Selasa, 17 Februari 2015

Kelebihan Dan Kelemahan Pola Kepemimpinan KH Ali Maksum - (2)


_______________________________
Oleh : Achmad Suchaimi






K.H. Ali Maksum sebagai seorang figur pemimpin karismatik sekaligus pemimpin tradisional, ada sisi-sisi kelebihan dan kelemahan dari pola kepemimpinan yang beliau kembangkan tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Pertama. Besarnya karisma semakin memperkokoh kepemimpinan K.H. Ali Maksum di pesantren Al-Munawwir. Sebagai seorang figur karismatik, K.H. Ali mampu menarik jumlah santri yang berjumlah ribuan untuk belajar di pesantren Al-Munawwir dan kondisi ini tidak pernah dialami sebelumnya, terutama sejak beliau dipercaya menjadi Rois ’Am PBNU (1981-1984) dan puncaknya ketika pesantren Al-Munawwir Krapyak dijadikan sebagai tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), sehingga nama pesantren ini terkenal dimana-mana.
Kebesaran nama pesantren ini tentu saja lebih disebabkan oleh faktor pribadi K.H. Ali. Kebesaran Krapyak sebagai pesantren yang tidak sekedar mementingkan pengajaran Al-Qur’an, tetapi juga maju dalam pengajaran Kitab Kuning, mendorong santrinya memiliki semangat belajar secara otodidak, mengkaji berbagai literatur ulama salaf dan khalaf (modernis), dan berwawasan luas, adalah mencitrakan pribadi dan kedinamisan sang kiai.  Oleh karena kebesaran pesantren sangat tergantung pada figur kiai, sementara penggantinya tidak memiliki karisma sebesar yang dimiliki oleh kiai sebelumnya, tentu kebesaran nama pesantren tersebut tidak akan bertahan lama dan kembali menjadi redup sinarnya. Hal itulah yang terjadi di pesantren Al-Munawwir sepeninggal K.H. Ali Maksum, yakni menjadi sebuah pesantren yang kurang diperhitungkan lagi di pentas Nasional, apalagi di pentas Internasional.
Memang, dengan gaya kepemimpinan karismatik ini segala ajaran, perintah, instruksi,  dan gagasan K.H. Ali dapat dijalankan secara lancar dan efektif oleh para santri, ustadz dan para kiai pembantunya tanpa ada hambatan psikologis yang berarti. Motivasi dan nasehat yang diberikan kiai diterima santri sebagai sesuatu yang mencerminkan mutu kepribadian sang kiai yang diyakini bersumber dari anugerah Allah, sehingga tidak sedikit diantara para santri yang memiliki loyalitas yang tinggi kepada kiai, bahkan mereka nyaris mengorbankan apa saja (harta, tenaga, nyawa) demi ketaatannya pada kiai. Namun di sisi lain, gaya karismatik ini justru mendorong K.H. Ali memperkokoh bangunan otoritas tunggal. Beliau cenderung bertindak otoriter, semauanya sendiri tanpa memperhatikan unsur musyawarah, rasionalitas dan aturan legal formal, sehingga tata tertib atau tata aturan yang berlaku di pesantren menjadi mandul dan tidak efektif. Sekalipun K.H. Ali telah mendistribusikan kekuasaannya kepada beberapa kiai pembantunya untuk mengelola urusan tertentu[1], namun mereka tidak dapat menjalankannya secara efektif, kreatif dan independen, disebabkan kebijakan dan kreatifitas mereka terkadang berbenturan atau terganjal oleh gaya otoriter K.H. Ali. Akibatnya, perkembangan pesantren menjadi lamban.
Beberapa kasus di lembaga MTs dan MA membuktikan tindakan otoriter kiai Ali tersebut, diantara contohnya ialah : beberapa siswa yang diputuskan tidak naik kelas oleh rapat dewan guru disebabkan karena buruknya nilai, sering bolos dan tidak masuk sekolah, serta merta dinaikkan oleh kiai; judul dan materi kitab sebagai bahan pelajaran siswa selalu berubah-ubah tergantung kemauan kiai; setiap siswa baru diseleksi sendiri dan ditentukan kelasnya oleh kiai; beberapa atau seluruh siswa yang sedang mengikuti pelajaran didalam suatu kelas tiba-tiba diminta keluar untuk diajak bekerja bakti membersihkan lingkungan pesantren[2]
K.H.A. Mustofa Bisri
K.H.A. Mustofa Bisri pernah belajar di pesantren Al-Munawwir selama 3 tahun dan belum sempat lulus beliau sudah ”boyongan” (pulang kampung). Sewaktu akan melanjutkan belajarnya ke Universitas Al-Azhar Mesir, beliau minta dibuatkan surat keterangan/ijazah tingkat Aliyah sebagai syarat masuk ke Universitas Al-Azhar, tetapi ditolak oleh K.H. Zainal Abidin selaku kepala sekolahnya, dengan alasan karena beliau memang belum lulus. Namun oleh K.H. Ali, surat keterangan/ijazah  tersebut beliau buatkan sendiri, tanpa sepengetahuan K.H. Zainal Abidin.[3]
K.H. Abdurrahman Wachid
 Oleh karena gaya otoriter tersebut, maka distribusi kekuasaan dan tata aturan di pesantren Al-Munawwir menjadi tidak efektif, dan para kiai pembantu tidak dapat mengembangkan bakat dan kreatifitasnya,  sehingga perkembangan pesantren ke dapan menjadi lamban dan tidak menentu. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh K.H. Abdurrahman Wachid, bahwa watak kepemimpinan karismatik kiai pesantren menyebabkan belum menetapnya pola kepemimpinan di pesantren selama ini.[4] Di samping masih ada empat kerugian lagi, yaitu:
1.  Munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren, karena segala sesuatu tergantung pada keputusan kiai;
2. Para tenaga pembantu kiai, termasuk didalamnya calon pengganti, kesulitan mengembangkan daya kreatifitasnya karena terganjal oleh tindakan otoriter sang kiai;  
3.    Pola penggantian pimpinan berjalan secara tiba-tiba dan tidak direncanakan sebelumnya secara matang; keempat, terjadinya pembauaran dan tumpang tindih dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren.[5]
Kelemahan lain dari kepemimpinan karismatik ini ialah bahwa masyarakat yang terbiasa mengikuti pemimpin karismatik menjadikan dirinya merasa tergantung kepada nasehat, bimbingan dan kemampuan sang pemimpin. Dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan di tengah masyarakat pada saat sang pemimpin karismatik meninggal dunia, sementara itu tidak ada seorang pengganti yang memiliki kualitas karisma yang setara.

Kedua. Besarnya karisma pada diri K.H. Ali Maksum memposisikan dirinya sebagai figur sentral. Sebagai figur sentral, beliau dipadang sebagai sumber utama dalam soal kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan misi pesantren. Seluruh penyelenggaraan pesantren, maju mundurnya pesantren, dan segala  persoalan di pesantren tergantung pada kemauan dan seleranya sendiri.  Dengan begitu, beliau merupakan inti dari pesantren itu sendiri. Beliau laksana seorang raja yang memiliki otoritas tunggal didalam kerajaan kecil pesantren. Hal ini menumbuhkan kesan bahwa pesantren adalah miliknya. Corak kepemimpinan semacam ini dapat dikatakan sebagai kepemimpinan individual.
Kondisi kepemimpinan semacam ini menyebabkan sang kiai merasa memiliki wewenang dan kekuasaan secara mutlak, dan pada gilirannya nanti sang kiai cenderung bersikap tertutup untuk menerima usulan strategik, pemikiran-pemikiran jenius dan kritik konstruktif dari orang luar dalam rangka pengembangan pesantren di masa depan. Corak kepemimpinan yang bersifat indivivual ini akan berakibat fatal bagi perkembangan pesantren di masa depan, sekaligus terjadinya krisis kepemimpinan, manakala putra mahkota atau calon pengganti tidak mampu melanjutkan kepemimpinan sang kiai, disebabkan tidak memiliki karisma sebesar yang dimiliki sang kiai, dan juga tidak memiliki kualitas pribadi, penguasaan ilmu, dan kemampuan dalam mengelola lembaga.
Sehubungan dengan uraian di atas, Nurcholis Madjid mencoba mendata kelemahan-kelemahan dari kepemimpinan kiai semacam ini, yaitu:
1.    Pola kepemimpinan karismatik cukup menunjukkan segi tidak demokratisnya disebabkan tidak rasional dan akan kehilangan kualitas demokratisnya.
2. Oleh karena kepemimpinan kiai bersifat karismatik, maka dengan sendirinya kepemimpinannya juga bersifat pribadi atau personal. Implikasinya, kepemimpinan kiai tidak mungkin dapat diganti oleh orang lain dan sulit ditundukkan oleh aturan-aturan administrasi dan managemen modern.
3.  Seorang kiai selain sebagai pemimpin agama juga sebagai penggerak massa dalam masyarakat feodal (religio-feodalisme). Feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan akan lebih berbahaya daripada feodalisme biasa.
4.  Karena dasar kepemimpinannya seperti itu, maka faktor kecakapan, skill atau kemampuan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini menjadi salah satu penyebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan jaman.[6]

Ketiga. Suksesi kepemimpinan kiai sebagian besar pesantren, termasuk di pesantren Al-Munawwir, adalah berlaku seumur hidup dan estafet kepemimpinannya diwariskan secara turun-temurun dari kiai ke para putra lelakinya, menantu lelakinya dan cucu-cucu lelakinya, diantaranya melalui proses penunjukan dari kiai, penyiapan putra mahkota, atau wasiat.  Dengan begitu, kaderisasi yang dilakukannya hanya terbatas pada keturunan dan keluarga pesantren.
Model suksesi dan kaderisasi semacam itu di satu sisi terdapat kelebihan, diantaranya bahwa proses pergantian kepemimpinan semacam ini relatif lebih lancar dan aman, tanpa menimbulkan gejolak dan hambatan yang berarti. Selain itu, para calon yang dikader tentu lebih memiliki kesiapan daripada yang tidak dikader. Namun kekurangannya ialah jika mereka yang dipersiapkan tersebut ternyata kurang mumpuni atau tidak memiliki kualitas pribadi yang setara dengan pemimpin sebelumnya, baik dari segi besarnya karisma, luasnya wawasan, penguasaan keilmuan, maupun dari segi kemampuan dalam pengelolaan lembaga, maka akan berakibat fatal pada kemunduran lembaga yang dipimpinnya di masa depan, karena tipe kepemimpinan tradisional dan karismatik itu identik dengan figur pemimpin itu sendiri, sehingga kaberhasilan dan kegagalannya sangat ditentukan oleh faktor pribadi pemimpinnya. 
 
KH Zainal Abidin
Kelemahan lainnya, bahwa proses estafet kepemimpinannya terkadang menimbulkan kekisruhan dan perebutan kepemimpinan, kalau hal itu tidak ada penunjukan yang jelas atau secara langsung dari kiai (pemimpin) yang bersangkutan tentang siapa yang bakal menggantikannya. Kekisruhan semacam itu pernah terjadi di pesantren Al-Munawwir sepeninggal K.H. Ali Maksum, antara K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H. Atabik Ali.  
 
KH A. Warson
K.H. Dalhar

Keempat. Pola kepemimpinan pesantren pada umumnya, dan di pesantren Al-Munawwir pada khususnya, masih kental dengan unsur-unsur kekuasaan patrimonial yang bertumpu pada ikatan keluarga. Kepemimpinannya lebih bersifat paternalistik (bapakisme). Dalam hal ini, orang-orang yang menjabat pimpinan dan menduduki posisi-posisi penting di pesantren dijabat oleh anggota keluarga besar pesantren, yaitu mereka yang memiliki hubungan keluarga, darah/nasab, perkawinan, dan hubungan yang sangat intim antara kiai dan santri. Segi kualitas kepribadiannya, luas-dalamnya pengetahuan, kemampuannya dalam pegelolaan lembaga, dan segi profesionalitas, terkadang diabaikan dan tidak menjadi prioritas utama.  Hal ini dibuktikan selama periode kepemimpinan Tiga Serangkai  dan periode kepemimpinan K.H. Ali Maksum, bahwa jabatan strategis dan penting di pesantren Krapyak dijabat oleh keluarga pesantren, seperti K.H. Zainal Abidin Munawwir sebagai kepala Madrasah Aliyah Salafiyah sekaligus sebagai wakil umum kepengasuhan pesantren; K.H.A. Warson Munawwir sebagai pengasuh pengajian kitab di komplek Q; K.H. Dalhar Munawwir dan K.H. Mufid Mas’ud (Menantu K.H.M. Munawwir) sebagai pengasuh santri putri dengan segala aktifitas pengajarannya di komplek N; K.H. Ahmad Munawwir dan K.H. Muhammad Najib Abdul Qodir sebagai pengasuh dan pengelola Madrasatul Huffazh; K.H. Zaini Munawwir, Nyai Badriyah Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Munawwir, Nyai Hj. Durrotun Nafisah Ali, dan Nyai Hj. Lutfiyah Jirjis menangani pengajaran Al-Qur’an untuk santri dari masyarakat sekitar pesantren; K.H. Masyhuri AU (menantu K.H. Abd. Qodir) sebagai kepala MTs Al-Munawwir;  K.H.M. Hasbullah (menantu K.H. Ali) menjadi kepala MA Al-Munawwir). Selain keluarga, beberapa santri senior yang memiliki hubungan sangat dekat dengan K.H. Ali pun dipercaya menduduki jabatan penting lainnya seperti K.H. Asyhari Abta, K.H. Henri Sutopo, K.H. Munawwir AF, dan lain-lain. Maka sangat sulit bagi orang-orang luar pesantren untuk menduduki jabatan-jabatan penting di pesantren, kecuali sekedar sebagai guru biasa atau tenaga administratif, karena mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan seperti uraian di atas, sekalipun mereka memiliki kecakapan, kemampuan, dan keilmuan lebih, serta lebih profesional.




[1] Misalnya KHM Hasbullah sebagai kepala Madrasah Aliyah, Al-Munawwir,  KH Masyhuri AU sebagai kepala MTs Al-Munawwir, KH Dalhar Munawwir mengelola santri putri dan Madrasah Diniyah Banat, KH Ahmad Munawwir dan K.H.M. Najib Abdul Qodir mengelola Madrasatul Huffazh, KH Zainal Abidin mengelola takhassus, dan lain-lain.
[2]  Wawancara dengan Drs. KH Asyhari Abta dan KH Henri Sutopo, pada tanggal 17-07-2010.
[3]  Abu Asma Anshari dkk,  Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 tahun K.H.A. Mustofa Bisri.  Semarang: HMT Foundation, 2005, hal. 55-56.
.... Kata K.H. Zainal Abidin: ”Wah ... ya enggak bisa Mus. Kamu kan tahu sendiri yang sudah lulus dan menjalani pengabdian mengajar satu tahun saja belum tentu saya beri ijazah. Lha kamu lulus saja tidak, kok minta ijazah. Nanti bagaimana pertanggungjawabanku di yaumil hisab?”.....
Untungnya, lain Kiai Zainal lain Kiai Ali. Rupanya bagi Kiai Ali, peraturan itu tidak mesti berlaku ketat untuk semua santri. ”Sudah nanti saya buatkan surat keterangan”, kata Kiai Ali menjanjikan. ”Kiai Zainal itu pangkatnya kan tinggi saya. Dia cuma direktur sekolah, sedangkan saya direktur pesantren yang membawahi sekolahan”, kata Kiai Ali berkelakar. .....
[4]  Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, CV Dharma Bhakti, t.t., hal. 167
[5]  Ibid, hal. 168-169.
[6]   Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1992, halm., 95-96.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar