______________________
Oleh Achmad Suchaimi
Pondok
Pesantren Al-Munawwir secara geografis
terletak di dusun Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten
Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dusun
Krapyak Kulon dikelilingi oleh dusun-dusun sebagai berikut: sebelah utara
adalah Kalurahan Jogokaryan Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. sebelah
timur dan selatan adalah dusun Krapyak Wetan, dusun Sorowajan dan dusun Glugo
Janganan, keduanya terletak di desa Panggungharjo, Sewon, kabupaten Bantul;
sedangkan sebelah barat adalah dusun Dongkelan, desa Tirtonirmolo, kecamatam
Kasihan, kabupaten Bantul.
Jarak
tempuh dusun Krapyak Kulon dengan kantor Desa Panggungharjo 1,5 km, dengan
kantor kecamatan 3,5 km, dengan kota kabupaten Bantul 8 km, dan dengan pusat
kota Yogyakarta (Kraton) adalah 3 km.
Biografi Pendiri Pesantren, KH M. Munawwir
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta didirikan oleh K.H. Muhammad Munawwir pada tanggal 15
Nopember 1910 M dengan memfokuskan pendidikan-penajarannya pada penghafalan
Al-Qur’an. Pada awalnya, pesantren ini terkenal dengan sebutan Pondok
Pesantren Krapyak Yogyakarta, disebabkan terletak di dusun Krapyak
Yogyakarta, kemudian pada tahun 1976 diberi tambahan Al-Munawwir untuk
mengenang nama pendirinya.
K.H.M.
Munawwir lahir di kampung Kauman Yogyakarta, sebelah barat Masjid Agung Kraton
Yogyakarta sekitar tahun 1870-an pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono
VII. Beliau merupakan putra kedua dari pasangan K.H. Abdullah Rosyad bin K.H.
Hasan Bashori atau Kiyai Kasan Besari[1]
(Dongkelan Yogyakarta) dengan Ibu Khodijah (Bantul Yogyakarta).
KH M. Cholil Bangkalan |
Sejak
kecil, K.H.M. Munawwir mendapatkan pendidikan keislaman dari orang tuanya dan
menunjukkan bakatnya dalam menghafal Al-Qur’an. Mengetahui hal itu, K.H.
Abdullah Rosyad tidak bosan-bosannya terus mendorong putranya untuk menekuni
bakatnya, antara lain dengan memberinya
hadian Rp. 2,50 jika mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam waktu seminggu.
Bahkan tanpa hadiah pun, beliau terbiasa mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali
tanpa rasa bosan. Kehandalannya dalam
menekuni Al Qur’an ini terlihat ketika mondok di Bangkalan Madura di bawah
asuhan K.H.M. Kholil. K.H.M. Kholil sendiri mengakui kehandalan M. Munawwir
kecil yang baru berusia 10 tahun dalam membaca Al-Qur’an. Dia sudah dipercaya
menjadi imam shalat dengan dimakmumi oleh K.H. Kholil dan para santrinya.
Semasa kecil sampai remaja, K.H.M. Munawwir tidak hanya menekuni ilmu Qiro’ah
dan hafalan Al-Qur’an, akan tetapi juga belajar dan berguru ilmu-ilmu keislaman
lainnya kepada beberapa kiai terkemuka saat itu. Diantaranya berguru kepada:
1) K.H. Abdullah
(Kanggotan Bantul),
2) K.H.M. Kholil
(Bangkalan Madura),
3) K.H. Sholeh (Ndarat, Semarang), dan
4) K.H. Abdur Rahman
(Watucongol, Muntilan Magelang).[2]
Pada
tahun 1888 K.H.M. Munawwir meneruskan belajar di tanah suci Makkah al
Mukarramah dan Madinah al Munawwarah selama 21 tahun. Selama
16 tahun beliau habiskan di kota Makkah
untuk mengkhususkan belajar di bidang ilmu Al Qur’an dan cabang-cabangnya, baik
tahfidz, tafsir, maupun Qiro’ah Sab’ah. Diantara para guru beliau
adalah :
1) Syaikh Abdullah
Sanqoro,
2) Syaikh Syarbini,
3) Syaikh Mukri,
4) Syaikh Ibrahim
Huzaimi,
5) Syaikh
Mansyur,
6) Syaikh Abdus
Syakur,
7) Syaikh Musthofa,
dan
8) Syaikh Yusuf Hajar
(guru spesialis ilmu qiro’ah sab’ah).
Selanjutnya
beliau pergi ke kota Madinah. Di kota ini beliau tinggal selama 5 tahun dan
belajar ilmu-ilmu syariat, seperti tauhid, fiqih, hadits, ilmu bahasa arab
beserta cabang-cabangnya dan ilmu-ilmu lainnya. Sepulangnya dari tanah haram,
K.H.M. Munawwir menjadi seorang kiai.[3]
Dalam
tradisi pesantren, keabsahan dan kemasyhuran seorang kiai tidak hanya
dikarenakan kepribadian yang dimilikinya. Ia menjadi kiai dikarenakan ada yang
mengajarnya. Dengan begitu, ia pada dasarnya mewakili watak pesantren dan
kiainya dimana ia belajar. Keabsahan
ilmunya dan jaminan ia sebagai murid dari seorang kiai terkenal dapat ia
buktikan melalui “sanad” atau mata rantai transmisi keilmuan.[4]
Silsilah / Sanad Keilmuan KH M. Munawwir
Demikian pula K.H.M. Munawwir yang terkenal
di Jawa sebagai seorang kiai yang paling kompeten di bidang ilmu Al-Qur’an di
abad ke-20 ini memiliki sanad mutawatir di bidang ilmu qiro’ah
versi Imam ‘Ashim menurut riwayat Imam Hafsh, yang beliau peroleh (secara urut
ke bawah) :
Dari Syaikh Abd. Karim bin H. Umar Al Badri
Ad Dimyathi;
dari Syaikh Ismail;
dari Syaikh Ahmad Ar Rosyidi,
dari Syaikh Musthofa bin Abdur Rahman Al
Azmiri,
dari Syaikh Hijaziy dari Syaikh Aly bin
Sulaiman Al-Masyhury,
dari Syaikh Sultan Al Muzany,
dari Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al
Fadholy,
dari Syaikh Tahazah Al Yamani,
dari Syaikh Namiruddin Ath-toblawiy,
dari Syaikh Zakariyah Al Anshory,
dari Syaikh Ahmad As Suyuthy,
dari Syaikh Muhammad Ibnu Jazariy,
dari al Imam Abi Abdullah Muhammad bin
Kholiq al Mushriy Asy Syafi’iy,
dari Al Imam Abil Hasan Ali Asy Syuja bin
Salam bin Ali bin Musa Al Abbasi Al Mishriy,
dari Al Imam Abi Qosim Asy Syatibi,
dari Al Imam Abil Hasan bin Huzail,
dari Al Hafidz Abi ‘Amr Ad Daniy,
dari Abil Hasan Thohir,
dari Syaikh Abil Abbas Al Asynaniy,
dari ‘Ubaid Ibnu Shobbagh,
dari Al Imam Hafsh
dari Al-Imam ‘Ashim,
dari Abdur Rahman As-Salma,
dari : 1) Utsman bin Affan,
2) ‘Ubay bin Ka’ab,
3) Zaid bin Tsabit, dan
4) Ali bin Abi Thalib.
Keempat sahabat tersebut mengambil bacaan
langsung dari Rasulullah SAW,
dari Allah SWT, melalui perantaraan malaikat
Jibril A.S.[5]
Kemasyhuran
K.H.M. Munawwir sebagai ulama ahli Al-Qur’an tidak lepas dari cita-cita K.H.
Hasan Bashori, kakeknya yang pernah menjadi ajudan Pangeran Diponegoro, dan
K.H. Abdullah Rosyad, ayahnya sendiri. Kakek dan ayahnya tersebut memang pernah
bercita-cita untuk menguasai ilmu Al-Qur’an dan menjadi huffazh
(penghafal Al-Qur’an), namun tidak kesampaian, sehingga mereka berharap agar
salah satu dari keturunannya ada yang menjadi seorang ahli Al-Qur’an. Harapan
mereka akhirnya terkabul dengan munculnya K.H.M. Munawwir.[6]
Pada
awal tahun 1909 M, K.H.M. Munawwir
kembali dari tanah haram langsung menetap di rumah ayahnya (K.H.
Abdullah Rosyad) di Kauman GM (Gondomanan) IV/276 Yogyakarta, dan langsung
beliau menyelenggarakan pengajian Al-Qur’an di sebuah langgar kecil miliknya.[7] Yang cukup menarik, langgar tempat mengajar
K.H.M. Munawwir ini hanya beberapa meter dari rumah kediaman K.H. Ahmad Dahlan
yang juga digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan klasikal (madrasah).
Bedanya, K.H.M. Munawwir menggunakan sistem pesantren, sedangkan K.H. Ahmad
Dahlan dengan sistem madrasi (klasikal). Selang dua tahun setelah K.H.M.
Munawwir pindah ke Krapyak, pada tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah. Dan di kemudian hari, kedua tokoh tersebut
merupakan perintis di bidangnya masing-masing. K.H.M. Munawwir sebagai perintis
berdirinya pesantren-pesantren di Yogyakarta, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan menjadi
perintis berdirinya madrasah/sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Dalam
waktu singkat, kurang dari satu tahun mengajar, usaha beliau mendapat sambutan
yang luar biasa dari kaum muslimin dan pengajian Al-Qur’annya semakin
berkembang dengan pesat, sehingga ruangan langgar yang ada tidak mampu
menampung para santri. Saat itu, datanglah K.H. Sa’id, seorang ulama terkenal
dan pengasuh pesantren besar di Gedongan Cirebon, memberi saran kepada K.H.M.
Munawwir agar mencari tempat diluar kampung Kauman, diluar wilayah benteng
Kraton, untuk pendirian pesantren dan pengembangan pendidikan Al-Qur’annya,
mengingat :
a. Kondisi perkampungan Kauman sempit, penuh
sesak dengan perumahan dan penghuninya, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan sebuah
pondok pesantren.
b. Letak geografis dan lingkungan masyarakat di
Kauman sendiri menurut perhitungannya kurang tepat didirikan sebuah pondok
pesantren dan kurang mendukung para santri yang ingin menekuni penghafalan
Al-Qur’an.
Setelah
mempertimbangkan dengan cermat dan berniat sungguh-sungguh, saran itu beliau
terima dengan baik. Di samping itu, ditambah dengan alasan untuk menghindarkan
diri dari kewajiban “sebo” atau sowan kehadapan Raja di Kraton, apalagi
saat itu beliau diangkat sebagai salah seorang “abdi dalem pamethakan”
yang beranggotakan empat puluh (40) ulama/kiai Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat
yang mempunyai tugas spiritual menjaga keamanan Kraton. Akhirnya K.H.M. Munawwir menemukan sebuah
tempat yang dinilai strategis untuk berdirinya sebuah pesantren, yakni sebidang
tanah yang ditumbuhi semak-semak dan pepohohan lebat di dusun Krapyak, milik
bapak Jopanggung, yang dibelinya dari uang amal H. Ali (Graksan-Cirebon).[8]
Pada
akhir tahun 1909 M, dilaksanakanlah pembangunan pesantren tahap awal yang
meliputi : pembangunan rumah kiai dan langgar yang bersambung dengan kamar
santri, serta sebagian komplek pesantren. Pada tanggal 15 Nopember 1910 M
pesantren ini mulai ditempati para santri yang belajar Al Qur’an dan beliau
sendiri sebagai pengasuhnya. Namun sebelum benar-benar pindah ke Krapyak,
beliau bertempat tinggal untuk sementara di kampung Gading dalam rangka
membantu kakak beliau, K.H. Mudzakkir,[9] dalam mengajar pengajian Al Qur’an dan Ilmu
Syariah.
Kondisi Masjid Krapyak tahun 1990-an |
Setelah dibangunnya
rumah, langgar dan kamar santri, K.H.M. Munawwir terus berusaha menyelesaikan
pembangunan masjid tahap kedua, setelah tahap pertama yang diprakarsai oleh
K.H. Abdul Jalil.[10] Pada tahun 1927 M pembangunan masjid
tersebut telah selesai. Selain membangun sarana untuk ibadah (masjid dan
langgar), juga membangun sarana untuk
tempat tinggal santri, yaitu bangunan komplek A, B, C, dan D.[11]
Dengan
demikian, sejak awal berdirinya (1910 M), pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak
sudah memenuhi syarat sebagai lembaga pendidikan Islam yang disebut “Pondok
Pesantren”, karena yang disebut pondok pesantren --menurut rumusan Zamakhsyari Dhofir-- paling
tidak memiliki 5 (lima) elemen pokok, yaitu ada kiai, ada santri, ada
pondok/asrama, ada masjid/langgar, dan ada pengajian kitab, yang dalam hal ini
adalah pengajian ilmu Al-Qur’an.
Pendidikan dan Pengajaran Di Masa KH
M. Munawwir
Pendidikan dan
pengajaran pada masa K.H. M. Munawwir lebih ditekankan pada bidang Al Qur’an.
Hal ini sesuai dengan keahlian beliau yang sangat mumpuni di bidang ini. Selain
itu, pengajaran kitab kuning juga diselenggarakan, tetapi sekedar sebagai
pelengkap pengajaran Al-Qur’an. Pengajian Al Qur’an diselenggarakan mulai pukul
07.30 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Khusus pada bulan Ramadlan, pengajian ini
dilakukan dua kali dalam sehari semalam, yaitu siang dimulai sesudah shalat
Dhuhur sampai Ashar dan malam dimulai sesudah shalat Tarawih sampai selesai.
Materi pengajaran Al Qur’an pada masa ini ditentukan langsung oleh K.H.M.
Munawwir. Proses belajar mengajarnya menggunakan sistim sorogan,
dengan dua program pengajaran, yaitu
a. Program “Bin Nazhor”, yaitu santri
belajar dan mengaji Al Qur’an dengan cara membaca mushaf .
b. Program “Bil Ghaib”, yaitu santri
belajar dan mengaji Al-Qur’an dengan cara menghafal (mushaf).
Metode yang
digunakan K.H.M. Munawwir dalam pengajarannya adalah metode Musyafahah,
dimana guru-murid berhadap-hadapan dan saling menyaksikan secara langsung.
Dalam hal ini, santri membaca Al Qur’an satu persatu di hadapan kiai. Jika
terjadi kesalahan membaca, kiai dapat langsung membenarkan bacaan santri, dan
santri pun langsung menirukan bacaan yang dibenarkan kiai tersebut. Atau kiai
menyuruh santri agar bertanya di luar majlis kepada santri senior yang
sebelumnya ditunjuk dan diberi tugas oleh kiai untuk membenarkan kesalahan
bacaan santri yunior dan membimbing bacaannya sebelum disetorkan kepada kiai.
Salah satu santri senior yang ditunjuk K.H.M. Munawwir adalah Abdul Qodir
Munawwir, putranya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar santri lebih cepat dan
lancar didalam belajar membaca Al Qur’an.[12]
K.H.M. Munawwir sangat
mementingkan kefasihan dalam membaca. Untuk mencapai kefasihan
tersebut, beliau menerapkan beberapa prosedur atau aturan, :
a. Setiap kali menghadap untuk “setor”
(menyodorkan) bacaan ke kiai, paling banyak dilakukan oleh dua orang santri dari program bin nazhar,
ditambah seorang santri dari program bil ghaib.
b. Sebelum mengaji surat Al-Baqarah, santri
harus sudah hafal surat al Fatihah, tahiyat akhir dan juz Amma.
c. Apabila hendak mengikuti kelas Bil Ghaib
(menghafal), santri harus mengikuti program Bin Nadzar terlebih dahulu,
paling tidak sampai menguasai 5 juz dari depan.
Metode yang dipakai
K.H.M. Munawwir untuk “Kefasihan” ialah dengan cara mengulang-ulang materi
bacaan ayat beberapa kali, bahkan ada yang sampai 70 kali. Setelah selesai
“setor”, kiai memberi tambahan materi bacaan / hafalan kepada santri rata-rata
lima ayat. Cara K.H.M. Munawwir dalam mengajar dan mengingatkan santri yang
salah bacaannya cukup bervariasi. Sesekali beliau memberi teguran kepada santri
yang salah bacaan tersebut, namun lebih banyak mendiamkannya. Oleh karena
pengajaran Al Qur’an berlangsung antara jam 07.30 sampai 13.00 WIB, selama
rentang waktu tersebut, kadang-kadang beliau melakukan pengajaran Al-Qur’an
sambil tiduran, bahkan kadang-kadang sampai tertidur beneran. Namun jika ada
santri yang salah bacaannya, beliau langsung bangun dan menegurnya.[13]
Tata
Tertib Majlis Pengajaran :
1). Sebelum pengajian dimulai, santri harus sudah
hadir di majlis terlebih dahulu dan tidak diperkenankan meninggalkannya sebelum
majlis berakhir.
2). Urutan mengaji (Al-Qur’an) sesuai dengan
urutan antri masing-masing.
3). Pengajian ditutup dengan bacaan takbir
oleh santri program bin nadzar dan dengan berjabat tangan bagi
santri program bil ghaib.
4). Apabila ada santri yang telah khatam
dalam mengaji Al-Qur’an, kiai langsung memanjatkan do’a dalam majlis tersebut.
5). Khusus santri baru, ia baru dapat mengikuti pengajian setelah
satu minggu bermukim di pesantren.
6). Untuk
menghilangkan rasa jenuh, kiai mengizinkan segenap santri untuk mengadakan silaturrahim
dan rihlah (refressing) ke luar pesantren. Biasanya hal ini dilaksanakan
setengah bulan sekali.
Ijazah
dan Sanad. Ijazah merupakan lembaran naskah (buku) yang diberikan kepada para
santri yang sudah khatam pengajian Al-Qur’an dengan hasil baik, yang isinya
antara lain :
1). Ijazah
2). Do’a Khotmul
Qur’an
3). Beberapa bait Syair
Selain itu, bagi santri
yang sudah hafal Al-Qur’an bil ghaib dan Qira’ah Sab’ah, kiai
memberinya sanad (mata rantai transmisi ilmu) Al-Qur’an yang mutawatir.[14]
Pengajian
Kitab Kuning. Selain pengajian pokok (pengajian Al Qur’an), pada masa KH.M.
Munawwir ini juga diselenggarakan pengajian kitab kuning sebagai materi
penyempurna, akan tetapi waktunya tidak setiap hari. Diantara kitab-kitab yang
pernah dikaji meliputi kitab fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain. Adapun sistim
pengajaran yang digunakannya adalah “sistim weton” atau “halaqah”,
dimana seorang kiai atau ustadz membacakan dan memaknai setiap lafazh
dalam kitab kuning, kemudian santri ngesahi atau membuat catatan makna
gandul dan keterangan seperlunya didalam kitabnya. Sementara itu sistim Sorogan
belum diterapkan dalam pengajaran kitab kuning, tetapi hanya diterapkan
untuk pengajaran Al-Qur’an. Adapun para ustadz yang ditunjuk kiai untuk
mengajarkan kitab kuning ini adalah para santri senior yang sebelumnya
pernah mondok di pesantren lain seperti pesantren Tremas, Lirboyo, Tebuireng,
Purworejo, dan lain-lain. Pengajian-pengajian kitab tersebut diantaranya :
a.
Pada tahun 1910 M ada seorang santri
dari Purworejo yang dipandang cukup mumpuni dalam kitab kuning, lalu
diperintahkan untuk mengajarkannya kepada para santri seminggu sekali, setiap
hari Jum’at. “Ajarkanlah ilmu fiqih kepada santri-santri di hari Jum’at,
biarlah mereka mengerti air”, kata KHM Munawwir kepada santri tersebut.
b. Demikian pula pada sekitar tahun 1930 M
pernah diselenggarakan pengajian kitab Fat-hul Mu’in yang disampaikan
oleh Ustd. Masyhuri, salah seorang santri dari Purworejo.
c. Abdul Hamid Hasbullah (adik K.H. Wahab
Hasbullah Jombang) pernah mondok untuk memperdalam hafalan Al-Qur’an di
Krapyak, lalu diperintah mengajarkan kitab Tafsir Jalalain di dalam
masjid.
d. Materi tambahan (pengajian kitab-kitab) ini
tampak menonjol pada waktu disampaikan oleh K.H.M. Arwani Amin Kudus pada tahun
1935.
e. Menjelang wafat, K.H.M. Munawwir memerintahkan Masyhuri,
seorang santri yang pernah mondok di Jombang, untuk mengajarkan kitab-kitab
kuning.
KH M. Arwani Kudus |
Pengajian yang diselenggarakan di pesantren ini, baik Al Qur’an
maupun kitab kuning terus berjalan lancar tanpa hambatan hingga KH.M. Munawwir
wafat.[15]
Kondisi Santri dan Aktivitasnya Pada masa KH
M. Munawwir
Gambaran kehidupan para
santri pada periode K.H.M. Munawwir tidak berbeda jauh dengan masa sekarang.
Untuk memenuhi kebutuhan keseharian, mereka melakukannya sendiri seperti
mencuci pakaian, masak sendiri dan sering tidur di serambi masjid, bangun malam
hari untuk salat Tahajjud. Mereka menghormati dan mentaati semua perintah kiai
bukan karena merasa takut, tetapi karena haibah, wibawa atau karisma kiai.
Keadaan santri dari
tahun ke tahun pada masa ini menunjukkan angka yang cenderung bertambah. Antara
tahun 1910 sampai 1920-an, jumlah santri rata-rata kurang lebih 60 orang setiap
tahunnya. Antara tahun 1921 sampai 1923, jumlah santri rata-rata kurang lebih
100 sampai 150 orang per tahunnya. Demikian seterusnya sampai beliau wafat
jumlah santri mencapai 200 orang yang berasal dari daerah-daerah di pulau Jawa,
Pulau Bawean, dan daerah-daerah lainnya, bahkan ada yang dari negeri tetangga,
Singapura.[16]
Untuk mengatur dan
menertibkan para santri, sesuai dengan amanat yang diberikan pengasuh pada masa
ini, dibuat tata tertib (Qanun). Diantaranya :
1). Segenap santri diwajibkan :
a. Mengikuti pengajian Al Qur’an dan shalat
berjamaah bersama dengan kiai
b. Ziarah ke maqbaroh di Dongkelan,
setiap hari Kamis sore
c. Segenap santri dianjurkan memakai kopyah,
khususnya yang berwarna putih.
2).
Segenap santri dilarang :
a. Nonton film
b. Berbelanja di luar pondok, kecuali ketika
sedang bepergian
c. Bermain sepak bola
d. Bertamasya, selain pada waktu-waktu tertentu,
yaitu sekali dalam waktu setengah bulan
e. Keluar di malam hari
f. Memegang Al Qur’an dalam keadaan hadats.
3). Ta’ziran-ta’ziran
(hukuman) :
a. Dipukul dengan rotan pada telapak kakinya
b. Dimasukkan kedalam kolam air
c. Diharuskan membaca solawat Nariyah
dalam waktu yang sama
d. Dipukul pada lutut dan pusarnya, jika bagian
badan tersebut kelihatan
e. Dikenakan denda uang sebesar Rp. 0.05 s/d Rp.
0.25 dan dimasukkan ke dalam kotak tabungan masjid yang selalu tersedia di
serambinya.
f. Diakhirkan giliran mengajinya
g.
Dikeluarkan dari pondok.[17]
|
Sedang aktivitas/kegiatan para santri Pesantren Krapyak tidak
berbeda jauh dengan pesantren-pesantren lain, khususnya dalam hal padatnya
kegiatan. Selain kegiatan yang diadakan secara rutin, terdapat pula
kegiatan-kegiatan yang sifatnya berkala. Kagiatan-kagiatan harian/rutinitas
bagi santri adalah mengikuti pengajian setiap hari, baik Al-Qur’an maupun kitab
kuning dan atau belajar sendiri-sendiri, shalat dan lain-lain. Sedangkan
kegiatan lainnya antara lain : a) berziarah kubur setiap hari kamis sore; b) “Nyadran”
(ziarah kubur) pada pertengahan bulan Sya’ban di maqbarah / makam
Dongkelan; dan acara “Haflah Khotmil Qur’an” sebagai rasa syukur bagi
para santri yang berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an, baik bin nazhar
maupun bil ghaib, yang diadakan setiap bulan Muharram dan Sya’ban.
Wafatnya K.H.M. Munawwir
K.H.M.
Munawwir wafat pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1360 H / 6 Juli
1942 M setelah 16 hari menderita sakit. Jenazahnya dimakamkan di maqbarah
(pekuburan) dusun Dongkelan, desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, kabupaten
Bantul, dengan meninggalkan empat orang isteri yang beliau nikahi setelah
wafatnya isteri pertama, Ny. R. Mursyidah, dan puluhan putra-putri yang
sebagian besar masih anak-anak dan remaja.
Selama
kurang lebih 33 tahun berjuang di bidang pendidikan pesantren, K.H.M. Munawwir
mampu menghasilkan ratusan bahkan ribuan kader penghafal (huffazh) yang
sangat diandalkan keahliannya di bidang penghafalan Al-Qur’an, dan puluhan
diantaranya menjadi pemimpin dan tokoh penting di tengah masyarakatnya, serta
menjadi pendiri dan pengasuh pesantren-pesantren yang bernuansa Al-Qur’an,
khususnya yang ada di Jawa dan Madura.[18]
Diantara
wasiat beliau, bahwa agar para putra dan menantunya bertanggung jawab atas
kelangsungan Pesantren yang beliau tinggalkan. Wasiat ini terutama ditujukan
kepada dua orang putra (yang sudah dewasa), yaitu K.H.R. Abdullah Afandi dan
K.H.R. Abdul Qodir, serta empat orang menantu, yaitu K.H. Ali Maksum (suami Ny.
Hasyimah) dari Lasem, Kiai Abdurrahim (suami Ny. Badriyah) dari Purworejo, Kiai
Syatibi (suami Ny. Aikah) dari Kutoarjo, dan Kiai Syaifuddin. Karena adanya
beberapa udzur dari keempat menantunya tersebut, maka hanya K.H. Ali Maksum
yang bersedia mendampingi kedua putranya untuk melanjutkan kepemimpinan
pesantren, dan inipun melalui proses yang cukup alot.[19]
Kondisi Pesantren Pasca K.H.M. Munawwir
Penjajahan Jepang di Indonesia selama 3 ½
(tiga setengah) tahun ternyata mampu merusak sendi-sendi kehidupan bangsa
Indonesia yang mayoritas muslim. Salah satu kerusakan yang ditimbulkannya
adalah sepinya kehidupan pesantren di seluruh tanah air. Sebagian besar pondok
pesantren nyaris gulung tikar, menghentikan aktifitas kepesantrenan dikarenakan
ditinggal pulang oleh para santrinya, di samping ditinggal pergi oleh para
ustadz dan kiainya untuk berjuang membela tanah air. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi
penyebab sepinya pondok-pondok pesantren di mana-mana : Pertama, karena
Jepang sering menggunakan kekejaman kepada siapa saja yang dicurigai, sehingga
suasana ini terasa tidak nyaman dan tidak memungkinkan bagi orang-orang untuk
memperdalam ilmu di pesantren. Kedua, kaum muslimin terpanggil untuk
menyiapkan diri berjuang merebut kemerdekaan. Mereka banyak yang masuk kedalam
barisan Tentara Pelajar, PETA (Pembela Tanah Air), Hizbullah, Sabilillah,
dan sejenisnya. Ketiga, Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat
parah, disebabkan politik tanam paksa Jepang (terutama menanam pohon jarak),
yang hasilnya digunakan untuk keperluan Jepang sendiri, yakni untuk membiayai
Perang Dunia II melawan sekutu.[20]
Pondok
Pesantren Al-Hidayah yang diasuh K.H. Maksum di Soditan Lasem termasuk yang
menjadi korban penjajahan Jepang.
Santrinya yang semula berjumlah ratusan orang tiba-tiba semakin surut
dan habis. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh K.H. Maksum, tetapi hasilnya
nihil. Hal inilah yang membuat K.H. Ali Maksum, sebagai putra tertua yang baru
saja pulang dari belajarnya di Makkah, terpanggil untuk melakukan pembenahan
dan pembaharuan di bidang pengajaran, sehingga dapat menarik 200 santri untuk kembali belajar di
pesantren Al-Hidayah. Sukses inilah yang membuat K.H. Ali Maksum semakin
mencintai pesantrennya. “Ibarat tanaman, saya semakin ngoyot di Lasem”,
komentar K.H. Ali Maksum kepada A. Zuhdi Mukhdlor yang mewawancarainya.[21]
Demikian pula kondisi
P.P. Al-Munawwir setelah wafatnya K.H.M. Munawwir, belum genap 100 hari, semakin hari jumlah
santrinya semakin berkurang, satu persatu diantara
mereka kemudian “boyongan” pulang ke kampungnya masing-masing dan tidak
kembali lagi. Selain disebabkan oleh faktor wafatnya sang kiai, juga sebagai
akibat langsung dari penjajahan Jepang, bahkan lebih parah bila dibanding
dengan yang dialami P.P. Al-Hidayah Lasem, karena P.P. Al-Munawwir saat itu langsung diambil
alih kepemimpinannya oleh K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir dan
sudah berjalan selama dua tahun ditinggal para santrinya, tinggal beberapa
gelintir santri yang masih aktif mengikuti pembelajaran Al-Qur’an.[22]
Setelah
mendengar keberhasilan K.H. Ali Maksum dalam membangkitkan kembali P.P.
Al-Hidayah Lasem, keluarga Bani Munawwir mengadakan rapat yang
keputusannya antara lain : 1) mempercayakan kepemimpinan pesantren kepada para
putra kandung dan menantunya, sesuai wasiat K.H.M. Munawwir; 2) mengirim utusan ke Lasem, agar K.H.
Maksum berkenan melepaskan K.H. Ali Maksum untuk diboyong ke Krapyak untuk
membantu K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir dalam rangka mengatasi
kemunduran pesantren. Salah seorang pengurus pesantren yang bernama Dasuki
ditunjuk sebagai delegasi resmi dari Krapyak untuk menemui K.H. Ali Maksum,
namun secara tegas ditolaknya. Selang beberapa waktu berikutnya, datang lagi
rombongan delegasi yang terdiri dari Ny. Hj. Sukis (isteri K.H. Munawwir,
mertua K.H. Ali) dengan didampingi oleh K.H.R. Abdullah Afandi (putra K.H.M.
Munawwir) dan K.H. Abdurrahman (adik K.H.M. Munawwir) untuk menemui K.H. Ali
Maksum dan ayahnya di Lasem. Kali ini K.H. Ali Maksum bersedia dan K.H. Maksum
(ayahnya) pun rela melepaskan putranya untuk diboyong ke Krapyak disertai
pesan: “Monggo mawon Ali sampean beto, namung piyambake ampun diuthik-uthik”
[Bhs Indonesia : Silahkan Anda membawa Ali, tetapi dia jangan diganggu].[23]
Berpindahnya
K.H. Ali Maksum ke Krapyak pada tahun 1943 membawa suasana baru dalam
pembaharuan dan pengembangan sistem pendidikan dan pengajaran di Pesantren
Al-Munawwir yang dahulunya difokuskan pada pengajaran Ulumul Qur’an,
kemudian menjadi suatu pesantren yang secara seimbang menerapkan sistem
pesantren dan madrasi (klasikal). Sejak saat itu, Pondok Pesantren Al-Munawwir
dipimpin oleh 3 (tiga) serangkai kiai:
a. K.H.R. Abdullah Affandi (putra), dengan tugas
sebagai pimpinan umum yang menangani sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia
luar pesantren
b. K.H.R. Abdul Qadir (putra), dengan tugas
sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
c. K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung
jawab urusan pengajaran kitab-kitab kuning.
Sepeninggal K.H. Ali Maksum pada tahun 1989, kepemimpinan pesantren secara urut dilanjutkan oleh :
a. K.H. Zainal Abidin Munawwir (1989 - 2014)
b. K.H.R. M. Najib Abdul Qadir (2014 - sekarang)
[1] K.H. Hasan Bashori atau Kiai Kasan Besari
(bukan Kiai Kasan Besar pimpinan Pondok Tegalsari Ponorogo) merupakan ajudan
Pangeran Diponegoro. Beliau diangkat menjadi komandan perang untuk merebut
daerah Kedu dari tangan Belanda, berdasarkan surat perintah dari Pangeran Diponegoro yang
berbunyi :
“Surat ini datang dari saja Kandjeng Gusti Pangeran
Diponegoro serta Pengeran Mangkoe Boemi di Djogyakarta Adiningrat kepada semoea
teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang
semoenya mesti tahoe akan hal ini, laki-laki perempuan, besar ketjil, tidak
perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapoen orang jang saja soroeh namanja Kasan
Basari. Djikaloe soedah mengikoeti soerat oendangan saja ini biarlah lekas
sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama Rosoel (SAW tim).
Djikalaoe ada jang berani tiada maoe pertjaya akan boenjinja soerat saja maka
dia saja potong leher. Kamis tanggal 5 boelan Hadji/31 Djoeli 1825.”
Beliau pernah ditahan Belanda, lalu dibuang ke Menado dan
menetap di sana
hingga wafat, kemudian dimakamkan dekat makam P. Diponegoro di Menado.
[2] Djunaidi A. Syakur, dkk., Sejarah dan
Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta :
Pengurus Pusat PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta,
2001, cet.2. halm. 8;
[3] Ibid.
[4] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982,
cet.1. halm. 79.
[5] Aly As’ad, dkk.,
K.H.M. Moenauwir , Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta, 1975, halm. 6; Djunaidi, ibid., halm. 9
[6] Ibid,
halm.23; Djunaidi A. Syakur, dkk., Ibid.,.
halm. 10 ; A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali
Makshum: Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Yogyakarta
: Multi Karya Grafika, 1989, cet.1. halm. 22
[7]) Ibid., halm. 23.
Langgar kecil milik beliau
ini sekarang menjadi Gedung Nasyiyatul ‘Aisyiyah Yogyakarta.
[8] Ibid. halm. 21; Djunaidi dkk, ibid.
halm. 10-12; dan A.Zuhdi Mukhdlor, ibid. halm.23
[9] K.H. Mudzakkir adalah ayah kandung Prof. DR.
Kahar Mudzakkir, tokoh Muhammadiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia
Sembilan BPUPKI bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, K.H.A. Wachid
Hasyim, dan lain sebagainya. (H.M. Bibit
Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta
: Gelegar Media Indonesia, 2009, cet. 1, halm. 242).
[10] Pada pembangunan
tahap pertama tersebut terdapat suatu kisah: K.H. Abd. Jalil dalam memilih
tempat untuk membangun masjid adalah dengan menggariskan tongkat sebagai batas
luas bangunannya. Biqodloillah bekas garis itu tidak ditumbuhi rumput.
Pada tempat tersebut beliau mulai meletakkan batu pertama, memasang fondasi dan
terhenti baru sampai pembangunan dinding setinggi ± 1 meter.
[11] Djunaidi A.
Syakur, dkk. Ibid. halm. 12
[12] Suatu kisah K.H.
Yusuf Karang Ampel Indramayu di waktu mengaji surat An Nas kepada beliau dan
selama satu bulan baru dinaikkan. Hal ini karena K.H. Yusuf mengabaikan
perintah beliau untuk bertanya minta petunjuk kepada temannya yang lebih
pandai, di luar majlis pengajian beliau.. (Ali As’ad, ibid., halm. 28.)
[13] Djunaidi dkk, ibid.,
halm. 14
[14] Djunaidi dkk., ibid.
halm. 15
[15] Ali As’ad, ibid.,
halm. 27. ; Djunaidi dkk., ibid., halm. 15-16
[16] Ali As’ad. Ibid.
[17] Aly As’ad, Ibid.
halm. 25: dan Djunaidi dkk., Ibid., halm. 17-18
[18] Aly As’ad dkk,
ibid. halm. 33-34, dan Djunaidi, dkk., ibid., halm.24-26.
Diantara para alumninya
adalah 1) K.H. Arwani Amin, pendiri
pesantren Al-Qur’an di Kudus; 2) K.H.
Badawi, pengasuh pesantren di Kaliwungu Kendal;
3) K.H. Zuhdi, pendiri pesantren Tahfizhil Qur’an di Kertosono; 4) K.H. Umar, pendiri pesantren Al-Muayyad
Mangkuyu Solo; 5) K.H. Muntaha, pendiri
dan pengasuh pesatren Al-Qur’an di Kalibeber Wonosobo; 6) K.H. Umar, pengasuh pesantren di Kempek Cirebon; 7) K.H. Nor/Munawwir, pendiri pesantren di
tegalarum, Kertosono; 8) K.H. Murtadlo,
pengasuh pesantren di Buntet Cirebon;
9) K.H. Ma’shum, pengasuh pesantren di Gedongan, Cirebon: 10) K.H. Abu Amar, pengasuh pesantren di
Kroya: 11) K.H. Suhaimi dan KH
Aminuddin, pendiri dan pengasuh pesantren Huffazh Tanrinus Shibyan di Benda
Bumiayu; 12) K.H. Syatibi, pengasuh
pesantren Al-Qur’an di Kyangkong, Kutoarjo;
13) K.H. Ansor , pengasuh
pesantren di Pepedan, Bumiayu; 14) K.H.
Hasbullah, pendiri pesantren Al-Qur’an di Wonokromo, Bantul Yogjakarta; 15) K.H. Muhyiddin, pendiri pesantren di
Jejeran Bantul Yogyakarta; 16) K.H.
Aminuddin, pendiri pesantren huffazh di Kroya;
17) K.H. Hasan Tholabi, pendiri pesantren huffazh di kota Kulon
Progo; 18) KH Basyir, ayah KH A. Azhar
Basyir (mantan Ketua Umum Muhammadiyah), ahli ulumul Qur’an di Kauman
Yogyakarta. Dan masih banyak lagi.yang lain.
[19] Aly As’ad, dkk., Ibid.,
halm. 41-42.
[20] A. Zuhdi
Mukhdlor, ibid., halm. 18-19
[21] Ibid. halm. 20 (Hasil wawancara A.
Zuhdi Muhdlor dengan K.H. Ali Maksum pada 1 Oktober 1989, menjelang wafatnya)
[22] Ibid.,
halm. 20; dan Djunaidi dkk, Ibid,
halm. 30-31.
[23] A. Zuhdi Mukhdlor,
dkk. Ibid. halm. 21 (Hasil wawancara A. Zuhdi Muhdlor dengan K.H. Ali
Maksum pada 1 Oktober 1989, menjelang wafatnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar