf (mistik) dan
Thoriqot.
e. Latihan kemasyarakatan, termasuk didalamnya
latihan berbicara di depan umum (pidato, protokoler/presenter), latihan
menyelesaikan masalah (problem solving), pendekatan kepribadian (personal approach,
psikologi), latihan diskusi, latihan berorganisasi dan kepemimpinan.
f. Santri harus digembleng mental dan
karakternya. Di sini ditekankan pentingnya melakukan Mujahadah (dzikir),
Istighotsah dan amalan-amalan ibadah praktis lainnya.[16]
Keenam
kelompok bidang keilmuan tersebut tercermin dalam muatan kurikulum yang
diterapkan di Pesantren Al-Munawwir, ditambah dengan beberapa materi ilmu-ilmu
umum seperti matematika, IPS, IPA, dll., untuk memenuhi tuntutan pemerintah,
terutama yang diterapkan di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
PENGAJARAN AL-QUR’AN
Program
pengajaran Al-Qur’an, baik bin-nazhor (dengan membaca: bil qiro`ah)
maupun bil ghoib (dengan hafalan: bil hifzhi), yang sudah
berjalan dengan baik pada periode K.H.M. Munawwir tetap dipertahankan, karena
ini merupakan ciri khas Pesantren Krapyak, hanya saja perlu dikembangkan dengan
mengunakan sistem ala madrasah untuk mendapatkan kualitas lulusan dan
efektifitas pengajaran. Untuk itu didirikanlah Madrasatul Huffazh pada
tahun 1955. Tempat pengajarannya tidak lagi berpusat di Masjid, tetapi di rumah
kiai yang ditunjuk sebagai pengelola atau kordinatornya. Kurikulum
pengajarannya tidak melulu tahfizhul Qur’an, tetapi juga ditambah dengan
pelajaran Tafsir, Tajwid, Hadis, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan materi penyempurna
lainnya. Santrinya tidak hanya dimonopoli putra, tetapi juga dibuka kelas
santri putri. Tempat tinggal santri pun dilokalisir, yakni ditempatkan di
komplek “L” untuk santri putra dan komplek Nurussalam untuk santri putri. Tenaga
pengajarnya tidak hanya diserahkan kepada seorang kiai yang mengelola, tetapi
juga dibantu oleh beberapa kiai, yaitu K.H. Mufid Mas’ud, K.H. Nawawi Abdul
Aziz, K.H. Hasyim Yusuf, K.H.R.M. Najib Abdul Qodir, K.H. Dalhar Munawwir, Nyai
Hj. Hasyimah Munawwir, Nyai Badriyah Munawwir, Nyai Hj. Jauharoh Munawwir, Nyai
Hj. Durroh Nafisah Ali dan Nyai Hj. Lutfiyah Jirjis. Dari hasil pengajaran ini
lahirlah ratusan kiai huffazh (penghafal Qur’an) yang menguasai tahfizhul
Qur’an sekaligus menguasai ‘ulumus syar’iyyah.[17]
Selain
pengajaran di Madrasatul Huffazh, juga diadakan pengajaran sistem lama (sorogan)
dengan program bin-nazhor yang bertempat di rumah pengasuhnya.
Pengajaran ini diperuntukkan bagi santri kalong yang berasal dari kalangan
masyarakat sekitar pesantren. Pengajarnya meliputi : Ny. Badriyah Munawwir dan
Ny. Hj. Hasyimah Munawwir untuk santri putri, serta K.H. Zaini Munawwir untuk
santri putra.
PENGAJARAN KITAB
KUNING
Sistem
weton dalam pengajaran Kitab Kuning yang di masa K.H.M. Munawwir
sekedar sebagai pengajaran “sampingan”, lalu ditingkatkan dan dikembangkan
sedemikian rupa pada masa K.H. Ali Maksum, bahkan menjadi pengajaran pokok
disamping pengajaran Al-Qur’an. Pengajaran Kitab Kuning dikembangkan
dengan menggunakan sistem pengajaran weton/halaqah dan sistem sorogan.
Kedua sistem ini banyak diterapkan di berbagai pondok pesantren pada umumnya,
terutama persantren yang bercorak salafiyah, bahkan menjadi sistem
pengajaran utama.
Kurikulum
yang diterapkan dalam pengajaran Kitab Kuning di Pesantren Al-Munawwir
Krapyak, baik dengan sistem weton maupun sorogan, menggunakan
kurikulum pesantren yang dirumuskan oleh K.H. Ali Maksum, yaitu berisi
sederetan daftar dari 85 judul kitab (sejumlah 99 jilid), mulai dari kitab
tingkat dasar sampai tingkat tinggi (takhassus), yang terbagi kedalam
lima tingkatan berdasarkan tingkat kemampuan intelektual santri, dengan
perincian : tingkat pertama (tingkat dasar) 17 judul (26 jilid); tingkat
kedua 20 judul (21 jilid); tingkat ketiga 16 judul (16 jilid); tingkat
keempat 12 judul (16 jilid); dan tingkat kelima / takhassus 20 judul
(20 jilid).
Untuk
lebih jelasnya, tingkatan kitab-kitab yang digunakan untuk sorogan dan
pengajian sistem weton sebagai berikut[18]
:
1). Kitab-kitab yang digunakan untuk
pengajian weton atau sorogan tingkat pertama :
a). Ad-Durusul Fiqhiyyah, Qismul ‘Ibadat (الدروس الفقهية : قسم العبادات)
b). Ad-Durorul
Bahiyyah (الدرر البهية), karya Abu Bakar Syatha
c). Matan
Taqrib (متن تقريب), bagian
ibadah
d). Durusul
‘Aqaid (دروس العقائد), juz 1, 2 dan 3
e). Durusud
Din wal Akhlaq (دروس الدين و الأخلاق), juz 1, 2 dan 3
f). ‘Aqidatul
‘Awam (عقيدة العوام)
g). Khulashoh
Nurul Yaqin (خلاصة نور
اليقين),
juz 1- 2
h). Al-Qiro`atur-Rosyidah
(القراءة الرشيدة), juz 1- 2
i). Mabadi`ul Lughatil ‘Arabiyyah (مبادئ اللغة العربية), karya Mushthafa Saqa, juz 1-2
j). Al-Qir`oah wal Muthola’ah (القراءة و المطالعة) untuk Ibtidaiyah, juz
1-2
k). Al-Muhadatsah al-‘Arabiyyah (المحادثة العربية), juz 1-2
l). Matn al-Ajurumiyah (متن الآجرومية)
m). Ad-Durusun Nahwiyyah (الدروس النحوية)
n). An-Nahwul Wadhih (النحو الواضح), karya ‘Ali al-Jarim
o). Amtsilatut Tashrif (أمثلة التصريف)
p). Durusul Akhlaq Lil Banin (دروس
الأخلاق للبنين)
q). Durusul Akhlaq Lil Banat (دروس الأخلاق للبنات)
2). Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian /
sorogan tingkat kedua :
a). Ad-Durusul
Fiqhiyyah, Qismul Mu’amalat (الدروس الفقهية
: قسم المعاملات),
b).
Fathul Qorib, syarhu Taqrib (فتح القريب
: شرح
تقريب), bagian
ibadah
c).
Ar-Riyadhul Badi’ah fil Fiqh (الرياض البديعة فى الفقه)
d).
Al-Jawahirul Kalamiyah fil ‘Aqoid (الجواهر الكلامية فى العقائد)
e).
Kifayatul ‘Awam – fit Tauhid (كفاية العوام
فى التوحيد)
f).
Durusus Sirah an-Nabawiyyah (دروس السيرة النبوية)
g). Khulashah
Nurul Yaqin – Tarikhul Khulafa’ (خلاصة نور اليقين
تاريخ الخلفاء), juz 3
h). Tarikhul
Majd al-Islamiy (تاريخ المجد الإسلامي), Umar bin
Sulaiman Naji
i). Amtsilatut
Tashrif (أمثلة التصريف)
j). Al-Kailany
– fis-Shorf (الكيلاني فى
الصرف) untuk Ibtidaiyah, juz 1-2
k). Mukhtashor
Jiddan: Syarh al-Ajurumiyah (مختصر جدا - شرح
الآجرومية)
l). Ad-Durusun
Nahwiyyah (الدروس النحوية), juz 2
m). Al-Qiro`ah
ar-Rosyidah (الرشيدة القراءة) untuk
Ibtidaiyah, juz 3
n). Al-Qiro`ah
wal Muthola’ah (القراءة و
المطالعة) untuk Ibtidaiyah, juz 3
o). Durusul
Insya’ wal Mahfuzhot (دروس الإنشاء والمحفوظات)
p). Al-Muntakhobat
– fil Mahfuzhot (المنتخبات فى
المحفوظات)
q). Taisirul
Kholaq fi ilmil Akhlaq (تيسير الخلاق فى علم الأخلاق
)
r). Tafsir
Ayatil Qur’an (تفسير آيات القرآن)
s). Al-Ahadits
an-Nabawiyyah (الأحاديث النبوية
)
t). Ta’limul
Muta’allim (تعليم
المتعلم)
3). Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian /
sorogan tingkat ketiga :
a). Fathul Qorib, syarh Taqrib (فتح القريب
: شرح
تقريب), bagian
Mu’amalat
b). Al-Halqotur Robi’ah (الحلقة الرابعة),
c). Khulashoh Arkanil Islam (خلاصة أركان الإسلام)
d). As-Samir al-Muhadz-dzib – fil Akhlaq (السمير المهذِّب فى الأخلاق)
e). Adabul Fata (آدب الفتى)
f). Tafsir
Ayatil Qur’an – fil ‘Ibadat wal Akhlaq (تفسير آيات
القرآن – فى العبادات و الأخلاق)
g). Al-Ahadits
an-Nabawiyyah fil Mu’amalat ( الأحاديث النبوية فى المعاملات )
h).
Syarhul Jazariyah fil Tajwid (شرح الجزرية فى التجويد)
i). Al-Hushunul
Hamidiyyah – fit Tauhid (الحصون الحميدية فى التوحيد)
j). Mutammimah
al-Ajurumiyah (متممة
الآجرومية)
k). An-Nahwul
Wadhih (النحو الواضح),
karya ‘Ali al-Jarim, juz 3
l). Ad-Durusun
Nahwiyyah (الدروس النحوية), juz 3
m). Nazhm
al-Maqshud – fis-Shorf (نظم المقصود - فى الصرف)
n). Waroqot
– fi Ushul al-Fiqh (ورقات فى
أصول الفقه)
o). Mushtholahul
Hadits (مصطلح الحديث)
p). Al-Arba’in
an-Nawawiyah (الأربعين للإمام
النووي فى الحديث)
4). Kitab-kitab
yang digunakan untuk pengajian weton/sorogan tingkat keempat :
a). Kifayatul Akhyar – Fil Fiqh (كفاية الأخيار فى الفقه), bagian Mu’amalat
b). Al-Muhadz-dzab (المهذّب),
c). Tarikhut Tasyri’ al- Islamiy (تاريخ التشريع الإسلامي)
d). Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuha (حكمة التشريع و فلسفتها), karya al-Jurjawi
e). As-Siyasatus Syar’iyyah (السياسة الشرعية)
f). Al-Insanul
Kamil (الإنسان الكامل), Sayyid
Muhammad Alwi al-Maliki
g). Khosho`ishul
Qur’an (
خصائص القرآن ) Sayyid
Muhammad Alwi al-Maliki
h).
Mau’izhotul Mu`minin: mukhtashor
Ihya’ Ulumiddin (موعظة المؤمنين)
i).
Muhammad, al-Matsalul Kamil (محمد المثل الكامل), Muhd. Jadul
Maula Bik
j). Al-‘Ushurul
Wustha fit Tarikh al-Islamiy (العصور الوسطى
فى التاريخ الإسلامي)
k). Muhadhorot
Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (محاضرات تاريخ
الأمم الإسلامية), Hudhary
l). Majallah
Robithoh al-‘Alam al-Islamiy (مجلة رابطة
العالم الإسلامي)
5). Kitab-kitab yang digunakan untuk
pengajian weton/sorogan tingkat kelima :
a). Tafsir al-Jalalain (تفسي الجلالين),
b). Tafsir
Ibnu Katsir (تفسير ابن كثير), bagian ibadah
c). Jawahirul
Bukhoriy (جواهر البخاري)
d). Riyadhus
Sholihin (رياض الصالحين)
e). ‘Ilmut
Tafsir (علم التفسير), imam as-Suyuthy
f). ‘Ilmul Hadits (علم الحديث), imam as-Suyuthy
g). Tukhfatut Thullab, Syarhut Tahrir, fil
Fiqh (تخفة الطلاب
شرح تحرير فى الفقه),
h). Kifayatul
Akhyar, Syarh Ghoyat al-Ikhtishor (كفاية
الإخيار شرح غاية الإختصار),
i). Fathul
Mu’in (فتح المعين)
j). Mau’izhotul
Mu`minin (موعظة المؤمنين)
k). Minhajul
‘Abidin (منهاج العابدين), imam
al-Ghazali
l). Al-Asybah
wan Nazhoir (الأشباه
والنظائر),
m). Al-Luma’
fi Ushulil Fiqh (
اللمع
فى أصول الفقه )
n). Ushulul
Fiqh (أًصول الفقه), Hudhory bik
o). Syarh
Ibni ‘Aqil, ‘alal Alfiyyah (شرح ابن عقيل
على الألفية)
p). Al-Jauharul
Maknun, fil Balaghoh (الجوهرالمكنون فى البلاغة)
q). Jauharotut
Tauhid (جوهرة التوحيد )
r). Syarh
Sullam al-Munawwaraq, fil Manthiq (شرح سلّم
المنوّرق فى المنطق)
s). Nurul
Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin (نور اليقين في
سيرة سيد المرسلين )
t). Itmamul
Wafa` fi Sirotil Khulafa` (إتمام الوفاء
في سيرة الخلفاء)
Ke-85
judul kitab (sejumlah 99 jilid) tersebut, bila diprosentase sesuai bidang
keilmuannya akan tergambar sebagai berikut :
1). ‘Ulumus Syar’iyah, ‘ulumul Qur’an
dan ‘ulumul lughah : Tafsir, Hadits, Fiqh, Tauhid, nahwu, shorof,
balaghah, bahasa arab terapan. (56 judul, 65 jilid = 65,65 %)
2). Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, seperti
sirah, tarikh islam, tarikh tasyri’, as-siyasah as-syar’iyyah dan sejenisnya.
(12 judul, 14 jilid = 14,14 %)
3). Ilmu-ilmu untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis dan berwawasan luas : Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Qawa’idul Fiqh,
dan sejenisnya. (6 judul, 6 jilid = 6,6 %)
4). Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan
karakter keislaman, meliputi : Ilmu Akhlaq, Ilmu Tasawwuf, Thariqat dan
sejnisnya. (11 judul, 15 jilid = 15,15 %).
Perhatikan
tabel berikut:
(Tabel 1)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP
Al-Munawwir Berdasarkan jenis/bidang keilmuannya:
JENIS / BIDANG ILMU
|
Tingkatan
|
jilid
|
judul
|
%
|
||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
||||
1. ULUM SYAR’IYYAH, QUR’AN DAN LUGHAH
|
||||||||
1. Ulumul Qur’an &Tafsir
|
1
|
2
|
1
|
3
|
7
|
7
|
||
2. Ulumul Hadis
|
1
|
3
|
3
|
7
|
7
|
|||
3. Ilmu Fiqh
|
3/2
|
3
|
3
|
2
|
3
|
14
|
13
|
|
4. Ilmu Tauhid
|
7/3
|
2
|
1
|
1
|
11
|
7
|
||
5. Ilmu Nahwu
|
3
|
2
|
3
|
1
|
9
|
9
|
||
6. Ilmu Shorof
|
1
|
2
|
1
|
4
|
4
|
|||
7. Ilmu Balaghah
|
1
|
1
|
1
|
|||||
8. Bhs. Arab terapan (muhadatsah, qiroah, insya’,
majalah dll)
|
8/4
|
3
|
1
|
12
|
8
|
|||
Jumlah
|
65
|
56
|
65,65
|
|||||
2. ILMU EMPIRIS
|
||||||||
1. Tarikh Islam
|
1
|
2
|
3
|
3
|
||||
2. Sirah / Biografi
|
2/1
|
3/2
|
1
|
2
|
8
|
6
|
||
3. Tarikh Tasyri’
|
1
|
1
|
2
|
2
|
||||
4. Siyasah/politik
|
1
|
1
|
1
|
|||||
14
|
12
|
14,14
|
||||||
3. ILMU BERFIKIR KRITIS
|
||||||||
1. Ilmu Mantiq
|
1
|
1
|
1
|
|||||
2. Qowaidul Fiqh
|
1
|
1
|
1
|
|||||
3. Ushul Fiqh
|
1
|
2
|
3
|
3
|
||||
4. Hikmatut Tasyri’
|
1
|
1
|
1
|
|||||
Jumlah
|
6
|
6
|
6,6
|
|||||
4. ILMU PEMBENTUKAN KARAKTER/BUDI BEKERTI
|
||||||||
1. Ilmu Akhlak
|
2
|
3
|
2
|
5/1
|
12
|
8
|
||
2. Ilmu Tasawwuf/Thariqat
|
1
|
2
|
3
|
3
|
||||
Jumlah
|
15
|
11
|
15,15
|
|||||
JUMLAH
|
26
|
21
|
16
|
16
|
20
|
99 jilid
|
85 judul
|
100 %
|
Bila dipandang dari sudut
klasifikasi Kitab Kuning yang dikaji di pesantren tradisional menurut
Zamakhsyari Dhofier, maka Pesantren Al-Munawwir memberikan porsi yang lebih
besar pada kajian ’ulumul lughoh atau ilmu alat (24,24 %). Barangkali
ini disebabkan ’ulumul lughoh memiliki peranan yang cukup penting dalam
penguasaan Kitab Kuning sehingga lebih besar porsinya, disamping itu
Kiai Ali sendiri termasuk seorang ulama yang memiliki keahlian bahasa Arab,
sehingga sangat wajar bila latar belakang keahliannya tersebut mewarnai sistem
pendidikan dan kurikulumnya. Setelah itu adalah cabang ilmu fiqih (18,18 %),
akhlak-tasawwuf (15,15 %), ilmu tauhid (11,11 %) dan cabang ilmu lainnya (13,13
%).
Perhatikan tabel berikut :
(Tabel 2)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP
Al-Munawwir Berdasarskan Klasifikasi Zamakhsyari Zhofier
Cabang keilmuan
|
Jumlah kitab (jilid)
|
Prosentase
|
1. ilmu lughah (nahwu, shorof, insya’ dll)
|
24
|
24,24 %
|
2. ilmu fiqih
|
18
|
18,18 %
|
3. ilmu usul fiqh dan qowa’idul fiqh
|
4
|
4,04 %
|
4. ilmu tafsir
|
7
|
7,07 %
|
5. Ilmu hadis
|
7
|
7,07 %
|
6. Ilmu tauhid
|
11
|
11,11 %
|
7. ilmu akhlak dan tasawwuf
|
15
|
15,15 %
|
8. cabang lain : balaghah dan tarikh
|
13
|
13,13 %
|
JUMLAH
|
99
|
100 %
|
Kitab Kuning yang
dikaji di Pesantren Al-Munawwir Krapyak seluruhnya berfaham sunni (Ahlussunnah
wal Jama’ah). Tidak semua kitab-kitab tersebut tergolong bercorak klasik (salafi) yang ditulis oleh ulama’ salaf
(abad 16-18 M), tetapi justru lebih banyak (60.60 %) diwarnai oleh kitab-kitab
kontemporer atau modern (khalafi) yang ditulis oleh para ulama khalaf
(abad 20 M) dengan pola pemikiran dan gaya bahasa yang berbeda dengan kitab
klasik, kecuali kitab-kitab yang digunakan untuk tingkat kelima yang 90 % salafi.
Dari sudut ini barangkali bisa ditafsiri bahwa sosok ulama yang dicita-citakan
oleh Kiai Ali ialah seorang ulama sunni yang menguasai ilmu salafi
namun dengan pemahaman dan pola pemikiran yang modern, sebagaimana sosok ulama
yang diperankan oleh beliau sendiri.
Perhatikan
tabel berikut :
(Tabel 3)
Prosentase Kitab-kitab Klasik dan Modern
Yang Dikaji di Pesantren Al-Munawwir :
Macam Kitab
|
Tingkatan
|
Judul
|
Juml
|
%
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||||
Bercorak Klasik
|
5/5
|
6/6
|
7/7
|
3/3
|
18/18
|
39
|
39
|
39,39
|
Bercorak Modern / kontemporer
|
12/21
|
14/15
|
9/9
|
9/13
|
2/2
|
42
|
60
|
60,60
|
[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, halm. 62
[2] Hal ini sesuai
dengan fungsi pesantren seperti yang dikategorikan oleh Azyumardi Azra, bahwa
ada ada tiga fungsi pesantren tradisional: Pertama,
transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman; kedua, pemeliharaan tradisi
Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. (Azyumardi
Azra, Pesantren: Kontuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, halm xxi)
[3] Fachry Ali lebih jauh mengatakan,
bahwa berdirinya pesantren pada mulanya merupakan lembaga pendidikan umat Islam
pedesaan yang berfungsi untuk konservasi tradisi keagamaan yang dijalankan oleh
umat Islam tradisionalis. Status keberadaan pesantren masih status quo, disebabkan
orientasi misinya mempertahankan paham tradisionalisme Islam, serta untuk
mengurangi penetrasi gerakan modernisme Islam di pedesaan. Tradisi keagamaan (Ahlussunnah waljama’ah) yang dikonservasikan,
dipertahankan dan dilestarikan oleh pesantren ini merupakan satu sistem ajaran
yang berakar pada perpaduan antara teologi skolastisisme Asy’ariyah dan
Maturidiyah dengan ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai
corak keislaman di Indonesia. Pondok pesantren sebagai lembaga konservasi ini,
kata Abdurrahmad Wahid, kemudian berkembang menjadi subkultur tersendiri. (Baca: M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren
: Membangun Dari bawah, Jakarta: LP3ES, 1988, hlm., 3 dan 39)
[4] K.H. Ali Makshum, Ajakan
suci: Pokok-pokok pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama’, Yogyakarta :
LTN NU DIY, 1993, cet.1. halm. 82-83.
Pada kesempatan lain, beliau
menyatakan bahwa pesantren adalah “pabrik pencetak ulama”. (Ibid.,
halm. 97)
“… Pesantren harus menyadari bahwa missi yang dibawanya
adalah “mencetak ulama”. Missi lain adalah sampingan saja. Karena itu,
pesantren tidak usah gusar dengan pengaruh situasi perkembangan persekolahan.
Toh, missinya sudah jelas. Karena missinya mencetak ulama, maka dapatlah
dimaklumi kiranya jika pihak pesantren tidak harus mengkaitkan kegiatan
alamiahnya (mencetak ulama. – red.) dengan prospek formal. Kita maklumi, bila
pesantren menganggap begitu penting adanya ijazah negeri bagi lulusannya. Ini
tidak berarti bahwa pengakuan formal semacam ijazah menjadi tidak penting lagi,
tidak begitu. Itu tetap penting, hanya dalam memperolehnya tidak perlu dengan
cara-cara yang dapat mempengaruhi misi pokok pesantren, yaitu mencetak
ulama……”.
[5] Ibid.,
halm. 120
[6] Ibid., halm.
122-123
[7] Ibid.,
halm. 130
[8] A. Zuhdi Mukhdlor,
op.cit., halm. 19.
[9] Ibid.,
halm. 24; Djunaidi, Sejarah dan
Perekembangan…. . Juga hasil wawancara dengan K.H.A. Warson Munawwir,
03-09-2010.
[10] Penguasaan
kitab kuning merupakan syarat mutlak bagi calon-calon ulama’, karena kitab kuning merupakan sumber berbagai macam cabang ilmu agama
: Aqidah, syari’ah dan akhlak/tasawwuf. Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut
ulama’ adalah orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar
ketaqwaan / khosyyah yang tinggi. Orang yang sama sekali tidak memiliki syari’ah
atau memilikinya dalam kadar yang sangat minim, maka tidak mungkin memiliki
rasa khosyyah dan taqwa kepada Allah, sehingga ia tidak bakal
menjadi ulama’. (Baca : K.H. Ali Makshum, Ajakan suci: pokok-pokok pikiran
tentang NU, Pesantren dan Ulama’, Yogyakarta : LTN NU DIY, 1993, cet.1.
halm. 119-120).
[11] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES. Cet.1 – 1982, halm. 41
Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi
dua kelompok besar, yaitu pesantren salafi dan pesantren
khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan sistem
pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah
diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pendidikan sistem lama, tapi tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
Sedangkan pesantren khalafi sama seperti pesantren salafi, tetapi
dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum didalam madrasah-madrasah yang
dikembangkannya, atau dengan membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan
pesantren.
[12] M. Ridlwan Nasir,
op.cit., halm. 87
M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5,
yaitu 1) Pesantren salaf/klasik, ditandai dengan penerapan
sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)
dan sistem klasikal (madrasah) salaf;
2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf,
tetapi ditambah penerapan sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama
dan 10 % umum’ 3) pesantren
berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya,
70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga
menteri dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern,
sama seperti nomor 3, hanya lebih lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah
umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi (umum atau agama), adanya
koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris); 5) pesantren ideal, sama seperti nomor
4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai lembaga
ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai
pesantren.
[13]Semua peserta harus
mentaati instruksi dan tata aturan Kiai Ali. Yang melanggar akan kena hukuman.
K.H.A. Warson pernah dihukum berdiri sambil diikat di tiang masjid sampai
pengajian selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah.
(Wawancara dengan K.H.A. Warson Munawwir, 04-09-2010).
[14] K.H. Mufid Mas’ud
mendirikan pesantren “Sunan Pandanaran” di Candi Kaliurang Sleman Yogyakarta
dan K.H. Nawawi Abdul Aziz mendirikan pesantren “An-Nur” di Ngrukem Bantul
Yogyakarta. Kedua pesantren ini sama-sama mengelola pendidikan Al-Qur’an dan
madrasah.
[15] A. Zuhdi Mukhdlor, Ibid.,
halm.21-22
[16] Samsul Munir Amin, Percik
Pemikiran Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Peantren, 2009, cet.1, halm. 186.
[17] Para pengasuh
pesantren berikut ini merupakan alumni pada periode ini, diantaranya : KH Abdul
Manan (Singosari Malang); K.H. Dahlan Basuni (Peneleh Surabaya); K.H. Ridhwan
Abdurrozaq (Kodran Kediri); K.H. Jablawi (popongan Klaten); K.H. Umaira Baqir
(Kranji Bekasi); K.H. Abdullah (Bentengan Demak); K.H. Ardani (Mangkuyudan
Solo); K.H. Umar (Pare Kediri); K.H. Ashim Ma’lum (Kauman Tulungagung); K.H.
Ibnu Hajar (Kretek Wonosobo); Nyai Hj. Sofiah Syafii (PP Putri AN-Nur di Maron
Purworwjo). (Baca : Djunaidi dkk, Sejarah & Perkembangan …., halm.
39-40).
[18] Pengurus P.P.
Al-Munawwir, Selayang Pandang Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Yogyakarta: PP Al-Munawwir Krapyak. T.t. Halm. 24 - 28
[19] Zamakhsyari
Dhofier, op.cit., halm. 41
Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi
dua kelompok besar, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren
salafi ditandai dengan mempertahankan sistem pengajaran kitab-kitab klasik
sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem
sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem lama, tapi tanpa
mengenalkan pengejaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi,
sama seperti pesantren salafi, hanya saja dengan memasukkan pengajaran
pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan
membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan peantren.
[20] M. Ridlwan Nasir,
op.cit., halm. 87
M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5,
yaitu 1) Pesantren salaf/klasik, ditandai dengan penerapan
sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)
dan sistem klasikal (madrasah) salaf;
2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf
ditambah adanya sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 %
umum’ 3) pesantren berkembang,
sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya, 70 % agama dan
30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan
penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3,
hanya lebih lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah
diniyah, perguruan tinggi (umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus
(bahasa Arab dan Inggris); 5) pesantren
ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap,
yaitu adanya berbagai lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang
tidak menggeser ciri khas sebagai pesantren.
[21] Djunaidi dkk, ibid.,
halm.34-35.
[22] Muatan Kurikulum
selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)
[23] Muatan kurikulum
selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)
[24] Muatan Kurikulum
selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)
[25] Muatan Kurikulum
selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)
[26] Muatan Kurikulum
selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)
[27] Wawancara dengan
K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H.A. Warson Munawwir, 03-09-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar