Senin, 23 Februari 2015

Metode Pengajaran Sistem Sorogan Ala KH Ali Maksum - (6)

__________________________
Oleh : Achmad Suchaimi






Pengajaran Kitab Kuning dengan sistem sorogan yang diterapkan di pesantren-pesantren pada umumnya juga memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Sorogan sebenarnya merupakan sistem pengajaran individual yang sesuai dengan perkembangan pendidikan modern. Proses pengajarannya: santri terlebih dahulu mempersiapkan materi bacaan dan mencari makna lafzhiyyah setiap kata, baik dengan cara mencarinya di kitab kamus Arab-Indonesia misalnya, maupun dengan jalan bertanya kepada teman-teman seniornya. Kemudian ia menyetorkan kepada kiai bacaan kitab dan menterjemahkan kata perkata kedalam bahasa Daerah (Jawa). Kiai meluruskan (membenarkan) jika terjadi kesalahan, baik dalam bacaan maupun terjemahannya. Kiai terkadang bertanya kepada santri, atau memberi kesempatan kepada santri untuk bertanya tentang persoalan yang berkaitan dengan susunan kalimat bahasa Arab (nahwu), arti terjemahan, maupun isi kandungannya.

Dari ilustrasi proses pembelajaran sistem sorogan tersebut dapatlah diketahui beberapa kelebihan, diantaranya :
a.   Dalam sistem sorogan, kiai dan santri sama-sama aktif dalam proses pembelajaran
b.   Kiai dan santri dapat saling mengenal.
c.  Kiai dapat mengenali, mengetahui, dan mengevaluasi tingkat perkembangan intelektual atau kemampuan belajar santri
d.  Santri lebih cepat, trampil dan matang dalam membaca teks kitab dan memahami isi kandungan Kitab Kuning.
e.   Mendorong santri untuk belajar secara otodidak (mandiri).
f.    Santri lebih mudah berdialog atau bertanya jawab secara langsung dengan kiai.
g.  Sistem sorogan merupakan wadah kaderisasi yang tepat untuk mempersiapkan calon-calon kiai dan ustadz yang ahli membaca dan memahami isi kandungan Kitab Kuning, yang untuk selanjutnya dikembangkannya dalam pengajaran sistem weton.
h.  Keaktifan, kerajinan, ketekunan, kedisiplinan dan kesabaran dari individu santri sangat menentukan keberhasilannya dalam menguasai Kitab Kuning.

Sedangkan kelemahan sistem sorogan secara umum ialah bahwa sistem ini kurang diminati oleh sebagian besar santri di pesantren-pesantren pada umumnya, hanya sebagian santri senior dan ustadz yunior yang aktif mengikutinya. Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa sistem sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, karena sistim ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisipilinan pribadi santri.[1] Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala yang menghambat para santri, diantaranya:
a.  Adanya perasaan takut, karena santri dituntut lebih siap dan harus menguasai materi bacaan beserta makna lafzhiyah sebelum maju ke kiai.
b.  Adanya perasaan ketidakmampuan santri, disebabkan minimnya kemampuan santri dalam menguasai ilmu alat (shorof dan nahwu).
Berdasarkan beberapa kelebihan yang dimiliki sistem sorogan ini dan betapa pentingnya sistem sorogan sebagai sarana yang paling efektif untuk menyiapkan kader-kader ulama’ yang dapat diandalkan kemampuannya dalam menguasai Kitab Kuning, K.H. Ali Maksum mewajibkan sistem sorogan ini kepada seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari santri baru (yunior), santri senior,  sampai pada para ustadz yunior.[2]

Adapun sistem sorogan yang sempat menjadi “momok” para santri pada sebagian besar pesantren ini, oleh K.H. Ali Maksum dikembangkan sedemikian rupa sambil meminimalisir kelemahan-kelemahannya, sehingga sistem ini tidak lagi menakutkan dan tidak hanya dimonopoli oleh para santri senior dan ustadz yunior. Untuk keperluan ini, K.H. Ali Maksum melakukan langkah-langkah pendekatan sebagai berikut  :
a.  Menjadikan sistem sorogan sebagai sarana latihan bagi santri untuk memperbagus cara penulisan, pembacaan, dan penterjemahan teks-teks berbahasa Arab.
b.   Menjadikan sistem sorogan sebagai sarana pembiasaan bagi santri untuk mempelajari Kitab Kuning secara mandiri (autodidak).
c.   Menerapkan metode, tehnik/prosedur sorogan yang beragam dan berbeda antara santri baru (yunior), santri senior dan ustadz yunior.

Dalam proses pengajaran sistem sorogan ini, K.H. Ali Maksum lebih menekankan proses pembelajarannya secara mandiri atau autodidak. Kiai menentukan suatu kitab tertentu yang sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan pengetahuan santri. Santri berusaha mengkaji kitab ini secara mandiri, baik dengan cara mencari arti di kitab-kitab Kamus, bertanya atau minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, maupun dengan cara menelaah kitab yang sama yang sudah ada terjemahan makna gandul-nya.
Sorogan dilaksanakan setiap hari, kecuali hari jum’at, waktunya antara ba’da shalat shubuh sampai kira-kira pukul 08.30 WIB. Beberapa santri[3] dengan tingkatan pengetahuan yang berbeda hampir bersamaan datang dan menghadap ke kiai didalam satu majlis di ruang belajar yang sekaligus ruang tempat tidur pribadi K.H. Ali Maksum[4] untuk menyetorkan pembacaan kitabnya masing-masing dengan suara keras, sementara kiai hanya cukup mendengar bacaan santri, sambil meluruskan/membenarkan jika terjadi kesalahan bacaan, dan terkadang mengajukan beberapa pertanyaan, atau semacam dialog kecil.[5]  Selesai penyetoran bacaan, K.H. Ali Maksum membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks kitab yang dibaca santri, atau pada batas akhir tulisan didalam buku catatannya.

Tujuan pengajaran yang ingin dicapai dari sistem sorogan ini adalah:
a.   Mendidik para santri agar mampu dan terampil membaca Kitab Kuning.  
b.   Mendorong para santri untuk memperdalam, memperluas wawasan dan mengembangkan kajian Kitab Kuning secara mandiri. 
Target yang ingin dicapai dalam sorogan ini adalah agar para santri terbiasa membaca dan mengkaji kitab kuning dengan semangat autodidak yang tinggi. Dengan kebiasaan ini, para santri nantinya diharapkan mampu membaca dan mengkaji sendiri Kitab Kuning tanpa menggantungkan bantuan dari orang lain. Dengan kata lain, para santri diharapkan mampu secara autodidak mengkaji dan memperdalam Kitab Kuning secara mandiri, sekalipun kitab tersebut belum pernah diajarkan oleh kiai, atau sudah pernah diajarkan tetapi tidak sampai khatam sehingga santri diharapkan mampu meneruskan kajiannya secara mandiri.
Pelaksanaan sistem sorogan di pesantren-pesantren lain pada umumnya, seperti di pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang, pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, hanya diikuti oleh para santri senior dan para ustadz yang sudah menguasai ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah).[6] Namun di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, sistem sorogon justru diwajibkan kepada seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari tingkat pemula (santri yunior), santri senior, bahkan mereka yang sudah bertitel ustadz. Barangkali ini yang membedakan antara orientasi sistem sorogan di pesantren Al-Munawwir dengan pesantren-pesantren lainnya.
Metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem sorogan pada umumnya sama, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hanya saja tehnik, prosedur dan titik tekannya saja yang berbeda antara santri satu dengan santri lainnya. Untuk keperluan ini, para santri dikelompokkan menjadi lima tingkatan beserta tingkatan kitab yang harus dibaca[7] :
a.   Santri tingkat pertama (yunior) yang sekolahnya kira-kira setingkat MI/SD, SMP dan Tsanawiyah kelas satu : kitab yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat dasar yang dijadikan sebagai materi pelajaran di Madrasah atau di kelompok/halaqah pengajiannya.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri menulis kembali teks arab disertai dengan makna gandul-nya didalam buku tulis. Makna dari setiap lafazh/kata dapat diambil dari kitab-kitab cetakan sejenis yang sudah ada makna gandul-nya, atau diambil dari hasil pembacaan kitab oleh ustadz di Madrasah dan di kelompok/halaqah pengajiannya. Tulisan teks Arab dan makna gandul didalam buku tulis itulah yang dibaca santri di hadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku tulis santri.
Bagi santri pemula (baru) yang belum lancar membaca teks arab, kiai menentukan materi kitab As-Shorful Wadhih atau al-Amtsilatut-Tashrifiyah model “Krapyak”. Santri menulis sebuah lafazh atau kalimah sesuai yang ditentukan K.H. Ali Maksum, misalnya kalimahنَصَرَ”, lalu di-tashrif,  baik secara ishthilahy (نَصَرَ يَنْصُرُ اُنْصُرْ نَصْرًا نَاصِرٌ مَنْصُوْرٌ مَنْصَرٌ - مَنْصَرٌ), maupun secara lughawy (misal tashrif lughawy untuk fi’il madhyنَصَرَ“ = نَصَرَ نَصَرَا نَصَرُوْا نَصَرَتْ نَصَرَتَا نَصَرْنَ نَصَرْتَ نَصَرْتُمَا نَصَرْتُمْ نَصَرْتِ نَصَرْتُمَا نَصَرْتُنَّ نَصَرْتُ - نَصَرْنَا). Setelah selesai ditulis di buku tulisnya, santri membacanya dihadapan kiai Ali. Selesai sorogan, kiai  Ali membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku santri dan memberi materi baru, misalnya diperintah men-tashrif kata “ضَرَبَ, untuk ditulis dan dibaca pada hari berikutnya, dan begitu seterusnya. Dengan kebiasaan sorogan model K.H. Ali ini, santri secara tidak sadar sudah mengenal dasar-dasar ilmu shorof secara praktis.
Target yang ingin dicapai pada tingkatan ini ialah kelancaran bacaan, memperbagus tulisan, membaca dan menulis secara benar, serta mengenal dasar-dasar tata bahasa arab, terutama dalam ilmu shorof.
b.   Santri tingkat kedua yang sekolahnya kira-kira setingkat SMP/Tsanawiyah sampai kelas 3 dan  SMA : Kitab yang dibaca ialah kitab-kitab lanjutan dari tingkat dasar seperti fathul qorib, kifayatul ‘awam, al-jawahirul kalamiyah, mukhtashor jiddan: syarah Ajurumiyah, dll.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri mencari makna teks dari  buku kamus Arab-Indonesia atau hasil pengajaran guru di Madrasah / pengajian weton. Teks Arab dalam kitab tersebut ditulis didalam buku tulis beserta makna gandul-nya. Kemudian hasil tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
c.   Santri tingkat ketiga yang sekolahnya kira-kira setingkat Madrasah Aliyah, tamatan SMA dan mahasiswa Umum, yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat ketiga, seperti kitab Al-Halqotur Robi’ah fil Fiqh, al-Hushunul Hamidiyah, Mutammimah al-Ajurumiyah, Khulashoh Arkanil Islam (tulisan Sayyid Ali Fikri) dan lain-lain.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri menyiapkan materi bacaan teks kitab dan mencari arti lafzhiyyah-nya dari kitab-kitab kamus, serta wajib mencari kata-kata mutiara dalam bahasa arab, kalam hikmah, syi’ir-syi’ir dan sejenisnya yang tersebar didalam Kitab Kuning, lalu ditulis didalam buku tulis beserta maknanya.  Kemudian kitab dan kalam hikmah hasil tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir dari teks kitab yang dibaca dan batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
d.   Santri tingkat keempat ini lebih senior dan lebih maju lagi dalam penguasaan Kitab Kuning, termasuk didalamnya para ustadz. Yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat menengah ke atas (tingkat keempat), baik karya ulama’ salaf maupun ulama kholaf, dengan target untuk memperdalam pemahaman terhadap isi kandungan kitab dan memperluas wawasan keilmuan santri, seperti kitab al-Muhadz-dzab, Hikmatut Tasyrik wa falsafatuha (Jurjawi), al-Insanul Kamil (Sayyid Muhammad al-Maliki), Muhammad al-Matsalul Kamil (Jadul Maula), Majalah Rabithah al-Alam al-Islami, Mau’zhotul Mukminin, dll.
Metode/Prosedur pengajarannya: Santri mempersiapkan materi teks bacaan dan mencari makna lafzhiyah-nya dari kitab kamus. Santri membaca teks Arab beserta makna lafzhiyah-nya secara agak cepat. Kiai membutuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks yang dibaca santri. Kitab-kitab ini tidak mesti dibaca santri sampai khatam, namun terkadang bacaan santri yang baru sampai pada seperempat atau setengah bagian kitab, kiai sudah menganggapnya cukup, lalu membubuhkan tanda tangan dan terkadang memberi catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di halaman terakhir dari kitabnya sebagai pertanda bahwa santri tersebut telah selesai membaca, atau sudah layak dan mampu menguasai isinya.[9]  Untuk selanjutnya, kiai menentukan kitab yang lain, atau santri sendiri yang mengajukan kitab pilihan yang menjadi minatnya dan kiai menyetujuinya.[10] Pada tingkatan ini, terjadi dialog antara kiai dan santri tentang pemahamannya terhadap teks dan isi kandungan kitab yang dibaca.[11]
e.  Santri tingkat kelima, yaitu santri takhassus : kitab yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat tinggi terutama karya ulama’ salaf. Targetnya ialah untuk pengembangan dan pendalaman wawasan keilmuan. Untuk tingkat ini, para santri bebas menyetorkan bacaan kitab yang dipilih sendiri sesuai minatnya dan tidak mesti dibaca sampai khatam. Setelah menyelesaikan beberapa bab atau fasal, kiai biasanya menganggap sudah cukup, lalu membubuhkan tanda tangan dan catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di halaman terakhir kitab. Santri kemudian diminta memilih bacaan kitab yang lain, sebagaimana yang tertera dalam daftar nama kitab untuk tingkatan kelima. Pada tingkatan ini, terjadi dialog dan diskusi yang lebih intens antara santri dan kiai tentang berbagai persoalan yang terkait dengan isi kandungan teks beserta aplikasinya dalam kehidupan.





[1]  Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 28

[2]  Ibid., halm. 31
“ ….. Penyelenggaraan bermacam-macam kelas bandongan ini dimungkinkan oleh sustu sistem yang berkembang di pesantren dimana kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang melakukan praktek mengajar ini mendapat titel ustadz (guru). Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelompok, yaitu yang masih yunior (ustadz muda), dan yang sudah senior, yang biasanya sudah menjadi anggota kelas musyawarah. Satu-dua ustadz senior yang sudah matang dengan pengalaman mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda….”

[3] Jumlah para santri dalam satu majlis yang maju sorogan ke kiai dalam waktu yang hampir bersamaan ialah antara 5 - 10 orang santri yunior, atau antara 1 – 5 santri senior dan ustadz yunior.

[4] Kondisi ini terjadi antara tahun 1980-an sampai wafatnya. Namun kadang-kadang sorogan diselenggarakan di gedung perpustakaan yang berlokasi di sebelah timur kediamannya.

[5]  Aliy As’ad, Ibid., halm. 47

[6] M. Ridlwan Nasir,op.cit., halm. 138, 187, 210

[7] Tingkatan kitab yang harus dibaca disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual santri dan tingkat penguasaannya terhadap materi kitab kuning. Tingkatan kitab-kitab yang sekaligus menjadi kurikulum pengajaran kitab kuning, baik dengan sistem weton maupun sorogan, dapat dilihat pada pada paparan sebelumnya (Bab IV.C.2.b.).


[8] Bentuk catatan semacampengesahan” atau “ijazah” tersebut ditulis dalam bahasa arab yang antara lain berbunyi:
بحمد اللّه  قد  أَتَمَّ ولدي    ..... (nama santri)     ِقراءةَ هذا الكتاب في   ...... (tgl, bln, thn )      وفَّقهُ اللَّهُ للعلم النافع.

[9] Kitab yang diajukan santri terkadang ditulis oleh ulama pembaharu/reformis dan tidak tercantum dalam daftar nama kitab-kitab yang menjadi kurikulum pesantren. Bahkan pada awal tahun 1980-an, ada salah satu santri (mahasiswa Fak Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bernama A. Faishol dari Banyuwangi) yang terpengaruh faham syi’ah imamiyah mengajukan kitab-kitab tulisan ulama’ syi’ah, namun K.H. Ali Maksum dengan arif bijaksana menyetujuinya, dengan harapan setelah mengadakan dialog-dialog, santri ini akan berubah pikiran untuk kembali berfaham sunni seperti semula.


[10] Wawancara dengan Ustadz Taufiq Ahmad, 04-09-2010. Dia pada tahun 1985-1989 aktif mengikuti sorogan bersama santri senior dan asatidz lainnya seperti Gus Fuad Habib Dimyati (saat ini menjadi salah satu pengasuh pesantren Tremas), Gus Shodiq Mubasyir dll. Kini, ustadz Taufiq merupakan ustadz senior di Pesantren Al-Muanwwir dan Yayasan Ali Maksum Pondok Krapyak Yogyakarta.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar