__________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Pengajaran
Kitab Kuning dengan sistem sorogan yang diterapkan di
pesantren-pesantren pada umumnya juga memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan. Sorogan sebenarnya merupakan sistem pengajaran individual
yang sesuai dengan perkembangan pendidikan modern. Proses pengajarannya: santri
terlebih dahulu mempersiapkan materi bacaan dan mencari makna lafzhiyyah
setiap kata, baik dengan cara mencarinya di kitab kamus Arab-Indonesia
misalnya, maupun dengan jalan bertanya kepada teman-teman seniornya. Kemudian
ia menyetorkan kepada kiai bacaan kitab dan menterjemahkan
kata perkata kedalam bahasa Daerah (Jawa). Kiai meluruskan (membenarkan) jika
terjadi kesalahan, baik dalam bacaan maupun terjemahannya. Kiai terkadang
bertanya kepada santri, atau memberi kesempatan kepada santri untuk bertanya
tentang persoalan yang berkaitan dengan susunan kalimat bahasa Arab (nahwu),
arti terjemahan, maupun isi kandungannya.
Dari ilustrasi proses pembelajaran sistem
sorogan tersebut dapatlah diketahui beberapa kelebihan, diantaranya :
a. Dalam sistem sorogan, kiai dan santri
sama-sama aktif dalam proses pembelajaran
b. Kiai dan santri dapat saling mengenal.
c. Kiai dapat mengenali, mengetahui, dan
mengevaluasi tingkat perkembangan intelektual atau kemampuan belajar santri
d. Santri lebih cepat, trampil dan matang dalam
membaca teks kitab dan memahami isi kandungan Kitab Kuning.
e. Mendorong santri untuk belajar secara
otodidak (mandiri).
f. Santri lebih mudah berdialog atau bertanya jawab
secara langsung dengan kiai.
g. Sistem sorogan merupakan wadah
kaderisasi yang tepat untuk mempersiapkan calon-calon kiai dan ustadz yang ahli
membaca dan memahami isi kandungan Kitab Kuning, yang untuk selanjutnya
dikembangkannya dalam pengajaran sistem weton.
h. Keaktifan, kerajinan, ketekunan, kedisiplinan
dan kesabaran dari individu santri sangat menentukan keberhasilannya dalam menguasai
Kitab Kuning.
Sedangkan
kelemahan sistem sorogan secara umum ialah bahwa sistem ini kurang
diminati oleh sebagian besar santri di pesantren-pesantren pada umumnya, hanya
sebagian santri senior dan ustadz yunior yang aktif mengikutinya. Menurut Zamakhsyari
Dhofier, bahwa sistem sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari
keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, karena sistim ini menuntut kesabaran, kerajinan,
ketaatan dan kedisipilinan pribadi santri.[1] Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala yang
menghambat para santri, diantaranya:
a. Adanya perasaan takut, karena santri dituntut
lebih siap dan harus menguasai materi bacaan beserta makna lafzhiyah
sebelum maju ke kiai.
b. Adanya perasaan ketidakmampuan santri,
disebabkan minimnya kemampuan santri dalam menguasai ilmu alat (shorof dan
nahwu).
Berdasarkan
beberapa kelebihan yang dimiliki sistem sorogan ini dan betapa
pentingnya sistem sorogan sebagai sarana yang paling efektif untuk
menyiapkan kader-kader ulama’ yang dapat diandalkan kemampuannya dalam
menguasai Kitab Kuning, K.H. Ali Maksum mewajibkan sistem sorogan
ini kepada seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari santri baru
(yunior), santri senior, sampai pada
para ustadz yunior.[2]
Adapun
sistem sorogan yang sempat menjadi “momok” para santri pada
sebagian besar pesantren ini, oleh K.H. Ali Maksum dikembangkan sedemikian rupa
sambil meminimalisir kelemahan-kelemahannya, sehingga sistem ini tidak lagi
menakutkan dan tidak hanya dimonopoli oleh para santri senior dan ustadz
yunior. Untuk keperluan ini, K.H. Ali Maksum melakukan langkah-langkah
pendekatan sebagai berikut :
a. Menjadikan sistem sorogan sebagai
sarana latihan bagi santri untuk memperbagus cara penulisan, pembacaan, dan
penterjemahan teks-teks berbahasa Arab.
b. Menjadikan sistem sorogan sebagai
sarana pembiasaan bagi santri untuk mempelajari Kitab Kuning secara
mandiri (autodidak).
c. Menerapkan metode, tehnik/prosedur sorogan
yang beragam dan berbeda antara santri baru (yunior), santri senior dan ustadz
yunior.
Dalam
proses pengajaran sistem sorogan ini, K.H. Ali Maksum lebih menekankan
proses pembelajarannya secara mandiri atau autodidak. Kiai menentukan suatu
kitab tertentu yang sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan
pengetahuan santri. Santri berusaha mengkaji kitab ini secara mandiri, baik
dengan cara mencari arti di kitab-kitab Kamus, bertanya atau minta petunjuk
kepada temannya yang lebih pandai, maupun dengan cara menelaah kitab yang sama
yang sudah ada terjemahan makna gandul-nya.
Sorogan
dilaksanakan setiap hari, kecuali hari jum’at, waktunya antara ba’da shalat
shubuh sampai kira-kira pukul 08.30 WIB. Beberapa santri[3]
dengan tingkatan pengetahuan yang berbeda hampir bersamaan datang dan menghadap
ke kiai didalam satu majlis di ruang belajar yang sekaligus ruang tempat
tidur pribadi K.H. Ali Maksum[4]
untuk menyetorkan pembacaan kitabnya masing-masing
dengan suara keras, sementara kiai hanya cukup mendengar bacaan santri, sambil
meluruskan/membenarkan jika terjadi kesalahan bacaan, dan terkadang mengajukan
beberapa pertanyaan, atau semacam dialog kecil.[5] Selesai penyetoran bacaan, K.H. Ali Maksum
membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks kitab yang dibaca santri,
atau pada batas akhir tulisan didalam buku catatannya.
Tujuan
pengajaran yang ingin dicapai dari sistem sorogan ini adalah:
a. Mendidik para santri agar mampu dan terampil
membaca Kitab Kuning.
b. Mendorong para santri untuk memperdalam,
memperluas wawasan dan mengembangkan kajian Kitab Kuning secara
mandiri.
Target
yang ingin dicapai dalam sorogan ini adalah agar para santri terbiasa membaca
dan mengkaji kitab kuning dengan semangat autodidak yang tinggi. Dengan
kebiasaan ini, para santri nantinya diharapkan mampu membaca dan mengkaji
sendiri Kitab Kuning tanpa menggantungkan bantuan dari orang lain.
Dengan kata lain, para santri diharapkan mampu secara autodidak mengkaji dan
memperdalam Kitab Kuning secara mandiri, sekalipun kitab tersebut belum
pernah diajarkan oleh kiai, atau sudah pernah diajarkan tetapi tidak sampai khatam
sehingga santri diharapkan mampu meneruskan kajiannya secara mandiri.
Pelaksanaan
sistem sorogan di pesantren-pesantren lain pada umumnya, seperti di
pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar
Jombang, pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, hanya diikuti oleh para
santri senior dan para ustadz yang sudah menguasai ilmu alat (nahwu,
shorof, balaghah).[6]
Namun di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, sistem sorogon justru diwajibkan kepada
seluruh santri dengan berbagai tingkatannya, mulai dari tingkat pemula (santri
yunior), santri senior, bahkan mereka yang sudah bertitel ustadz. Barangkali
ini yang membedakan antara orientasi sistem sorogan di pesantren
Al-Munawwir dengan pesantren-pesantren lainnya.
Metode pengajaran
yang diterapkan dalam sistem sorogan pada umumnya sama, sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, hanya saja tehnik, prosedur dan titik tekannya saja
yang berbeda antara santri satu dengan santri lainnya. Untuk keperluan ini,
para santri dikelompokkan menjadi lima tingkatan beserta tingkatan kitab yang
harus dibaca[7] :
a. Santri tingkat pertama (yunior) yang
sekolahnya kira-kira setingkat MI/SD, SMP dan Tsanawiyah kelas satu : kitab
yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat dasar yang dijadikan sebagai materi
pelajaran di Madrasah atau di kelompok/halaqah pengajiannya.
Metode/prosedur pengajarannya: Santri menulis kembali teks arab disertai
dengan makna gandul-nya didalam buku tulis. Makna dari setiap
lafazh/kata dapat diambil dari kitab-kitab cetakan sejenis yang sudah ada makna
gandul-nya, atau diambil dari hasil pembacaan kitab oleh ustadz di
Madrasah dan di kelompok/halaqah pengajiannya. Tulisan teks Arab dan makna
gandul didalam buku tulis itulah yang dibaca santri di hadapan kiai.
Selesai sorogan, kiai membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir
tulisan didalam buku tulis santri.
Bagi santri pemula (baru) yang belum lancar membaca teks
arab, kiai menentukan materi kitab As-Shorful Wadhih atau al-Amtsilatut-Tashrifiyah
model “Krapyak”. Santri menulis sebuah lafazh atau kalimah
sesuai yang ditentukan K.H. Ali Maksum, misalnya kalimah “نَصَرَ”, lalu di-tashrif,
baik secara ishthilahy (نَصَرَ – يَنْصُرُ – اُنْصُرْ – نَصْرًا – نَاصِرٌ – مَنْصُوْرٌ – مَنْصَرٌ -
مَنْصَرٌ),
maupun secara lughawy (misal tashrif lughawy untuk fi’il madhy
“نَصَرَ“ = نَصَرَ – نَصَرَا – نَصَرُوْا – نَصَرَتْ – نَصَرَتَا – نَصَرْنَ – نَصَرْتَ – نَصَرْتُمَا – نَصَرْتُمْ – نَصَرْتِ – نَصَرْتُمَا – نَصَرْتُنَّ – نَصَرْتُ - نَصَرْنَا). Setelah selesai ditulis di
buku tulisnya, santri membacanya dihadapan kiai Ali. Selesai sorogan,
kiai Ali membubuhkan tanda tangannya
pada batas akhir tulisan didalam buku santri dan memberi materi baru, misalnya
diperintah men-tashrif kata “ضَرَبَ”, untuk ditulis dan dibaca pada
hari berikutnya, dan begitu seterusnya. Dengan kebiasaan sorogan model
K.H. Ali ini, santri secara tidak sadar sudah mengenal dasar-dasar ilmu shorof
secara praktis.
Target yang ingin dicapai pada tingkatan ini ialah kelancaran
bacaan, memperbagus tulisan, membaca dan menulis secara benar, serta mengenal
dasar-dasar tata bahasa arab, terutama dalam ilmu shorof.
b. Santri tingkat kedua yang sekolahnya
kira-kira setingkat SMP/Tsanawiyah sampai kelas 3 dan SMA : Kitab yang dibaca ialah kitab-kitab
lanjutan dari tingkat dasar seperti fathul qorib, kifayatul ‘awam,
al-jawahirul kalamiyah, mukhtashor jiddan: syarah Ajurumiyah, dll.
Metode/prosedur
pengajarannya: Santri mencari makna teks dari buku kamus Arab-Indonesia atau hasil
pengajaran guru di Madrasah / pengajian weton. Teks Arab dalam kitab
tersebut ditulis didalam buku tulis beserta makna gandul-nya. Kemudian
hasil tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai
membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
c. Santri tingkat ketiga yang sekolahnya
kira-kira setingkat Madrasah Aliyah, tamatan SMA dan mahasiswa Umum, yang
dibaca ialah kitab-kitab tingkat ketiga, seperti kitab Al-Halqotur Robi’ah
fil Fiqh, al-Hushunul Hamidiyah, Mutammimah al-Ajurumiyah, Khulashoh Arkanil
Islam (tulisan Sayyid Ali Fikri) dan lain-lain.
Metode/prosedur
pengajarannya: Santri menyiapkan materi bacaan teks kitab dan mencari arti lafzhiyyah-nya
dari kitab-kitab kamus, serta wajib mencari kata-kata mutiara dalam bahasa
arab, kalam hikmah, syi’ir-syi’ir dan sejenisnya yang tersebar didalam Kitab
Kuning, lalu ditulis didalam buku tulis beserta maknanya. Kemudian kitab dan kalam hikmah hasil
tulisannya tersebut dibaca dihadapan kiai. Selesai sorogan, kiai
membubuhkan tanda tangannya pada batas akhir dari teks kitab yang dibaca dan
batas akhir tulisan didalam buku tulisnya.
d. Santri tingkat keempat ini lebih senior dan
lebih maju lagi dalam penguasaan Kitab Kuning, termasuk didalamnya para
ustadz. Yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat menengah ke atas (tingkat
keempat), baik karya ulama’ salaf maupun ulama kholaf, dengan
target untuk memperdalam pemahaman terhadap isi kandungan kitab dan memperluas
wawasan keilmuan santri, seperti kitab al-Muhadz-dzab, Hikmatut Tasyrik wa
falsafatuha (Jurjawi), al-Insanul Kamil (Sayyid Muhammad al-Maliki),
Muhammad al-Matsalul Kamil (Jadul Maula), Majalah Rabithah al-Alam
al-Islami, Mau’zhotul Mukminin, dll.
Metode/Prosedur
pengajarannya: Santri mempersiapkan materi teks bacaan dan mencari makna
lafzhiyah-nya dari kitab kamus. Santri membaca teks Arab beserta makna lafzhiyah-nya
secara agak cepat. Kiai membutuhkan tanda tangannya pada batas akhir teks yang
dibaca santri. Kitab-kitab ini tidak mesti dibaca santri sampai khatam, namun
terkadang bacaan santri yang baru sampai pada seperempat atau setengah bagian
kitab, kiai sudah menganggapnya cukup, lalu membubuhkan tanda tangan dan
terkadang memberi catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di
halaman terakhir dari kitabnya sebagai pertanda bahwa santri tersebut telah
selesai membaca, atau sudah layak dan mampu menguasai isinya.[9] Untuk selanjutnya, kiai menentukan kitab yang
lain, atau santri sendiri yang mengajukan kitab pilihan yang menjadi minatnya
dan kiai menyetujuinya.[10]
Pada tingkatan ini, terjadi dialog antara kiai dan santri tentang pemahamannya
terhadap teks dan isi kandungan kitab yang dibaca.[11]
e. Santri tingkat kelima, yaitu santri takhassus
: kitab yang dibaca ialah kitab-kitab tingkat tinggi terutama karya ulama’
salaf. Targetnya ialah untuk pengembangan dan pendalaman wawasan keilmuan.
Untuk tingkat ini, para santri bebas menyetorkan bacaan kitab yang dipilih
sendiri sesuai minatnya dan tidak mesti dibaca sampai khatam. Setelah menyelesaikan
beberapa bab atau fasal, kiai biasanya menganggap sudah cukup, lalu membubuhkan
tanda tangan dan catatan semacam “pengesahan” atau “ijazah” di
halaman terakhir kitab. Santri kemudian diminta memilih bacaan kitab yang lain,
sebagaimana yang tertera dalam daftar nama kitab untuk tingkatan kelima. Pada
tingkatan ini, terjadi dialog dan diskusi yang lebih intens antara santri dan
kiai tentang berbagai persoalan yang terkait dengan isi kandungan teks beserta
aplikasinya dalam kehidupan.
[1] Zamakhsyari
Dhofier, op.cit., halm. 28
[2] Ibid.,
halm. 31
“ ….. Penyelenggaraan bermacam-macam kelas bandongan ini
dimungkinkan oleh sustu sistem yang berkembang di pesantren dimana kyai
seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah.
Santri senior yang melakukan praktek mengajar ini mendapat titel ustadz (guru).
Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan kedalam beberapa
kelompok, yaitu yang masih yunior (ustadz muda), dan yang sudah senior, yang
biasanya sudah menjadi anggota kelas musyawarah. Satu-dua ustadz senior yang
sudah matang dengan pengalaman mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh
gelar kyai muda….”
[3] Jumlah para santri
dalam satu majlis yang maju sorogan ke kiai dalam waktu yang hampir bersamaan
ialah antara 5 - 10 orang santri yunior, atau antara 1 – 5 santri senior dan
ustadz yunior.
[4] Kondisi ini
terjadi antara tahun 1980-an sampai wafatnya. Namun kadang-kadang sorogan
diselenggarakan di gedung perpustakaan yang berlokasi di sebelah timur
kediamannya.
[5] Aliy As’ad, Ibid.,
halm. 47
[6] M. Ridlwan
Nasir,op.cit., halm. 138, 187, 210
[7] Tingkatan kitab
yang harus dibaca disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual santri
dan tingkat penguasaannya terhadap materi kitab kuning. Tingkatan kitab-kitab
yang sekaligus menjadi kurikulum pengajaran kitab kuning, baik dengan sistem
weton maupun sorogan, dapat dilihat pada pada paparan sebelumnya (Bab
IV.C.2.b.).
[8] Bentuk catatan semacam “pengesahan”
atau “ijazah” tersebut ditulis dalam bahasa arab yang antara lain
berbunyi:
بحمد اللّه قد
أَتَمَّ ولدي ..... (nama
santri) ِقراءةَ هذا الكتاب في ......
(tgl, bln, thn ) وفَّقهُ اللَّهُ للعلم النافع.
[9] Kitab yang diajukan
santri terkadang ditulis oleh ulama pembaharu/reformis dan tidak tercantum
dalam daftar nama kitab-kitab yang menjadi kurikulum pesantren. Bahkan pada
awal tahun 1980-an, ada salah satu santri (mahasiswa Fak Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, bernama A. Faishol dari Banyuwangi) yang terpengaruh faham
syi’ah imamiyah mengajukan kitab-kitab tulisan ulama’ syi’ah, namun K.H.
Ali Maksum dengan arif bijaksana menyetujuinya, dengan harapan setelah
mengadakan dialog-dialog, santri ini akan berubah pikiran untuk kembali
berfaham sunni seperti semula.
[10] Wawancara dengan
Ustadz Taufiq Ahmad, 04-09-2010. Dia pada tahun 1985-1989 aktif mengikuti sorogan
bersama santri senior dan asatidz lainnya seperti Gus Fuad Habib Dimyati (saat
ini menjadi salah satu pengasuh pesantren Tremas), Gus Shodiq Mubasyir dll.
Kini, ustadz Taufiq merupakan ustadz senior di Pesantren Al-Muanwwir dan
Yayasan Ali Maksum Pondok Krapyak Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar