Sabtu, 21 Februari 2015

KH M. Munawwir, Pendiri P.P. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta - (8)

______________________
Oleh Achmad Suchaimi





 
KH M. Munawwir

Pondok Pesantren Al-Munawwir  secara geografis terletak di dusun Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
Dusun Krapyak Kulon dikelilingi oleh dusun-dusun sebagai berikut: sebelah utara adalah Kalurahan Jogokaryan Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. sebelah timur dan selatan adalah dusun Krapyak Wetan, dusun Sorowajan dan dusun Glugo Janganan, keduanya terletak di desa Panggungharjo, Sewon, kabupaten Bantul; sedangkan sebelah barat adalah dusun Dongkelan, desa Tirtonirmolo, kecamatam Kasihan, kabupaten Bantul.
Jarak tempuh dusun Krapyak Kulon dengan kantor Desa Panggungharjo 1,5 km, dengan kantor kecamatan 3,5 km, dengan kota kabupaten Bantul 8 km, dan dengan pusat kota Yogyakarta (Kraton) adalah 3 km.


Biografi Pendiri Pesantren, KH M. Munawwir

Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta didirikan oleh K.H. Muhammad Munawwir pada tanggal 15 Nopember 1910 M dengan memfokuskan pendidikan-penajarannya pada penghafalan Al-Qur’an. Pada awalnya, pesantren ini terkenal dengan sebutan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, disebabkan terletak di dusun Krapyak Yogyakarta, kemudian pada tahun 1976 diberi tambahan Al-Munawwir untuk mengenang nama pendirinya.
K.H.M. Munawwir lahir di kampung Kauman Yogyakarta, sebelah barat Masjid Agung Kraton Yogyakarta sekitar tahun 1870-an pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau merupakan putra kedua dari pasangan K.H. Abdullah Rosyad bin K.H. Hasan Bashori atau Kiyai Kasan Besari[1] (Dongkelan Yogyakarta) dengan Ibu Khodijah (Bantul Yogyakarta).

KH M. Cholil Bangkalan
Sejak kecil, K.H.M. Munawwir mendapatkan pendidikan keislaman dari orang tuanya dan menunjukkan bakatnya dalam menghafal Al-Qur’an. Mengetahui hal itu, K.H. Abdullah Rosyad tidak bosan-bosannya terus mendorong putranya untuk menekuni bakatnya, antara lain dengan  memberinya hadian Rp. 2,50 jika mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam waktu seminggu. Bahkan tanpa hadiah pun, beliau terbiasa mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali tanpa rasa bosan.  Kehandalannya dalam menekuni Al Qur’an ini terlihat ketika mondok di Bangkalan Madura di bawah asuhan K.H.M. Kholil. K.H.M. Kholil sendiri mengakui kehandalan M. Munawwir kecil yang baru berusia 10 tahun dalam membaca Al-Qur’an. Dia sudah dipercaya menjadi imam shalat dengan dimakmumi oleh K.H. Kholil dan para santrinya. Semasa kecil sampai remaja, K.H.M. Munawwir tidak hanya menekuni ilmu Qiro’ah dan hafalan Al-Qur’an, akan tetapi juga belajar dan berguru ilmu-ilmu keislaman lainnya kepada beberapa kiai terkemuka saat itu. Diantaranya berguru kepada:  
1) K.H. Abdullah (Kanggotan Bantul), 
2) K.H.M. Kholil (Bangkalan Madura), 
3) K.H.  Sholeh (Ndarat, Semarang),  dan
4) K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Muntilan Magelang).[2]

Pada tahun 1888 K.H.M. Munawwir meneruskan belajar di tanah suci Makkah al Mukarramah dan Madinah al Munawwarah selama 21 tahun. Selama 16 tahun beliau habiskan di kota Makkah untuk mengkhususkan belajar di bidang ilmu Al Qur’an dan cabang-cabangnya, baik tahfidz, tafsir, maupun Qiro’ah Sab’ah. Diantara para guru beliau adalah :
1) Syaikh Abdullah Sanqoro,
2) Syaikh Syarbini,
3) Syaikh Mukri, 
4) Syaikh Ibrahim Huzaimi, 
5) Syaikh Mansyur, 
6) Syaikh Abdus Syakur,
7) Syaikh Musthofa, dan 
8) Syaikh Yusuf Hajar (guru spesialis ilmu qiro’ah sab’ah).

Selanjutnya beliau pergi ke kota Madinah. Di kota ini beliau tinggal selama 5 tahun dan belajar ilmu-ilmu syariat, seperti tauhid, fiqih, hadits, ilmu bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan ilmu-ilmu lainnya. Sepulangnya dari tanah haram, K.H.M. Munawwir menjadi seorang kiai.[3]

Dalam tradisi pesantren, keabsahan dan kemasyhuran seorang kiai tidak hanya dikarenakan kepribadian yang dimilikinya. Ia menjadi kiai dikarenakan ada yang mengajarnya. Dengan begitu, ia pada dasarnya mewakili watak pesantren dan kiainya dimana ia belajar.  Keabsahan ilmunya dan jaminan ia sebagai murid dari seorang kiai terkenal dapat ia buktikan melalui “sanad” atau mata rantai transmisi keilmuan.[4]


Silsilah / Sanad Keilmuan KH M. Munawwir
Demikian pula K.H.M. Munawwir yang terkenal di Jawa sebagai seorang kiai yang paling kompeten di bidang ilmu Al-Qur’an di abad ke-20 ini memiliki sanad mutawatir di bidang ilmu qiro’ah versi Imam ‘Ashim menurut riwayat Imam Hafsh, yang beliau peroleh (secara urut ke bawah) :
Dari Syaikh Abd. Karim bin H. Umar Al Badri Ad Dimyathi;
dari Syaikh Ismail;
dari Syaikh Ahmad Ar Rosyidi,
dari Syaikh Musthofa bin Abdur Rahman Al Azmiri,
dari Syaikh Hijaziy dari Syaikh Aly bin Sulaiman Al-Masyhury,
dari Syaikh Sultan Al Muzany,
dari Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al Fadholy,
dari Syaikh Tahazah Al Yamani,
dari Syaikh Namiruddin Ath-toblawiy,
dari Syaikh Zakariyah Al Anshory,
dari Syaikh Ahmad As Suyuthy,
dari Syaikh Muhammad Ibnu Jazariy,
dari al Imam Abi Abdullah Muhammad bin Kholiq al Mushriy Asy Syafi’iy,
dari Al Imam Abil Hasan Ali Asy Syuja bin Salam bin Ali bin Musa Al Abbasi Al Mishriy,
dari Al Imam Abi Qosim Asy Syatibi,
dari Al Imam Abil Hasan bin Huzail,
dari Al Hafidz Abi ‘Amr Ad Daniy,
dari Abil Hasan Thohir,
dari Syaikh Abil Abbas Al Asynaniy,
dari ‘Ubaid Ibnu Shobbagh,
dari Al Imam Hafsh
dari Al-Imam ‘Ashim,
dari Abdur Rahman As-Salma,
dari : 1) Utsman bin Affan,  
           2) ‘Ubay bin Ka’ab,  
           3) Zaid bin Tsabit,  dan 
           4) Ali bin Abi Thalib. 
Keempat sahabat tersebut mengambil bacaan langsung dari Rasulullah SAW,
dari Allah SWT, melalui perantaraan malaikat Jibril A.S.[5]

Kemasyhuran K.H.M. Munawwir sebagai ulama ahli Al-Qur’an tidak lepas dari cita-cita K.H. Hasan Bashori, kakeknya yang pernah menjadi ajudan Pangeran Diponegoro, dan K.H. Abdullah Rosyad, ayahnya sendiri. Kakek dan ayahnya tersebut memang pernah bercita-cita untuk menguasai ilmu Al-Qur’an dan menjadi huffazh (penghafal Al-Qur’an), namun tidak kesampaian, sehingga mereka berharap agar salah satu dari keturunannya ada yang menjadi seorang ahli Al-Qur’an. Harapan mereka akhirnya terkabul dengan munculnya K.H.M. Munawwir.[6]
Pada awal tahun 1909 M, K.H.M. Munawwir  kembali dari tanah haram langsung menetap di rumah ayahnya (K.H. Abdullah Rosyad) di Kauman GM (Gondomanan) IV/276 Yogyakarta, dan langsung beliau menyelenggarakan pengajian Al-Qur’an di sebuah langgar kecil miliknya.[7]  Yang cukup menarik, langgar tempat mengajar K.H.M. Munawwir ini hanya beberapa meter dari rumah kediaman K.H. Ahmad Dahlan yang juga digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan klasikal (madrasah). Bedanya, K.H.M. Munawwir menggunakan sistem pesantren, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan dengan sistem madrasi (klasikal). Selang dua tahun setelah K.H.M. Munawwir pindah ke Krapyak, pada tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan di kemudian hari, kedua tokoh tersebut merupakan perintis di bidangnya masing-masing. K.H.M. Munawwir sebagai perintis berdirinya pesantren-pesantren di Yogyakarta, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan menjadi perintis berdirinya madrasah/sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Dalam waktu singkat, kurang dari satu tahun mengajar, usaha beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari kaum muslimin dan pengajian Al-Qur’annya semakin berkembang dengan pesat, sehingga ruangan langgar yang ada tidak mampu menampung para santri. Saat itu, datanglah K.H. Sa’id, seorang ulama terkenal dan pengasuh pesantren besar di Gedongan Cirebon, memberi saran kepada K.H.M. Munawwir agar mencari tempat diluar kampung Kauman, diluar wilayah benteng Kraton, untuk pendirian pesantren dan pengembangan pendidikan Al-Qur’annya, mengingat :
a. Kondisi perkampungan Kauman sempit, penuh sesak dengan perumahan dan penghuninya, sehingga  tidak memungkinkan untuk mengembangkan sebuah pondok pesantren.
b.  Letak geografis dan lingkungan masyarakat di Kauman sendiri menurut perhitungannya kurang tepat didirikan sebuah pondok pesantren dan kurang mendukung para santri yang ingin menekuni penghafalan Al-Qur’an.
Setelah mempertimbangkan dengan cermat dan berniat sungguh-sungguh, saran itu beliau terima dengan baik. Di samping itu, ditambah dengan alasan untuk menghindarkan diri dari kewajiban “sebo” atau sowan kehadapan Raja di Kraton, apalagi saat itu beliau diangkat sebagai salah seorang “abdi dalem pamethakan” yang beranggotakan empat puluh (40) ulama/kiai Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat yang mempunyai tugas spiritual menjaga keamanan Kraton.  Akhirnya K.H.M. Munawwir menemukan sebuah tempat yang dinilai strategis untuk berdirinya sebuah pesantren, yakni sebidang tanah yang ditumbuhi semak-semak dan pepohohan lebat di dusun Krapyak, milik bapak Jopanggung, yang dibelinya dari uang amal H. Ali (Graksan-Cirebon).[8]


 Pada akhir tahun 1909 M, dilaksanakanlah pembangunan pesantren tahap awal yang meliputi : pembangunan rumah kiai dan langgar yang bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Pada tanggal 15 Nopember 1910 M pesantren ini mulai ditempati para santri yang belajar Al Qur’an dan beliau sendiri sebagai pengasuhnya. Namun sebelum benar-benar pindah ke Krapyak, beliau bertempat tinggal untuk sementara di kampung Gading dalam rangka membantu kakak beliau, K.H. Mudzakkir,[9]  dalam mengajar pengajian Al Qur’an dan Ilmu Syariah. 
Kondisi Masjid Krapyak tahun 1990-an
 Setelah dibangunnya rumah, langgar dan kamar santri, K.H.M. Munawwir terus berusaha menyelesaikan pembangunan masjid tahap kedua, setelah tahap pertama yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Jalil.[10]   Pada tahun 1927 M pembangunan masjid tersebut telah selesai. Selain membangun sarana untuk ibadah (masjid dan langgar),  juga membangun sarana untuk tempat tinggal santri, yaitu bangunan komplek A, B, C, dan D.[11]
Dengan demikian, sejak awal berdirinya (1910 M), pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak sudah memenuhi syarat sebagai lembaga pendidikan Islam yang disebut “Pondok Pesantren”, karena yang disebut pondok pesantren  --menurut rumusan Zamakhsyari Dhofir-- paling tidak memiliki 5 (lima) elemen pokok, yaitu ada kiai, ada santri, ada pondok/asrama, ada masjid/langgar, dan ada pengajian kitab, yang dalam hal ini adalah pengajian ilmu Al-Qur’an.


Pendidikan dan Pengajaran Di Masa KH M. Munawwir

Pendidikan dan pengajaran pada masa K.H. M. Munawwir lebih ditekankan pada bidang Al Qur’an. Hal ini sesuai dengan keahlian beliau yang sangat mumpuni di bidang ini. Selain itu, pengajaran kitab kuning juga diselenggarakan, tetapi sekedar sebagai pelengkap pengajaran Al-Qur’an. Pengajian Al Qur’an diselenggarakan mulai pukul 07.30 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Khusus pada bulan Ramadlan, pengajian ini dilakukan dua kali dalam sehari semalam, yaitu siang dimulai sesudah shalat Dhuhur sampai Ashar dan malam dimulai sesudah shalat Tarawih sampai selesai. Materi pengajaran Al Qur’an pada masa ini ditentukan langsung oleh K.H.M. Munawwir. Proses belajar mengajarnya menggunakan sistim sorogan, dengan dua program pengajaran, yaitu
a.   Program “Bin Nazhor”, yaitu santri belajar dan mengaji Al Qur’an dengan cara membaca mushaf .
b.   Program “Bil Ghaib”, yaitu santri belajar dan mengaji Al-Qur’an dengan cara menghafal (mushaf).

Metode yang digunakan K.H.M. Munawwir dalam pengajarannya adalah metode Musyafahah, dimana guru-murid berhadap-hadapan dan saling menyaksikan secara langsung. Dalam hal ini, santri membaca Al Qur’an satu persatu di hadapan kiai. Jika terjadi kesalahan membaca, kiai dapat langsung membenarkan bacaan santri, dan santri pun langsung menirukan bacaan yang dibenarkan kiai tersebut. Atau kiai menyuruh santri agar bertanya di luar majlis kepada santri senior yang sebelumnya ditunjuk dan diberi tugas oleh kiai untuk membenarkan kesalahan bacaan santri yunior dan membimbing bacaannya sebelum disetorkan kepada kiai. Salah satu santri senior yang ditunjuk K.H.M. Munawwir adalah Abdul Qodir Munawwir, putranya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar santri lebih cepat dan lancar didalam belajar membaca Al Qur’an.[12]
K.H.M. Munawwir sangat mementingkan kefasihan dalam membaca. Untuk mencapai kefasihan tersebut, beliau menerapkan beberapa prosedur atau aturan, :
a. Setiap kali menghadap untuk “setor” (menyodorkan) bacaan ke kiai, paling banyak dilakukan oleh  dua orang santri dari program bin nazhar, ditambah seorang santri dari program bil ghaib.
b.   Sebelum mengaji surat Al-Baqarah, santri harus sudah hafal surat al Fatihah, tahiyat akhir dan juz Amma.
c.   Apabila hendak mengikuti kelas Bil Ghaib (menghafal), santri harus mengikuti program Bin Nadzar terlebih dahulu, paling tidak sampai menguasai 5 juz dari depan.

Metode yang dipakai K.H.M. Munawwir untuk “Kefasihan” ialah dengan cara mengulang-ulang materi bacaan ayat beberapa kali, bahkan ada yang sampai 70 kali. Setelah selesai “setor”, kiai memberi tambahan materi bacaan / hafalan kepada santri rata-rata lima ayat. Cara K.H.M. Munawwir dalam mengajar dan mengingatkan santri yang salah bacaannya cukup bervariasi. Sesekali beliau memberi teguran kepada santri yang salah bacaan tersebut, namun lebih banyak mendiamkannya. Oleh karena pengajaran Al Qur’an berlangsung antara jam 07.30 sampai 13.00 WIB, selama rentang waktu tersebut, kadang-kadang beliau melakukan pengajaran Al-Qur’an sambil tiduran, bahkan kadang-kadang sampai tertidur beneran. Namun jika ada santri yang salah bacaannya, beliau langsung bangun dan menegurnya.[13]

Tata Tertib Majlis Pengajaran :
1).  Sebelum pengajian dimulai, santri harus sudah hadir di majlis terlebih dahulu dan tidak diperkenankan meninggalkannya sebelum majlis berakhir.
2).  Urutan mengaji (Al-Qur’an) sesuai dengan urutan antri masing-masing.
3).  Pengajian ditutup dengan bacaan takbir oleh santri program bin nadzar dan dengan berjabat tangan bagi santri program bil ghaib.
4).  Apabila ada santri yang telah khatam dalam mengaji Al-Qur’an, kiai langsung memanjatkan do’a dalam majlis tersebut.
5).  Khusus santri baru,  ia baru dapat mengikuti pengajian setelah satu minggu bermukim di pesantren.
6). Untuk menghilangkan rasa jenuh, kiai mengizinkan segenap santri untuk mengadakan silaturrahim dan rihlah (refressing) ke luar pesantren. Biasanya hal ini dilaksanakan setengah bulan sekali.


Ijazah dan Sanad. Ijazah merupakan lembaran naskah (buku) yang diberikan kepada para santri yang sudah khatam pengajian Al-Qur’an dengan hasil baik, yang isinya antara lain  :
1). Ijazah
2). Do’a Khotmul Qur’an
3). Beberapa bait Syair
Selain itu, bagi santri yang sudah hafal Al-Qur’an bil ghaib dan Qira’ah Sab’ah, kiai memberinya sanad (mata rantai transmisi ilmu) Al-Qur’an yang mutawatir.[14]

Pengajian Kitab Kuning. Selain pengajian pokok (pengajian Al Qur’an), pada masa KH.M. Munawwir ini juga diselenggarakan pengajian kitab kuning sebagai materi penyempurna, akan tetapi waktunya tidak setiap hari. Diantara kitab-kitab yang pernah dikaji meliputi kitab fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain. Adapun sistim pengajaran yang digunakannya adalah “sistim weton” atau “halaqah”, dimana seorang kiai atau ustadz membacakan dan memaknai setiap lafazh dalam kitab kuning, kemudian santri ngesahi atau membuat catatan makna gandul dan keterangan seperlunya didalam kitabnya. Sementara itu sistim Sorogan belum diterapkan dalam pengajaran kitab kuning, tetapi hanya diterapkan untuk pengajaran Al-Qur’an. Adapun para ustadz yang ditunjuk kiai untuk mengajarkan kitab kuning ini adalah para santri senior yang sebelumnya pernah mondok di pesantren lain seperti pesantren Tremas, Lirboyo, Tebuireng, Purworejo, dan lain-lain. Pengajian-pengajian kitab tersebut diantaranya :
a.   Pada tahun 1910 M ada seorang santri dari Purworejo yang dipandang cukup mumpuni dalam kitab kuning, lalu diperintahkan untuk mengajarkannya kepada para santri seminggu sekali, setiap hari Jum’at. “Ajarkanlah ilmu fiqih kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengerti air”, kata KHM Munawwir kepada santri tersebut.
b.   Demikian pula pada sekitar tahun 1930 M pernah diselenggarakan pengajian kitab Fat-hul Mu’in yang disampaikan oleh Ustd. Masyhuri, salah seorang santri dari Purworejo.
c.   Abdul Hamid Hasbullah (adik K.H. Wahab Hasbullah Jombang) pernah mondok untuk memperdalam hafalan Al-Qur’an di Krapyak, lalu diperintah mengajarkan kitab Tafsir Jalalain di dalam masjid.
d.   Materi tambahan (pengajian kitab-kitab) ini tampak menonjol pada waktu disampaikan oleh K.H.M. Arwani Amin Kudus pada tahun 1935.
e.   Menjelang wafat,  K.H.M. Munawwir memerintahkan Masyhuri, seorang santri yang pernah mondok di Jombang, untuk mengajarkan kitab-kitab kuning.
KH M. Arwani Kudus

Pengajian yang diselenggarakan di pesantren ini, baik Al Qur’an maupun kitab kuning terus berjalan lancar tanpa hambatan hingga KH.M. Munawwir wafat.[15]


Kondisi Santri dan Aktivitasnya Pada masa KH M. Munawwir

Gambaran kehidupan para santri pada periode K.H.M. Munawwir tidak berbeda jauh dengan masa sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan keseharian, mereka melakukannya sendiri seperti mencuci pakaian, masak sendiri dan sering tidur di serambi masjid, bangun malam hari untuk salat Tahajjud. Mereka menghormati dan mentaati semua perintah kiai bukan karena merasa takut, tetapi karena haibah, wibawa atau karisma kiai.
Keadaan santri dari tahun ke tahun pada masa ini menunjukkan angka yang cenderung bertambah. Antara tahun 1910 sampai 1920-an, jumlah santri rata-rata kurang lebih 60 orang setiap tahunnya. Antara tahun 1921 sampai 1923, jumlah santri rata-rata kurang lebih 100 sampai 150 orang per tahunnya. Demikian seterusnya sampai beliau wafat jumlah santri mencapai 200 orang yang berasal dari daerah-daerah di pulau Jawa, Pulau Bawean, dan daerah-daerah lainnya, bahkan ada yang dari negeri tetangga, Singapura.[16]
Untuk mengatur dan menertibkan para santri, sesuai dengan amanat yang diberikan pengasuh pada masa ini, dibuat tata tertib (Qanun). Diantaranya :
1). Segenap santri diwajibkan :
a.    Mengikuti pengajian Al Qur’an dan shalat berjamaah bersama dengan kiai
b.    Ziarah ke maqbaroh di Dongkelan, setiap hari Kamis sore
c.     Segenap santri dianjurkan memakai kopyah, khususnya yang berwarna putih.
2).  Segenap santri dilarang :
a.    Nonton film
b.    Berbelanja di luar pondok, kecuali ketika sedang bepergian
c.     Bermain sepak bola
d.    Bertamasya, selain pada waktu-waktu tertentu, yaitu sekali dalam waktu setengah bulan
e.    Keluar di malam hari
f.     Memegang Al Qur’an dalam keadaan hadats.
3).  Ta’ziran-ta’ziran (hukuman) :
a.    Dipukul dengan rotan pada telapak kakinya
b.    Dimasukkan kedalam kolam air
c.     Diharuskan membaca solawat Nariyah dalam waktu yang sama
d.    Dipukul pada lutut dan pusarnya, jika bagian badan tersebut kelihatan
e.    Dikenakan denda uang sebesar Rp. 0.05 s/d Rp. 0.25 dan dimasukkan ke dalam kotak tabungan masjid yang selalu tersedia di serambinya.
f.     Diakhirkan giliran mengajinya
g. Dikeluarkan dari pondok.[17]
Sedang aktivitas/kegiatan para santri Pesantren Krapyak tidak berbeda jauh dengan pesantren-pesantren lain, khususnya dalam hal padatnya kegiatan. Selain kegiatan yang diadakan secara rutin, terdapat pula kegiatan-kegiatan yang sifatnya berkala. Kagiatan-kagiatan harian/rutinitas bagi santri adalah mengikuti pengajian setiap hari, baik Al-Qur’an maupun kitab kuning dan atau belajar sendiri-sendiri, shalat dan lain-lain. Sedangkan kegiatan lainnya antara lain : a) berziarah kubur setiap hari kamis sore; b) “Nyadran” (ziarah kubur) pada pertengahan bulan Sya’ban di maqbarah / makam Dongkelan; dan acara “Haflah Khotmil Qur’an” sebagai rasa syukur bagi para santri yang berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an, baik bin nazhar maupun bil ghaib, yang diadakan setiap bulan Muharram dan Sya’ban.


Wafatnya K.H.M. Munawwir

K.H.M. Munawwir wafat pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1360 H / 6 Juli 1942 M setelah 16 hari menderita sakit. Jenazahnya dimakamkan di maqbarah (pekuburan) dusun Dongkelan, desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul, dengan meninggalkan empat orang isteri yang beliau nikahi setelah wafatnya isteri pertama, Ny. R. Mursyidah, dan puluhan putra-putri yang sebagian besar masih anak-anak dan remaja.
Selama kurang lebih 33 tahun berjuang di bidang pendidikan pesantren, K.H.M. Munawwir mampu menghasilkan ratusan bahkan ribuan kader penghafal (huffazh) yang sangat diandalkan keahliannya di bidang penghafalan Al-Qur’an, dan puluhan diantaranya menjadi pemimpin dan tokoh penting di tengah masyarakatnya, serta menjadi pendiri dan pengasuh pesantren-pesantren yang bernuansa Al-Qur’an, khususnya yang ada di Jawa dan Madura.[18]
Diantara wasiat beliau, bahwa agar para putra dan menantunya bertanggung jawab atas kelangsungan Pesantren yang beliau tinggalkan. Wasiat ini terutama ditujukan kepada dua orang putra (yang sudah dewasa), yaitu K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir, serta empat orang menantu, yaitu K.H. Ali Maksum (suami Ny. Hasyimah) dari Lasem, Kiai Abdurrahim (suami Ny. Badriyah) dari Purworejo, Kiai Syatibi (suami Ny. Aikah) dari Kutoarjo, dan Kiai Syaifuddin. Karena adanya beberapa udzur dari keempat menantunya tersebut, maka hanya K.H. Ali Maksum yang bersedia mendampingi kedua putranya untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren, dan inipun melalui proses yang cukup alot.[19]


Kondisi Pesantren Pasca K.H.M. Munawwir
Penjajahan Jepang di Indonesia selama 3 ½ (tiga setengah) tahun ternyata mampu merusak sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Salah satu kerusakan yang ditimbulkannya adalah sepinya kehidupan pesantren di seluruh tanah air. Sebagian besar pondok pesantren nyaris gulung tikar, menghentikan aktifitas kepesantrenan dikarenakan ditinggal pulang oleh para santrinya, di samping ditinggal pergi oleh para ustadz dan kiainya untuk berjuang membela tanah air.  Paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab sepinya pondok-pondok pesantren di mana-mana : Pertama, karena Jepang sering menggunakan kekejaman kepada siapa saja yang dicurigai, sehingga suasana ini terasa tidak nyaman dan tidak memungkinkan bagi orang-orang untuk memperdalam ilmu di pesantren. Kedua, kaum muslimin terpanggil untuk menyiapkan diri berjuang merebut kemerdekaan. Mereka banyak yang masuk kedalam barisan Tentara Pelajar, PETA (Pembela Tanah Air), Hizbullah, Sabilillah, dan sejenisnya. Ketiga, Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat parah, disebabkan politik tanam paksa Jepang (terutama menanam pohon jarak), yang hasilnya digunakan untuk keperluan Jepang sendiri, yakni untuk membiayai Perang Dunia II melawan sekutu.[20]
Pondok Pesantren Al-Hidayah yang diasuh K.H. Maksum di Soditan Lasem termasuk yang menjadi korban penjajahan Jepang.  Santrinya yang semula berjumlah ratusan orang tiba-tiba semakin surut dan habis. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh K.H. Maksum, tetapi hasilnya nihil. Hal inilah yang membuat K.H. Ali Maksum, sebagai putra tertua yang baru saja pulang dari belajarnya di Makkah, terpanggil untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan di bidang pengajaran, sehingga dapat  menarik 200 santri untuk kembali belajar di pesantren Al-Hidayah. Sukses inilah yang membuat K.H. Ali Maksum semakin mencintai pesantrennya. “Ibarat tanaman, saya semakin ngoyot di Lasem”, komentar K.H. Ali Maksum kepada A. Zuhdi Mukhdlor yang mewawancarainya.[21]
Demikian pula kondisi P.P. Al-Munawwir setelah wafatnya K.H.M. Munawwir, belum genap 100 hari, semakin hari jumlah santrinya semakin berkurang, satu persatu diantara mereka kemudian “boyongan” pulang ke kampungnya masing-masing dan tidak kembali lagi. Selain disebabkan oleh faktor wafatnya sang kiai, juga sebagai akibat langsung dari penjajahan Jepang, bahkan lebih parah bila dibanding dengan yang dialami P.P. Al-Hidayah Lasem, karena  P.P. Al-Munawwir saat itu langsung diambil alih kepemimpinannya oleh K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir dan sudah berjalan selama dua tahun ditinggal para santrinya, tinggal beberapa gelintir santri yang masih aktif mengikuti pembelajaran Al-Qur’an.[22]
Setelah mendengar keberhasilan K.H. Ali Maksum dalam membangkitkan kembali P.P. Al-Hidayah Lasem, keluarga Bani Munawwir mengadakan rapat yang keputusannya antara lain : 1) mempercayakan kepemimpinan pesantren kepada para putra kandung dan menantunya, sesuai wasiat K.H.M. Munawwir;   2) mengirim utusan ke Lasem, agar K.H. Maksum berkenan melepaskan K.H. Ali Maksum untuk diboyong ke Krapyak untuk membantu K.H.R. Abdullah Afandi dan K.H.R. Abdul Qodir dalam rangka mengatasi kemunduran pesantren. Salah seorang pengurus pesantren yang bernama Dasuki ditunjuk sebagai delegasi resmi dari Krapyak untuk menemui K.H. Ali Maksum, namun secara tegas ditolaknya. Selang beberapa waktu berikutnya, datang lagi rombongan delegasi yang terdiri dari Ny. Hj. Sukis (isteri K.H. Munawwir, mertua K.H. Ali) dengan didampingi oleh K.H.R. Abdullah Afandi (putra K.H.M. Munawwir) dan K.H. Abdurrahman (adik K.H.M. Munawwir) untuk menemui K.H. Ali Maksum dan ayahnya di Lasem. Kali ini K.H. Ali Maksum bersedia dan K.H. Maksum (ayahnya) pun rela melepaskan putranya untuk diboyong ke Krapyak disertai pesan: “Monggo mawon Ali sampean beto, namung piyambake ampun diuthik-uthik” [Bhs Indonesia : Silahkan Anda membawa Ali, tetapi dia jangan diganggu].[23]
Berpindahnya K.H. Ali Maksum ke Krapyak pada tahun 1943 membawa suasana baru dalam pembaharuan dan pengembangan sistem pendidikan dan pengajaran di Pesantren Al-Munawwir yang dahulunya difokuskan pada pengajaran Ulumul Qur’an, kemudian menjadi suatu pesantren yang secara seimbang menerapkan sistem pesantren dan madrasi (klasikal). Sejak saat itu, Pondok Pesantren Al-Munawwir dipimpin oleh 3 (tiga) serangkai kiai:
a.   K.H.R. Abdullah Affandi (putra), dengan tugas sebagai pimpinan umum yang menangani sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
b.   K.H.R. Abdul Qadir (putra), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
c.   K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran kitab-kitab kuning.

Sepeninggal K.H. Ali Maksum pada tahun 1989, kepemimpinan pesantren secara urut dilanjutkan oleh  :
a.   K.H. Zainal Abidin Munawwir (1989 - 2014)
b.   K.H.R. M. Najib Abdul Qadir (2014 - sekarang)




[1]  K.H. Hasan Bashori atau Kiai Kasan Besari (bukan Kiai Kasan Besar pimpinan Pondok Tegalsari Ponorogo) merupakan ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau diangkat menjadi komandan perang untuk merebut daerah Kedu dari tangan Belanda, berdasarkan surat perintah dari Pangeran Diponegoro yang berbunyi :

Surat ini datang dari saja Kandjeng Gusti Pangeran Diponegoro serta Pengeran Mangkoe Boemi di Djogyakarta Adiningrat kepada semoea teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang semoenya mesti tahoe akan hal ini, laki-laki perempuan, besar ketjil, tidak perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapoen orang jang saja soroeh namanja Kasan Basari. Djikaloe soedah mengikoeti soerat oendangan saja ini biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama Rosoel (SAW tim). Djikalaoe ada jang berani tiada maoe pertjaya akan boenjinja soerat saja maka dia saja potong leher. Kamis tanggal 5 boelan Hadji/31 Djoeli 1825.”

Beliau pernah ditahan Belanda, lalu dibuang ke Menado dan menetap di sana hingga wafat, kemudian dimakamkan dekat makam P. Diponegoro di Menado.



[2]  Djunaidi A. Syakur, dkk., Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta : Pengurus Pusat PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 2001, cet.2. halm. 8; 

[3]   Ibid.

[4]   Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet.1. halm. 79.

[5]  Aly As’ad, dkk., K.H.M. Moenauwir , Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta, 1975, halm. 6;   Djunaidi, ibid., halm. 9

[6]  Ibid, halm.23;  Djunaidi A. Syakur, dkk., Ibid.,. halm. 10 ;  A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Makshum: Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1. halm. 22

[7])     Ibid., halm. 23.
Langgar kecil milik beliau ini sekarang menjadi Gedung Nasyiyatul ‘Aisyiyah Yogyakarta.

[8]  Ibid. halm. 21; Djunaidi dkk, ibid. halm. 10-12; dan A.Zuhdi Mukhdlor, ibid. halm.23

[9]  K.H. Mudzakkir adalah ayah kandung Prof. DR. Kahar Mudzakkir, tokoh Muhammadiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia Sembilan BPUPKI bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, K.H.A. Wachid Hasyim, dan lain sebagainya.  (H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet. 1, halm. 242).

[10] Pada pembangunan tahap pertama tersebut terdapat suatu kisah: K.H. Abd. Jalil dalam memilih tempat untuk membangun masjid adalah dengan menggariskan tongkat sebagai batas luas bangunannya. Biqodloillah bekas garis itu tidak ditumbuhi rumput. Pada tempat tersebut beliau mulai meletakkan batu pertama, memasang fondasi dan terhenti baru sampai pembangunan dinding setinggi  ± 1 meter.

[11]  Djunaidi A. Syakur, dkk. Ibid. halm. 12

[12] Suatu kisah K.H. Yusuf Karang Ampel Indramayu di waktu mengaji surat An Nas kepada beliau dan selama satu bulan baru dinaikkan. Hal ini karena K.H. Yusuf mengabaikan perintah beliau untuk bertanya minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, di luar majlis pengajian beliau.. (Ali As’ad, ibid., halm. 28.)

[13] Djunaidi dkk, ibid., halm. 14

[14]  Djunaidi dkk., ibid. halm. 15

[15]  Ali As’ad, ibid., halm. 27. ; Djunaidi dkk., ibid., halm. 15-16

[16]  Ali As’ad. Ibid.

[17]  Aly As’ad, Ibid. halm. 25: dan Djunaidi dkk., Ibid., halm. 17-18

[18]   Aly As’ad dkk, ibid. halm. 33-34, dan Djunaidi, dkk., ibid., halm.24-26.
Diantara para alumninya adalah 1) K.H. Arwani Amin,  pendiri pesantren Al-Qur’an di Kudus;  2) K.H. Badawi, pengasuh pesantren di Kaliwungu Kendal;  3) K.H. Zuhdi, pendiri pesantren Tahfizhil Qur’an di Kertosono;  4) K.H. Umar, pendiri pesantren Al-Muayyad Mangkuyu Solo;  5) K.H. Muntaha, pendiri dan pengasuh pesatren Al-Qur’an di Kalibeber Wonosobo;  6)   K.H. Umar,  pengasuh pesantren di Kempek Cirebon;  7) K.H. Nor/Munawwir, pendiri pesantren di tegalarum, Kertosono;  8) K.H. Murtadlo, pengasuh pesantren di Buntet Cirebon;   9) K.H. Ma’shum, pengasuh pesantren di Gedongan, Cirebon:  10) K.H. Abu Amar, pengasuh pesantren di Kroya:  11) K.H. Suhaimi dan KH Aminuddin, pendiri dan pengasuh pesantren Huffazh Tanrinus Shibyan di Benda Bumiayu;   12) K.H. Syatibi, pengasuh pesantren Al-Qur’an di Kyangkong, Kutoarjo;   13) K.H. Ansor , pengasuh pesantren di Pepedan, Bumiayu;  14) K.H. Hasbullah, pendiri pesantren Al-Qur’an di Wonokromo, Bantul Yogjakarta;   15) K.H. Muhyiddin, pendiri pesantren di Jejeran Bantul Yogyakarta;  16) K.H. Aminuddin, pendiri pesantren huffazh di Kroya;  17) K.H. Hasan Tholabi, pendiri pesantren huffazh di kota Kulon Progo;  18) KH Basyir, ayah KH A. Azhar Basyir (mantan Ketua Umum Muhammadiyah), ahli ulumul Qur’an di Kauman Yogyakarta. Dan masih banyak lagi.yang lain.
[19]  Aly As’ad, dkk., Ibid., halm. 41-42.

[20]  A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 18-19

[21] Ibid. halm. 20 (Hasil wawancara A. Zuhdi Muhdlor dengan K.H. Ali Maksum pada 1 Oktober 1989, menjelang wafatnya)

[22]  Ibid., halm. 20;  dan Djunaidi dkk, Ibid, halm. 30-31.


[23]   A. Zuhdi Mukhdlor, dkk. Ibid. halm. 21 (Hasil wawancara A. Zuhdi Muhdlor dengan K.H. Ali Maksum pada 1 Oktober 1989, menjelang wafatnya)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar