Selasa, 24 Desember 2013

KH. Ali Maksum : Kiai Reformis yang Rendah Hati




KH Ali Maksum



“Sesungguhnya Aku diberikan kepercayaan atas kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika kalian melihatku melenceng, maka luruskanlah aku, hindarkanlah aku dari kesalahan, dan tegurlah aku sampai ke tempat yang baik....”

Dengan berlinangan air mata pesan ini disampaikan oleh almarhum KH. Ali Maksum di saat dirinya menerima mandat sebagai Rais Am Syuriah PBNU pada 1981 menggantikan posisi KH. Bisri Syamsuri. KH. Ali Maksum diajukan atas usul KH. Achmad Shidiq yang disampaikan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) ‘Alim Ulama dan Konbes (Konferensi Besar) NU pada 30 Agustus sampai dengan 3 September 1981 di Kaliurang, Yogyakarta.

Dengan kerendahan hatinya beliau hendak menyampaikan rasa tidak cakapnya menempati jabatan tersebut. Karena menganggap masih banyak kiai yang lebih pantas, lebih alim dan berpengalaman dibanding dirinya. Tetapi para kiai terus mendesaknya dan berharap beliau bersedia menerimanya. Dengan harapan dan semangat itulah Gus Dur dan Gus Mus rela menanti di kediaman beliau agar sampai beliau menyatakan kesediaan. Akhirnya beliau menerima keputusan itu dan maqolah di atas adalah pengiringnya. Sedangkan Ketua Umum PBNU diisi oleh KH. Idham Chalid. 

Aku mau jabatan, tetapi agama melarangku menghindari tanggung jawab....” lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini.


Juru Damai dan Khitthah

Kiai Ali Maksum dipercaya menjadi Rais Am selama empat tahun, sejak 1981-1984. Masa-masa itu dilalui bukan tanpa hambatan yang serius, sebab masa itu percaturan politik begitu kental di internal kepengurusan NU. “Perseteruan” terjadi pada tahun1982 antara kelompok politik yang dimotori KH. Idham Chalid yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan dengan suara yang menyerukan Khitthah dipimpin oleh KH. As’ad Syamsul Arifin yang dikenal sebagai kelompok Situbondo. Komflik ini dilatarbelakangi dari hiruk pikuk politik waktu itu yang bertepatan pula dengan momentum Pemilu. Tak ingin keadaan ini menjadi bom waktu yang justru menjadi bumerang bagi NU di masa mendatang, KH. Ali Maksum pun bertindak tegas untuk menyudahi komflik yang mencuat ini. Bersama KH. Mahrus Ali, KH. As’ad Syamsul Arifin, beliau meminta KH. Idham Chalid untuk mundur dari jabatannya. Akan tetapi upaya itu kandas. Maka beliaupun mencari jalan lain untuk mempertemukan kutub yang berbeda itu dengan melakukan upaya islah sebagai langkah persuasif.

Ternyata upaya terakhir itu tak mampu untuk meleburkan keduanya. KH. Ali Maksum mengambil langkah dengan me-nonaktif-kan ketua umum tanfidziyah. Dirasa keadaan cukup kondusif, maka kubu KH. As’ad atau yang dikenal dengan kelompok Khitthah menggelar Munas Alim Ulama yang dilaksanakan di Situbondo  pada 1983. Disana dirumuskan konsep kembali ke khitthah 1926. Rumusan reformis yang dinanti pun tercetus pada Muktamar ke-27 pada 1984 dengan kembalinya NU ke Khitthah 1926. Sehingga NU menjadi organisasi kemasyarakatan yang meninggalkan baju politiknya dengan penegasan bahwa NU tidak mempunyai hubungan apapun dengan partai politik manapun. Dari Muktamar ke-27 itu pula beliau diamanahi jabatan sebagai Mustasyar PBNU. Sedangkan Rais Am diamanahkan kepada KH Achmad Shidiq dan ketua Tanfidziyah disematkan kepada KH. Adurrahman Wahid.


Pengembara Ilmu

KH. Ali Maksum mempunyai nama lengkap Ali bin Maksum bin Ahmad. Beliau lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada 15 Maret 1915. Terlahir dari pasangan KH. Maksum Ahmad dan Nyai Hj. Nuriyah binti Zainuddin. Ayahnya adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Soditan. Lasem. Lahir di lingkungan pesantren membuatnya tak bisa lepas dari khazanah ilmu. Pendidikannya pun ia mulia dari ayahnya sendiri yang memang seorang ulama besar.

Ketika mencapai umur 12 tahun beliau dikirim untuk menimba ilmu di pondok pesantren Termas, Pacitan Jawa Timur. Di pesantren besar pimpinan Syaikh Dimyati At-Tarmasi itulah gelagat keilmuan yang menonjol sudah nampak dari dirinya. Pengajian Bandongan yang khusus diikuti oleh santri senior pun ia ikuti, pelbagai kitab karangan ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah dll yang tidak biasa dibaca oleh santri ia kaji secara mendalam. Hal ini justru dapat perhatian khusus dari Syaikh Dimyati, karena Ali Maksum muda dianggap mempunyai keilmuan yang mumpuni sehingga kajian kontemprer yang beliau pelajari tidak akan merubah akidah pemahaman agamanya. Sebaliknya hal itu dianggap mampu memberikan spektrum yang luas akan keilmuan Ali Maksum muda.

Dengan kapasitas kelimuan yang beliau miliki akhirnya beliau juga diamanahi untuk mengajar dan melakukan pembaharuan pada sistem pengajarnan pesantren Termas. Selama delapan tahun menimba ilmu di pesantren Termas dengan bekal kelimuan yang cukup mapan beliau kembali ke pesantren Lasem untuk membantu ayahandanya. Tak lama setelah itu, beliau diambil menantu oleh pengasuh pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Moenawwir al-Hafidz al-Mukri.

Sebulan setelah pernikahannya dengan Hasyimah Binti Moenawwir, beliau mendapat tawaran untuk pergi haji dari salah satu seorang saudagar yang dermawan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Ali Maksum. Beliau berangkat haji sekaligus berguru kepada para ulama Makkah. Diantaranya Sayyid Alwy Al-Maliki, Syaikh Umar Hamdan, dan Syaikh Masyayikh Hamdi Mannan. Setelah pengembaran itu beliau kembali ke tanah Jawa.


Disiplin Tinggi

Sekembalinya dari Makkah beliau meneruskan perjuangan ayahnya dengan memimpin pesantren Lasem. Baru dua tahun memimpin, beliau diminta untuk kembali ke Krapyak untuk memimpin pesantren Krapyak sepeninggalnya KH. Moenawwir. Bersama dengan saudara-saudara iparnya, beliau memimpin dan mengembangkan pesantren Krapyak dengan berbasis kajian Al-Qur’an dan Qiro’ah Sab’ah.

Pada kurun waktu beliau mengasuh pesantren, para santri dididik dengan semangat dan disiplin tinggi. Mereka tidak bisa belajar semaunya, waktu belajar sangat ketat, dari subuh hingga jam sembilan malam. Selain itu, mereka juga harus hafal bait-bait kitab tertentu. Bila tidak sanggup maka sang guru akan menghukumnya sehingga hafal. Begitu juga dengan pelajaran-pelajaran yang sudah diajarkan harus mampu dipahami oleh para santri.
Dari sinilah pesantren Krapyak berkembang dan nama beliau menggema sebagai ulama besar dengan gagasan reformis dan moderat yang terus disosialisasikan ke masyarakat melalui forum-forum pengajian. Dari kepiyawaiannyalah kitab hasil karangan beliau pun hadir untuk menghiasi khazanah keilmuan. Di antaranya Hujjah Ahlussunah Wal Jama’ah, Tasriful Kalimah, Asshorful Wadlih, Risalatus Siyam, Ilmu Mantiq dan beberapa kitab lainnya.

Beberapa hari sebelum beliau wafat, pesantren Krapyak mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 pada 25-28 November 1989. Seminggu berikutnya, tapatnya 7 Desember 1989 di usia 74 tahun, kiai kharismatik ini berpulang ke rahmatullah. Dengan dihantar ribuan pelayat beliau dikebumikan di peristirahatan terakhir di pemakaman Dongkelan, Bantul Yogyakarta. Meski raganya sudah tiada, tapi ghirah perjuangan dan pengabdiannya sangat dikenang oleh para santri maupun warga NU. (Aula)

----------------------------------

Sumber : diedit kembali dari http://pwnudiy.or.id/content/kh-ali-maksum-kiai-reformis-yang-rendah-hati