Kamis, 19 Februari 2015

Strategi KH Ali Maksum Dalam Mengatasi Kemunduran & Memajukan Pesantren - (3)

____________________________

Oleh : Achmad Suchaimi





Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang sejak awal dipersiapkan untuk melakukan beberapa fungsi, diantaranya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan  lembaga penyiaran agama Islam.[1]

Sebagai Lembaga Pendidikan, pesantren berfungsi melakukan transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman kepada santri, mempersiapkan kader-kader ulama dan mempertahankan tradisi Islam,[2] terutama yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah[3] dan bersumber pada Kitab Kuning tulisan para ulama salaf abad pertengahan (sekitar abad 16 – 18 M) melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik formal maupun non formal, yang meliputi pengajian-pengajian (weton, sorogan, majlis ta’lim), madrasah (Diniyah, MI, MTs, MA), sekolah umum (SD, SMP, SMA, SMK dll), dan perguruan tinggi.

Sebagai Lembaga Sosial, pesantren menampung santri-santri dari berbagai strata dan lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat sosial ekonominya. Di samping terbuka menerima tamu dari masyarakat umum dengan berbagai tujuan dan motif, mulai dari sekedar shilaturrahim, meminta nasihat, berobat, meminta doa dan jimat, konsultasi untuk memecahkan berbagai persoalan hidup, minta dukungan politik sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini dalam kaitannya dengan PEMILU (Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilbub dan Pilkades) dan motif-motif lainnya, sehingga mengokohkan pesantren sebagai pusat rujukan masyarakat dalam memecahkan berbagai problem kehidupan mereka.

Pesantren sebagai Lembaga Penyiaran Agama Islam ditunjukkan oleh masjid pesantren yang terbuka bagi masyarakat umum sebagai tempat ibadah dan penyampaian khutbah jum’at, penyelenggaraan majlis ta’lim (pengajian rutin bagi masyarakat umum), diskusi-diskusi keagamaan dan sebagainya. Disamping itu, kiai dan para ustadz senior selain mengajar di pesantren juga menjadi muballigh di tengah-tengah masyarakat luar pesantren. Bahkan sejak awal kemunculannya di Jawa, pesantren dijadikan oleh para muballigh walisongo sebagai sarana menggembleng kader-kader muballigh dalam proses islamisasi masyarakat Jawa saat itu,  selain melalui saluran perdagangan, tradisi budaya, tasawwuf, dan politik

Ketiga fungsi tersebut menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum.

Sehubungan dengan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, K.H. Ali menyatakan, bahwa missi utama dan tugas pokok pendidikan pesantren adalah mencetak ulama’.[4] Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut ulama’ adalah orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar ketaqwaan (khosyyah) yang tinggi.[5] Dalam penampilannya sehari-hari, seorang ulama ditunjukkan oleh ciri-ciri sebagai berikut :
1.   Sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah;
2. Sebagai orang yang berilmu pengetahuan (agama) yang sejati, yang konsekwen, dan mengamalkan ilmunya secara sempurna dalam kehidupan nyata;
3. Sebagai suri teladan kehidupan yang utuh dan seimbang antara kemampuan lahiriah dengan bimbingan yang diperolehnya secara murni dari syari’ah; dan
4. Sebagai manusia pembangun dan pembina mental spiritual masyarakat, yang berperan sebagai motivator dan dinamisator yang kreatif dan inovatif.[6]

Untuk mewujudkan missi tersebut, maka pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan, mendidik kepribadian yang luhur, dan menuntut pengamalan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, di samping bahwa pesantren tetap membimbing alumninya setelah pulang.[7] Missi inilah yang melandasi dan mendorong K.H. Ali Maksum untuk mengatasi kemunduran pesantren dan melakukan pembenahan-pembenahan terutama di bidang sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulumnya.

Sejak wafatnya K.H.M. Munawwir, pesantren ini mengalami kemunduran yang sangat drastis, baik dari sisi jumlah santri maupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Dari sisi jumlah santri, semakin hari semakin berkurang jumlahnya, dan bahkan tinggal beberapa orang saja. Paling tidak ada dua faktor penyebab penurunan jumlah santri:
1.   Faktor intern, yaitu sehubungan dengan wafatnya K.H.M. Munawwir, seorang figur utama yang menentukan keberadaan dan kemajuan pesantren. Belum sampai genap 100 hari wafatnya, satu persatu diantara para santrinya kemudian “boyongan” pulang ke kampungnya masing-masing dan tidak kembali lagi.
2.   Faktor ekstern, yaitu akibat langsung dari penjajahan Jepang, yang menyebabkan sebagian besar pondok pesantren, termasuk pesantren Al-Munawwir, nyaris gulung tikar kalau tidak mendapatkan pertolongan Allah berupa kemerdekaan, dan menghenti kan aktifitas kepesantrenan karena ditinggal pulang oleh para santrinya, di samping juga ditinggal pergi oleh para ustadz dan kiyainya untuk berjuang membela tanah air.

Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan sepinya pondok-pondok pesantren di mana-mana pada saat itu:[8]
1.  Jepang sering menggunakan kekejaman kepada siapa saja yang dicurigai, sehingga suasana ini tidak memungkinkan bagi orang-orang untuk memperdalam ilmu di pesantren.
2.  Kaum muslimin terpanggil untuk menyiapkan diri berjuang merebut kemerdekaan. Mereka banyak yang masuk kedalam barisan Tentara Pelajar, PETA (Pembela Tanah Air), Hizbullah, Sabilillah, dan sejenisnya.
3. Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat parah, disebabkan politik tanam paksa Jepang (terutama menanam pohon jarak), yang hasilnya digunakan untuk keperluan Jepang sendiri dalam pembiayaan Perang Dunia II melawan sekutu.

Sedangkan kemunduran dari segi sistem pendidikan-pengajaran, bahwa aktifitas belajar-mengajar yang berjalan di Pesantren Krapyak hanya pengajaran Al-Qur’an saja, dan itupun berjalan secara apa adanya. Sedangkan pengajaran Kitab Kuning tidak berjalan sama sekali, karena tidak adanya tenaga pengajar yang mumpuni dari keluarga pesantren. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya [9] :
1. Sejak awal, pesantren Al-Munawwir memang dipersiapkan sebagai pesantren yang memfokuskan pendidikan dan pengajarannya pada ‘ulumul Qur’an, terutama dalam bidang tahfizhul Qur’an (penghafalan Qur’an), sedangkan pengajaran Kitab Kuning hanya bersifat penyempurna, pelengkap atau sekedar kegiatan sampingan. Sementara itu, calon ulama’ tidak sekedar mampu menguasai ‘ulumul Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata, tetapi juga harus menguasai ‘ulumus syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab Kuning. Dengan begitu,  penguasaan terhadap Kitab Kuning merupakan syarat mutlak bagi kader ulama’.[10] 
2. Tenaga pengajar Kitab Kuning pada masa hidupnya K.H.M. Munawwir direkrut dari kalangan santri senior yang memiliki kemampuan dalam membaca Kitab Kuning dan kini santri tersebut telah kembali ke kampung halamannya, padahal tenaga pengajar tetap yang menguasai Kitab Kuning, terutama yang berasal dari keluarga pesantren, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita mencetak kader ulama’.  
3. Putra-putri kiai sebagian besar masih kecil atau remaja, sehingga mereka belum siap menggantikan posisi K.H.M. Munawwir sebagai ulama’, pengajar, sekaligus pengasuh pesantren, dan hanya beberapa orang putra yang sudah menginjak usia dewasa, dan itupun mereka memfokuskan pendalamannya pada bidang tahfizhul Qur’an, bukan pada penguasaan Kitab Kuning.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, K.H. Ali Maksum kemudian melakukan pembenahan-pembenahan demi kemajuan pesantren dengan menetapkan kebijakan, langkah strategis dan skala prioritas sebagai berikut :
1.   Pengkaderan ulama / tenaga pengajar dari keluarga pesantren
2.   Pembenahan dan Pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum
3.   Melengkapi sarana-prasarana pesantren
Namun dalam pembahasan ini, penulis memfokuskan pembahasannya pada : 1) pengkaderan ulama dari keluarga pesantren; 2) pembenahan dan pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum.

Setelah melakukan pembenahan-pembenahan tersebut, hasilnya adalah bahwa selama dalam periode kepemimpinan Tiga Serangkai (1942-1968) dan kepemimpinan tunggal K.H. Ali Maksum (1987-1989) ini telah terjadi perubahan besar di bidang pendidikan dan pengajaran, baik dalam pengajaran Al-Qur’an maupun pengajaran Kitab Kuning. Pengajaran Kitab Kuning benar-benar ditangani secara serius, sehingga menjadi pengajaran utama di samping Al-Qur’an. Pengajaran Kitab Kuning tidak sekedar melalui sistem weton dan sorogan saja, akan tetapi dikembangkan melalui sistem madrasi (sekolah formal), berjenjang dan ada batasan waktu belajar. Ini merupakan suatu kondisi yang belum dikenal pada periode-periode sebelumnya. Dengan terjadinya perubahan, perkembangan dan kemajuan tersebut, maka secara otomatis akan diikuti oleh bertambahnya jumlah santri yang mondok di Pesantren Al-Munawwir. Kesemuanya ini tentu tidak lepas dari peran K.H. Ali Maksum sebagai tokoh penggerak perubahan dan perkembangan tersebut, yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran madrasah disertai dengan kurikulum pesantren yang terprogram.

Dengan kata lain, selama periode kepemimpinan K.H. Ali Maksum,  Pesantren Al-Munawwir yang tadinya sebagai pesantren berciri khas salafi yang menitikberatkan pada pengajaran Al-Qur’an (aktifitas utama) dan pengajaran Kitab Kuning (aktifitas sampingan), berubah menjadi sebuah pesantren berciri khas kholafi yang ditandai dengan masih dipertahankannya pola pengajaran sistem salafi dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum kedalam kurikulum madrasahnya, menurut klasifikasi Zamakhsyari Dhofier.[11] Atau berubah dari pesantren salaf/klasik menjadi sebuah “pesantren semi berkembang” yang ditandai dengan berdirinya madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum, kemudian menjadi “pesantren berkembang” yang ditandai dengan kurikulum 70 % agama dan 30 % umum pada madrasahnya atau juga berdirinya madrasah SKB dengan tambahan diniyyah, menurut klasifikasi M. Ridlwan Nasir.[12]

Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan dari langkah-langkah strategis untuk mengatasi kemuduran pesantren beserta dinamika perubahan menuju kemajuan pesantren, terutama di bidang sistem pendidikan dan pengajarannya.
 

1.  PENGKADERAN ULAMA DARI KELUARGA PESANTREN

Kebijakan strategis yang pertama kali diambil K.H. Ali Maksum selaku salah satu pengasuh yang dibebani tugas mengatasi kemunduran tersebut ialah melakukan pengkaderan calon-calon ulama’ dari kalangan keluarga pesantren (para putra dan menantu K.H.M. Munawwir) dan beberapa santri senior dari luar keluarga yang nantinya diharapkan dapat menjadi motor penggerak perubahan dalam usaha mengembangkan dan memajukan pesantren di masa-masa mendatang, tanpa harus menggantungkan bantuan tenaga dari luar pesantren.

Agar usaha tersebut dapat berjalan secara efektif dan sukses, K.H. Ali Maksum mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menutup aktifitas pesantren untuk sementara waktu. Pesantren tidak menerima pendaftaran santri baru, sementara para santri yang tersisa dipulangkan, kecuali beberapa orang santri dari tetangga pesantren yang diperlukan sebagai kader untuk memajukan pesantren. 
b.   Mengkonsentrasikan diri pada pengkaderan dan pembinaan terhadap para kader ulama’ tersebut. 
c.   Setelah dipandang cukup, para kader tersebut diberi tugas dan didorong untuk mengajar, mengelola lembaga pendidikan dan mengembangkannya menurut kemampuan dan bidangnya masing-masing demi kemajuan pesantren.

Pengkaderan ini dilakukan secara intensif selama kurang lebih 2 tahun, antara tahun 1943 – 1944. Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari: K.H.R. Abdul Qodir Munawwir (pengasuh), K.H. Zaini Munawwir,  K.H. Zainal Abidin Munawwir, K.H. Ahmad Munawwir,  K.H. Dalhar Munawwir, K.H.A. Warson Munawwir, K.H. Nawawi Abdul Aziz (menantu), K.H. Mufid Mas’ud (menantu), K.H. Habib Dimyati (asal pesantren Tremas), H. Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan K.H. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan Yogyakarta). Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian berbagai macam Kitab Kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang diberlakukan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).[13]

Setelah dua tahun dikader, mereka diberi tugas untuk ikut membantu K.H. Ali Maksum dalam pengajaran Kitab Kuning, mendirikan lembaga pendidikan, mengelola pesantren dan mengembangkannya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Bekal ilmu yang diperoleh dari K.H. Ali Maksum tersebut menjadi landasan bagi para kader untuk memperdalam berbagai disiplin keilmuan secara mandiri (autodidak) pada masa-masa berikutnya. Buah dari ketekunan mereka di kemudian hari diantaranya, bahwa mereka akhirnya menjadi kiai-kiai yang alim, meskipun mereka tidak menambah wawasan keilmuan dari pesantren lain. Sebut saja K.H. Zainal Abidin yang menjadi tangan kanan K.H. Ali Maksum dan selalu aktif mengembangkan pengajian Kitab Kuning; K.H. Habib Dimyati yang membantu K.H. Ali Maksum mengajarkan kitab Dahlan (syarah Alfiyah Ibnu Malik) dan setelah pulang kampung, beliau dipercaya sebagai pengasuh pesantren Tremas menggantikan posisi kakaknya yang telah wafat; K.H.A. Warson yang menekuni dan mengembangkan ilmunya di bidang penulisan “Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia” yang sangat terkenal itu, disamping juga mengembangkan pengajian Kitab Kuning; K.H. Mufid Mas’ud dan K.H. Nawawi Abdul Aziz membantu mengembangkan pengajaran Al-Qur’an dan pada akhirnya mereka berdua mendirikan pesantren sendiri diluar Krapyak.[14] Dari sisi ini, maka K.H. Ali Maksum dapat dipandang sebagai “Sesepuh” Krapyak setelah wafatnya K.H.M. Munawwir.[15]


2.    PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN-PENGAJARAN DAN PEMBENAHAN KURIKULUM

Setelah tahap pengkaderan tersebut, Pesantren Al-Munawwir Krapyak dibuka kembali untuk masyarakat umum pada tahun 1944/1945 dan dalam waktu singkat sudah nampak terjadi perubahan-perubahan antara lain di bidang sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum, bertambahnya jumlah santri, berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, dan semakin lengkapnya sarana-prasarana.

Sebagaimana yang disinggung di atas, bahwa missi dan tugas pesantren adalah mencetak kader ulama’, sementara itu seorang ulama’ tidak sekedar dituntut mampu menguasai ‘ulumul Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata, tetapi juga dituntut menguasai ‘ulumus syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab Kuning. Untuk mewujudkan hal ini, K.H. Ali Maksum memandang perlu adanya pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan pembenahan kurikulumnya secara bertahap. Menurut Kiai Ali, pesantren harus memberikan bekal keilmuan kepada para santrinya melalui proses pendidikan dan pengajaran. Kelompok bidang keilmuan yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pesantren paling tidak meliputi :
a. ‘Ulumus Syar’iyyah dan ‘ulumul Qur’an : Tafsir, Hadits, Fiqh, Tauhid, dan ilmu-ilmu lain yang bersangkutan dengannya, termasuk ‘ulumul lughah (bahasa Arab : Nahwu, Shorof, Balaghah)
b. Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, termasuk di sini ialah Tarikh Islam, Sejarah Umum, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Ilmu Kemasyarakatan (sosiologi-antropologi) dan Ilmu Kewarganegaraan (civic)
c.  Ilmu-ilmu yang membuat kemampuan berfikir kritis dan berwawasan luas, seperti Ilmu Mantiq (Logika), Ushul Fiqh, Qawa’idul Fiqh, dan sejenisnya.
d. Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan karakter keislaman, diantaranya Ilmu Akhlaq (etika), Ilmu Tasawwuf (mistik) dan Thoriqot.
e.   Latihan kemasyarakatan, termasuk didalamnya latihan berbicara di depan umum (pidato, protokoler/presenter), latihan menyelesaikan masalah (problem solving), pendekatan kepribadian (personal approach, psikologi), latihan diskusi, latihan berorganisasi dan kepemimpinan.
f. Santri harus digembleng mental dan karakternya. Di sini ditekankan pentingnya melakukan Mujahadah (dzikir), Istighotsah dan amalan-amalan ibadah praktis lainnya.[16]
Keenam kelompok bidang keilmuan tersebut tercermin dalam muatan kurikulum yang diterapkan di Pesantren Al-Munawwir, ditambah dengan beberapa materi ilmu-ilmu umum seperti matematika, IPS, IPA, dll., untuk memenuhi tuntutan pemerintah, terutama yang diterapkan di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.


PENGAJARAN AL-QUR’AN

Program pengajaran Al-Qur’an, baik bin-nazhor (dengan membaca: bil qiro`ah) maupun bil ghoib (dengan hafalan: bil hifzhi), yang sudah berjalan dengan baik pada periode K.H.M. Munawwir tetap dipertahankan, karena ini merupakan ciri khas Pesantren Krapyak, hanya saja perlu dikembangkan dengan mengunakan sistem ala madrasah untuk mendapatkan kualitas lulusan dan efektifitas pengajaran. Untuk itu didirikanlah Madrasatul Huffazh pada tahun 1955. Tempat pengajarannya tidak lagi berpusat di Masjid, tetapi di rumah kiai yang ditunjuk sebagai pengelola atau kordinatornya. Kurikulum pengajarannya tidak melulu tahfizhul Qur’an, tetapi juga ditambah dengan pelajaran Tafsir, Tajwid, Hadis, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan materi penyempurna lainnya. Santrinya tidak hanya dimonopoli putra, tetapi juga dibuka kelas santri putri. Tempat tinggal santri pun dilokalisir, yakni ditempatkan di komplek “L” untuk santri putra dan komplek Nurussalam untuk santri putri. Tenaga pengajarnya tidak hanya diserahkan kepada seorang kiai yang mengelola, tetapi juga dibantu oleh beberapa kiai, yaitu K.H. Mufid Mas’ud, K.H. Nawawi Abdul Aziz, K.H. Hasyim Yusuf, K.H.R.M. Najib Abdul Qodir, K.H. Dalhar Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Munawwir, Nyai Badriyah Munawwir, Nyai Hj. Jauharoh Munawwir, Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali dan Nyai Hj. Lutfiyah Jirjis. Dari hasil pengajaran ini lahirlah ratusan kiai huffazh (penghafal Qur’an) yang menguasai tahfizhul Qur’an sekaligus menguasai ‘ulumus syar’iyyah.[17]
Selain pengajaran di Madrasatul Huffazh, juga diadakan pengajaran sistem lama (sorogan) dengan program bin-nazhor yang bertempat di rumah pengasuhnya. Pengajaran ini diperuntukkan bagi santri kalong yang berasal dari kalangan masyarakat sekitar pesantren. Pengajarnya meliputi : Ny. Badriyah Munawwir dan Ny. Hj. Hasyimah Munawwir untuk santri putri, serta K.H. Zaini Munawwir untuk santri putra.


PENGAJARAN  KITAB  KUNING

Sistem weton dalam pengajaran Kitab Kuning yang di masa K.H.M. Munawwir sekedar sebagai pengajaran “sampingan”, lalu ditingkatkan dan dikembangkan sedemikian rupa pada masa K.H. Ali Maksum, bahkan menjadi pengajaran pokok disamping pengajaran Al-Qur’an. Pengajaran Kitab Kuning dikembangkan dengan menggunakan sistem pengajaran weton/halaqah dan sistem sorogan. Kedua sistem ini banyak diterapkan di berbagai pondok pesantren pada umumnya, terutama persantren yang bercorak salafiyah, bahkan menjadi sistem pengajaran utama.
Kurikulum yang diterapkan dalam pengajaran Kitab Kuning di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, baik dengan sistem weton maupun sorogan, menggunakan kurikulum pesantren yang dirumuskan oleh K.H. Ali Maksum, yaitu berisi sederetan daftar dari 85 judul kitab (sejumlah 99 jilid), mulai dari kitab tingkat dasar sampai tingkat tinggi (takhassus), yang terbagi kedalam lima tingkatan berdasarkan tingkat kemampuan intelektual santri, dengan perincian : tingkat pertama (tingkat dasar) 17 judul (26 jilid); tingkat kedua 20 judul (21 jilid); tingkat ketiga 16 judul (16 jilid); tingkat keempat 12 judul (16 jilid); dan tingkat kelima / takhassus 20 judul (20 jilid).
Untuk lebih jelasnya, tingkatan kitab-kitab yang digunakan untuk sorogan dan pengajian sistem weton sebagai berikut[18] :
1). Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton atau sorogan tingkat pertama :
a).     Ad-Durusul Fiqhiyyah, Qismul ‘Ibadat (الدروس الفقهية  : قسم  العبادات)
 b).    Ad-Durorul Bahiyyah (الدرر البهية), karya Abu Bakar Syatha
c).     Matan Taqrib (متن  تقريب), bagian ibadah
d).    Durusul ‘Aqaid (دروس العقائد), juz 1, 2 dan 3
e).     Durusud Din wal Akhlaq (دروس الدين و الأخلاق), juz 1, 2 dan 3
f).      ‘Aqidatul ‘Awam (عقيدة العوام)
g).     Khulashoh Nurul Yaqin (خلاصة  نور اليقين), juz 1- 2
h).     Al-Qiro`atur-Rosyidah  (القراءة  الرشيدة), juz 1- 2
i).      Mabadi`ul Lughatil ‘Arabiyyah (مبادئ اللغة العربية), karya Mushthafa Saqa, juz 1-2
j).      Al-Qir`oah wal Muthola’ah (القراءة  و المطالعة) untuk Ibtidaiyah, juz 1-2
k).     Al-Muhadatsah al-‘Arabiyyah (المحادثة   العربية), juz 1-2
l).      Matn al-Ajurumiyah (متن  الآجرومية)
m).   Ad-Durusun Nahwiyyah (الدروس النحوية)
n).     An-Nahwul Wadhih  (النحو الواضح), karya ‘Ali al-Jarim
o).     Amtsilatut Tashrif  (أمثلة  التصريف)
p).    Durusul Akhlaq Lil Banin  (دروس الأخلاق  للبنين)
q).     Durusul Akhlaq Lil Banat (دروس الأخلاق  للبنات)

2).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian / sorogan tingkat kedua :
a).     Ad-Durusul Fiqhiyyah, Qismul Mu’amalat (الدروس الفقهية  : قسم  المعاملات),  
b).     Fathul Qorib, syarhu  Taqrib (فتح القريب :  شرح   تقريب), bagian ibadah
c).     Ar-Riyadhul Badi’ah fil Fiqh (الرياض البديعة فى الفقه)
d).    Al-Jawahirul Kalamiyah fil ‘Aqoid (الجواهر الكلامية فى العقائد)
e).     Kifayatul ‘Awam – fit Tauhid  (كفاية العوام فى  التوحيد)
f).      Durusus Sirah an-Nabawiyyah  (دروس السيرة النبوية)
g).     Khulashah Nurul Yaqin – Tarikhul Khulafa’ (خلاصة  نور اليقين  تاريخ الخلفاء), juz 3
h).     Tarikhul Majd al-Islamiy  (تاريخ المجد الإسلامي), Umar bin Sulaiman Naji
i).      Amtsilatut Tashrif  (أمثلة  التصريف)
j).      Al-Kailany – fis-Shorf (الكيلاني   فى الصرف) untuk Ibtidaiyah, juz 1-2
k).     Mukhtashor Jiddan: Syarh al-Ajurumiyah (مختصر جدا  - شرح  الآجرومية)
l).      Ad-Durusun Nahwiyyah (الدروس النحوية), juz 2
m).   Al-Qiro`ah ar-Rosyidah (الرشيدة    القراءة) untuk Ibtidaiyah, juz 3
n).     Al-Qiro`ah wal Muthola’ah (القراءة  و المطالعة) untuk Ibtidaiyah, juz 3
o).     Durusul Insya’ wal Mahfuzhot (دروس الإنشاء والمحفوظات)
p).    Al-Muntakhobat – fil Mahfuzhot (المنتخبات  فى المحفوظات)
q).     Taisirul Kholaq fi ilmil Akhlaq (تيسير الخلاق فى علم  الأخلاق  )
r).     Tafsir Ayatil Qur’an (تفسير آيات القرآن)
s).     Al-Ahadits an-Nabawiyyah (الأحاديث النبوية  )
t).      Ta’limul Muta’allim (تعليم  المتعلم)

3).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian / sorogan tingkat ketiga :
a).     Fathul Qorib, syarh  Taqrib (فتح القريب :  شرح   تقريب), bagian Mu’amalat
b).     Al-Halqotur Robi’ah  (الحلقة الرابعة),  
c).     Khulashoh Arkanil Islam (خلاصة أركان الإسلام)
d).    As-Samir al-Muhadz-dzib – fil Akhlaq (السمير المهذِّب فى الأخلاق)
e).     Adabul Fata (آدب الفتى)
f).      Tafsir Ayatil Qur’an – fil ‘Ibadat wal Akhlaq (تفسير آيات القرآن فى العبادات و الأخلاق)
g).     Al-Ahadits an-Nabawiyyah  fil Mu’amalat ( الأحاديث النبوية  فى المعاملات )
h).     Syarhul Jazariyah fil Tajwid (شرح الجزرية  فى التجويد)
i).      Al-Hushunul Hamidiyyah – fit Tauhid  (الحصون الحميدية فى  التوحيد)
j).      Mutammimah al-Ajurumiyah (متممة  الآجرومية)
k).     An-Nahwul Wadhih  (النحو الواضح), karya ‘Ali al-Jarim, juz 3
l).      Ad-Durusun Nahwiyyah (الدروس النحوية), juz 3
m).   Nazhm al-Maqshud – fis-Shorf (نظم المقصود -    فى الصرف)
n).     Waroqot – fi Ushul al-Fiqh (ورقات  فى أصول الفقه)
o).     Mushtholahul Hadits (مصطلح  الحديث)
p).    Al-Arba’in an-Nawawiyah (الأربعين للإمام   النووي  فى الحديث)

4).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton/sorogan tingkat keempat :
a).     Kifayatul Akhyar – Fil Fiqh (كفاية الأخيار فى الفقه), bagian Mu’amalat
b).     Al-Muhadz-dzab  (المهذّب),  
c).     Tarikhut Tasyri’ al- Islamiy (تاريخ التشريع الإسلامي)
d).    Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuha (حكمة التشريع و فلسفتها), karya al-Jurjawi
e).     As-Siyasatus Syar’iyyah (السياسة الشرعية)
f).      Al-Insanul Kamil (الإنسان الكامل), Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki
g).     Khosho`ishul Qur’an ( خصائص القرآن  ) Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki
h).     Mau’izhotul Mu`minin: mukhtashor Ihya’ Ulumiddin (موعظة المؤمنين)
i).      Muhammad, al-Matsalul Kamil (محمد  المثل الكامل), Muhd. Jadul Maula Bik
j).      Al-‘Ushurul Wustha fit Tarikh al-Islamiy (العصور الوسطى فى التاريخ الإسلامي)
k).     Muhadhorot Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (محاضرات تاريخ الأمم الإسلامية), Hudhary
l).      Majallah Robithoh al-‘Alam al-Islamiy (مجلة رابطة العالم الإسلامي)

5).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton/sorogan tingkat kelima :
a).     Tafsir al-Jalalain (تفسي الجلالين),  
b).     Tafsir Ibnu Katsir (تفسير ابن كثير), bagian ibadah
c).     Jawahirul Bukhoriy (جواهر البخاري)
d).    Riyadhus Sholihin (رياض الصالحين)
e).     ‘Ilmut Tafsir (علم التفسير), imam as-Suyuthy
f).      ‘Ilmul Hadits  (علم الحديث), imam as-Suyuthy
g).     Tukhfatut Thullab, Syarhut Tahrir, fil Fiqh (تخفة الطلاب  شرح تحرير   فى الفقه),
h).     Kifayatul Akhyar, Syarh Ghoyat al-Ikhtishor (كفاية الإخيار   شرح غاية الإختصار),
i).      Fathul Mu’in  (فتح المعين)
j).      Mau’izhotul Mu`minin (موعظة المؤمنين)
k).     Minhajul ‘Abidin (منهاج العابدين), imam al-Ghazali
l).      Al-Asybah wan Nazhoir (الأشباه  والنظائر),
m).   Al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (   اللمع  فى أصول الفقه )
n).     Ushulul Fiqh (أًصول الفقه), Hudhory bik
o).     Syarh Ibni ‘Aqil, ‘alal Alfiyyah (شرح ابن عقيل  على الألفية)
p).    Al-Jauharul Maknun, fil Balaghoh (الجوهرالمكنون  فى البلاغة)
q).     Jauharotut Tauhid (جوهرة التوحيد  )
r).     Syarh Sullam al-Munawwaraq, fil Manthiq (شرح سلّم المنوّرق  فى  المنطق)
s).     Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin (نور اليقين في سيرة سيد المرسلين  )
t).      Itmamul Wafa` fi Sirotil Khulafa` (إتمام الوفاء في سيرة الخلفاء)

Ke-85 judul kitab (sejumlah 99 jilid) tersebut, bila diprosentase sesuai bidang keilmuannya akan tergambar sebagai berikut :
1). ‘Ulumus Syar’iyah, ‘ulumul Qur’an dan ‘ulumul lughah : Tafsir, Hadits, Fiqh, Tauhid, nahwu, shorof, balaghah, bahasa arab terapan. (56 judul, 65 jilid = 65,65 %)
2). Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, seperti sirah, tarikh islam, tarikh tasyri’, as-siyasah as-syar’iyyah dan sejenisnya. (12 judul, 14 jilid = 14,14 %)
3). Ilmu-ilmu untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan berwawasan luas : Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Qawa’idul Fiqh, dan sejenisnya. (6 judul, 6 jilid = 6,6 %)
4). Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan karakter keislaman, meliputi : Ilmu Akhlaq, Ilmu Tasawwuf, Thariqat dan sejnisnya. (11 judul, 15 jilid = 15,15 %).
Perhatikan tabel berikut:

(Tabel 1)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP Al-Munawwir Berdasarkan jenis/bidang keilmuannya:

JENIS / BIDANG ILMU
Tingkatan
jilid
judul
%
I
II
III
IV
V
1. ULUM SYAR’IYYAH, QUR’AN  DAN LUGHAH
1. Ulumul Qur’an &Tafsir

1
2
1
3
7
7

2. Ulumul Hadis

1
3

3
7
7
3. Ilmu Fiqh
3/2
3
3
2
3
14
13
4. Ilmu Tauhid
7/3
2
1

1
11
7
5. Ilmu Nahwu
3
2
3

1
9
9
6. Ilmu Shorof
1
2
1


4
4
7. Ilmu Balaghah




1
1
1
8. Bhs. Arab terapan (muhadatsah, qiroah, insya’, majalah dll)
8/4
3

1

12
8
Jumlah
65
56
65,65
2. ILMU EMPIRIS
1. Tarikh Islam

1

2

3
3

2. Sirah / Biografi
2/1
3/2

1
2
8
6
3. Tarikh Tasyri’


1
1

2
2
4. Siyasah/politik



1

1
1

14
12
14,14
3. ILMU BERFIKIR KRITIS
1. Ilmu Mantiq




1
1
1

2. Qowaidul Fiqh




1
1
1
3. Ushul Fiqh


1

2
3
3
4. Hikmatut Tasyri’



1

1
1
Jumlah
6
6
6,6
4. ILMU PEMBENTUKAN KARAKTER/BUDI BEKERTI
1. Ilmu Akhlak
2
3
2
5/1

12
8

2. Ilmu Tasawwuf/Thariqat



1
2
3
3
Jumlah
15
11
15,15
JUMLAH
26
21
16
16
20
99  jilid
85 judul
100 %

Bila dipandang dari sudut klasifikasi Kitab Kuning yang dikaji di pesantren tradisional menurut Zamakhsyari Dhofier, maka Pesantren Al-Munawwir memberikan porsi yang lebih besar pada kajian ’ulumul lughoh atau ilmu alat (24,24 %). Barangkali ini disebabkan ’ulumul lughoh memiliki peranan yang cukup penting dalam penguasaan Kitab Kuning sehingga lebih besar porsinya, disamping itu Kiai Ali sendiri termasuk seorang ulama yang memiliki keahlian bahasa Arab, sehingga sangat wajar bila latar belakang keahliannya tersebut mewarnai sistem pendidikan dan kurikulumnya. Setelah itu adalah cabang ilmu fiqih (18,18 %), akhlak-tasawwuf (15,15 %), ilmu tauhid (11,11 %) dan cabang ilmu lainnya (13,13 %).
Perhatikan tabel berikut :

(Tabel 2)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP Al-Munawwir Berdasarskan Klasifikasi Zamakhsyari Zhofier

Cabang keilmuan
Jumlah kitab (jilid)
Prosentase
1. ilmu lughah (nahwu, shorof, insya’ dll)
24
24,24 %
2. ilmu fiqih
18
18,18 %
3. ilmu usul fiqh dan qowa’idul fiqh
4
4,04 %
4. ilmu tafsir
7
7,07 %
5. Ilmu hadis
7
7,07 %
6. Ilmu tauhid
11
11,11 %
7. ilmu akhlak dan tasawwuf
15
15,15 %
8. cabang lain : balaghah dan tarikh
13
13,13 %
JUMLAH
99
100 %


Kitab Kuning yang dikaji di Pesantren Al-Munawwir Krapyak seluruhnya berfaham sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Tidak semua kitab-kitab tersebut tergolong bercorak klasik (salafi) yang ditulis oleh ulama’ salaf (abad 16-18 M), tetapi justru lebih banyak (60.60 %) diwarnai oleh kitab-kitab kontemporer atau modern (khalafi) yang ditulis oleh para ulama khalaf (abad 20 M) dengan pola pemikiran dan gaya bahasa yang berbeda dengan kitab klasik, kecuali kitab-kitab yang digunakan untuk tingkat kelima yang 90 % salafi. Dari sudut ini barangkali bisa ditafsiri bahwa sosok ulama yang dicita-citakan oleh Kiai Ali ialah seorang ulama sunni yang menguasai ilmu salafi namun dengan pemahaman dan pola pemikiran yang modern, sebagaimana sosok ulama yang diperankan oleh beliau sendiri.
Perhatikan tabel berikut :

(Tabel 3)
Prosentase Kitab-kitab Klasik dan Modern Yang Dikaji di Pesantren Al-Munawwir :
Macam Kitab
Tingkatan
Judul
Juml
%
1
2
3
4
5
Bercorak Klasik
5/5
6/6
7/7
3/3
18/18
39
39
39,39
Bercorak Modern / kontemporer
12/21
14/15
9/9
9/13
2/2
42
60
60,60





[1]   Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, halm. 62

[2]  Hal ini sesuai dengan fungsi pesantren seperti yang dikategorikan oleh Azyumardi Azra, bahwa ada ada tiga fungsi pesantren tradisional: Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman; kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. (Azyumardi Azra, Pesantren: Kontuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, halm xxi)

[3]  Fachry Ali lebih jauh mengatakan, bahwa berdirinya pesantren pada mulanya merupakan lembaga pendidikan umat Islam pedesaan yang berfungsi untuk konservasi tradisi keagamaan yang dijalankan oleh umat Islam tradisionalis. Status keberadaan pesantren masih status quo, disebabkan orientasi misinya mempertahankan paham tradisionalisme Islam, serta untuk mengurangi penetrasi gerakan modernisme Islam di pedesaan. Tradisi keagamaan (Ahlussunnah waljama’ah) yang dikonservasikan, dipertahankan dan dilestarikan oleh pesantren ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar pada perpaduan antara teologi skolastisisme Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak keislaman di Indonesia. Pondok pesantren sebagai lembaga konservasi ini, kata Abdurrahmad Wahid, kemudian berkembang menjadi subkultur tersendiri. (Baca: M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun Dari bawah, Jakarta: LP3ES, 1988, hlm., 3 dan 39)

[4]  K.H. Ali Makshum, Ajakan suci: Pokok-pokok pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama’, Yogyakarta : LTN NU DIY, 1993, cet.1. halm. 82-83.
Pada kesempatan lain, beliau menyatakan bahwa pesantren adalah “pabrik pencetak ulama”. (Ibid., halm. 97)
“… Pesantren harus menyadari bahwa missi yang dibawanya adalah “mencetak ulama”. Missi lain adalah sampingan saja. Karena itu, pesantren tidak usah gusar dengan pengaruh situasi perkembangan persekolahan. Toh, missinya sudah jelas. Karena missinya mencetak ulama, maka dapatlah dimaklumi kiranya jika pihak pesantren tidak harus mengkaitkan kegiatan alamiahnya (mencetak ulama. – red.) dengan prospek formal. Kita maklumi, bila pesantren menganggap begitu penting adanya ijazah negeri bagi lulusannya. Ini tidak berarti bahwa pengakuan formal semacam ijazah menjadi tidak penting lagi, tidak begitu. Itu tetap penting, hanya dalam memperolehnya tidak perlu dengan cara-cara yang dapat mempengaruhi misi pokok pesantren, yaitu mencetak ulama……”.

[5]  Ibid., halm. 120

[6]  Ibid., halm. 122-123

[7]  Ibid., halm. 130

[8]  A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 19.

[9]  Ibid., halm. 24;  Djunaidi, Sejarah dan Perekembangan…. . Juga hasil wawancara dengan K.H.A. Warson Munawwir, 03-09-2010.

[10] Penguasaan kitab kuning merupakan syarat mutlak bagi calon-calon ulama’, karena kitab kuning merupakan sumber berbagai macam cabang ilmu agama : Aqidah, syari’ah dan akhlak/tasawwuf. Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut ulama’ adalah orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar ketaqwaan / khosyyah yang tinggi. Orang yang sama sekali tidak memiliki syari’ah atau memilikinya dalam kadar yang sangat minim, maka tidak mungkin memiliki rasa khosyyah dan taqwa kepada Allah, sehingga ia tidak bakal menjadi ulama’. (Baca : K.H. Ali Makshum, Ajakan suci: pokok-pokok pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama’, Yogyakarta : LTN NU DIY, 1993, cet.1. halm. 119-120).

[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,  Jakarta : LP3ES. Cet.1 – 1982, halm. 41
Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi dua kelompok besar, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan sistem pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem lama, tapi tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi sama seperti pesantren salafi, tetapi dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum didalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.

[12] M. Ridlwan Nasir, op.cit., halm. 87
M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5, yaitu 1) Pesantren salaf/klasik, ditandai dengan penerapan sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)  dan sistem klasikal (madrasah) salaf;  2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf, tetapi ditambah penerapan sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum’  3) pesantren berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya, 70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3, hanya lebih lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi (umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris);  5) pesantren ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai pesantren.

[13]Semua peserta harus mentaati instruksi dan tata aturan Kiai Ali. Yang melanggar akan kena hukuman. K.H.A. Warson pernah dihukum berdiri sambil diikat di tiang masjid sampai pengajian selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan K.H.A. Warson Munawwir, 04-09-2010).

[14]  K.H. Mufid Mas’ud mendirikan pesantren “Sunan Pandanaran” di Candi Kaliurang Sleman Yogyakarta dan K.H. Nawawi Abdul Aziz mendirikan pesantren “An-Nur” di Ngrukem Bantul Yogyakarta. Kedua pesantren ini sama-sama mengelola pendidikan Al-Qur’an dan madrasah.

[15] A. Zuhdi Mukhdlor, Ibid., halm.21-22

[16] Samsul Munir Amin, Percik Pemikiran Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Peantren, 2009, cet.1,  halm. 186.

[17] Para pengasuh pesantren berikut ini merupakan alumni pada periode ini, diantaranya : KH Abdul Manan (Singosari Malang); K.H. Dahlan Basuni (Peneleh Surabaya); K.H. Ridhwan Abdurrozaq (Kodran Kediri); K.H. Jablawi (popongan Klaten); K.H. Umaira Baqir (Kranji Bekasi); K.H. Abdullah (Bentengan Demak); K.H. Ardani (Mangkuyudan Solo); K.H. Umar (Pare Kediri); K.H. Ashim Ma’lum (Kauman Tulungagung); K.H. Ibnu Hajar (Kretek Wonosobo); Nyai Hj. Sofiah Syafii (PP Putri AN-Nur di Maron Purworwjo). (Baca : Djunaidi dkk, Sejarah & Perkembangan …., halm. 39-40).

[18]  Pengurus P.P. Al-Munawwir, Selayang Pandang Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Yogyakarta: PP Al-Munawwir Krapyak. T.t. Halm. 24 - 28

[19]  Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 41
Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi dua kelompok besar, yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan sistem pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem lama, tapi tanpa mengenalkan pengejaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi, sama seperti pesantren salafi, hanya saja dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan peantren.

[20]  M. Ridlwan Nasir, op.cit., halm. 87
M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5, yaitu 1) Pesantren salaf/klasik, ditandai dengan penerapan sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)  dan sistem klasikal (madrasah) salaf;  2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf ditambah adanya sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum’  3) pesantren berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya, 70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3, hanya lebih lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi (umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris);  5) pesantren ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai pesantren.

[21] Djunaidi dkk, ibid., halm.34-35.

[22] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[23] Muatan kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[24] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[25] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)

[26] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)


[27] Wawancara dengan K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H.A. Warson Munawwir, 03-09-2010




Tidak ada komentar:

Posting Komentar