_______________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
K.H. Ali Maksum sebagai seorang figur pemimpin karismatik
sekaligus pemimpin tradisional, ada sisi-sisi kelebihan dan kelemahan dari pola
kepemimpinan yang beliau kembangkan tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Pertama.
Besarnya karisma semakin memperkokoh kepemimpinan K.H. Ali Maksum di pesantren
Al-Munawwir. Sebagai seorang figur karismatik, K.H. Ali mampu menarik jumlah
santri yang berjumlah ribuan untuk belajar di pesantren Al-Munawwir dan kondisi
ini tidak pernah dialami sebelumnya, terutama sejak beliau dipercaya menjadi Rois
’Am PBNU (1981-1984) dan puncaknya ketika pesantren Al-Munawwir Krapyak
dijadikan sebagai tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), sehingga nama pesantren
ini terkenal dimana-mana.
Kebesaran nama pesantren ini tentu saja lebih disebabkan
oleh faktor pribadi K.H. Ali. Kebesaran Krapyak sebagai pesantren yang tidak
sekedar mementingkan pengajaran Al-Qur’an, tetapi juga maju dalam pengajaran Kitab
Kuning, mendorong santrinya memiliki semangat belajar secara otodidak,
mengkaji berbagai literatur ulama salaf dan khalaf (modernis), dan berwawasan
luas, adalah mencitrakan pribadi dan kedinamisan sang kiai. Oleh karena kebesaran pesantren sangat
tergantung pada figur kiai, sementara penggantinya tidak memiliki karisma
sebesar yang dimiliki oleh kiai sebelumnya, tentu kebesaran nama pesantren
tersebut tidak akan bertahan lama dan kembali menjadi redup sinarnya. Hal
itulah yang terjadi di pesantren Al-Munawwir sepeninggal K.H. Ali Maksum, yakni
menjadi sebuah pesantren yang kurang diperhitungkan lagi di pentas Nasional,
apalagi di pentas Internasional.
Memang, dengan gaya kepemimpinan karismatik ini segala
ajaran, perintah, instruksi, dan gagasan
K.H. Ali dapat dijalankan secara lancar dan efektif oleh para santri, ustadz
dan para kiai pembantunya tanpa ada hambatan psikologis yang berarti. Motivasi
dan nasehat yang diberikan kiai diterima santri sebagai sesuatu yang
mencerminkan mutu kepribadian sang kiai yang diyakini bersumber dari anugerah
Allah, sehingga tidak sedikit diantara para santri yang memiliki loyalitas yang
tinggi kepada kiai, bahkan mereka nyaris mengorbankan apa saja (harta, tenaga,
nyawa) demi ketaatannya pada kiai. Namun di sisi lain, gaya karismatik ini
justru mendorong K.H. Ali memperkokoh bangunan otoritas tunggal. Beliau
cenderung bertindak otoriter, semauanya sendiri tanpa memperhatikan unsur
musyawarah, rasionalitas dan aturan legal formal, sehingga tata tertib atau tata
aturan yang berlaku di pesantren menjadi mandul dan tidak efektif. Sekalipun
K.H. Ali telah mendistribusikan kekuasaannya kepada beberapa kiai pembantunya
untuk mengelola urusan tertentu[1], namun mereka tidak dapat
menjalankannya secara efektif, kreatif dan independen, disebabkan kebijakan dan
kreatifitas mereka terkadang berbenturan atau terganjal oleh gaya otoriter K.H.
Ali. Akibatnya, perkembangan pesantren menjadi lamban.
Beberapa kasus di lembaga MTs dan MA membuktikan tindakan
otoriter kiai Ali tersebut, diantara contohnya ialah : beberapa siswa yang
diputuskan tidak naik kelas oleh rapat dewan guru disebabkan karena buruknya
nilai, sering bolos dan tidak masuk sekolah, serta merta dinaikkan oleh kiai;
judul dan materi kitab sebagai bahan pelajaran siswa selalu berubah-ubah
tergantung kemauan kiai; setiap siswa baru diseleksi sendiri dan ditentukan
kelasnya oleh kiai; beberapa atau seluruh siswa yang sedang mengikuti pelajaran
didalam suatu kelas tiba-tiba diminta keluar untuk diajak bekerja bakti membersihkan
lingkungan pesantren[2].
K.H.A. Mustofa Bisri |
K.H.A. Mustofa Bisri pernah belajar di pesantren
Al-Munawwir selama 3 tahun dan belum sempat lulus beliau sudah ”boyongan”
(pulang kampung). Sewaktu akan melanjutkan belajarnya ke Universitas
Al-Azhar Mesir, beliau minta dibuatkan surat keterangan/ijazah tingkat
Aliyah sebagai syarat masuk ke Universitas Al-Azhar, tetapi ditolak oleh K.H.
Zainal Abidin selaku kepala sekolahnya, dengan alasan karena beliau memang
belum lulus. Namun oleh K.H. Ali, surat keterangan/ijazah tersebut beliau buatkan sendiri, tanpa
sepengetahuan K.H. Zainal Abidin.[3]
K.H. Abdurrahman Wachid |
Oleh karena gaya otoriter tersebut, maka distribusi
kekuasaan dan tata aturan di pesantren Al-Munawwir menjadi tidak efektif, dan
para kiai pembantu tidak dapat mengembangkan bakat dan kreatifitasnya, sehingga perkembangan pesantren ke dapan
menjadi lamban dan tidak menentu. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh K.H.
Abdurrahman Wachid, bahwa watak kepemimpinan karismatik kiai pesantren
menyebabkan belum menetapnya pola kepemimpinan di pesantren selama ini.[4] Di samping masih ada empat
kerugian lagi, yaitu:
1. Munculnya ketidakpastian dalam perkembangan
pesantren, karena segala sesuatu tergantung pada keputusan kiai;
2. Para tenaga pembantu kiai, termasuk
didalamnya calon pengganti, kesulitan mengembangkan daya kreatifitasnya karena
terganjal oleh tindakan otoriter sang kiai;
3. Pola penggantian pimpinan berjalan secara
tiba-tiba dan tidak direncanakan sebelumnya secara matang; keempat, terjadinya
pembauaran dan tumpang tindih dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren.[5]
Kelemahan lain dari kepemimpinan karismatik ini ialah
bahwa masyarakat yang terbiasa mengikuti pemimpin karismatik menjadikan dirinya
merasa tergantung kepada nasehat, bimbingan dan kemampuan sang pemimpin. Dalam
kondisi seperti ini, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan di tengah
masyarakat pada saat sang pemimpin karismatik meninggal dunia, sementara itu
tidak ada seorang pengganti yang memiliki kualitas karisma yang setara.
Kedua. Besarnya
karisma pada diri K.H. Ali Maksum memposisikan dirinya sebagai figur sentral.
Sebagai figur sentral, beliau dipadang sebagai sumber utama dalam soal
kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan misi pesantren. Seluruh penyelenggaraan
pesantren, maju mundurnya pesantren, dan segala
persoalan di pesantren tergantung pada kemauan dan seleranya
sendiri. Dengan begitu, beliau merupakan
inti dari pesantren itu sendiri. Beliau laksana seorang raja yang memiliki
otoritas tunggal didalam kerajaan kecil pesantren. Hal ini menumbuhkan kesan
bahwa pesantren adalah miliknya. Corak kepemimpinan semacam ini dapat dikatakan
sebagai kepemimpinan individual.
Kondisi kepemimpinan semacam ini menyebabkan sang kiai
merasa memiliki wewenang dan kekuasaan secara mutlak, dan pada gilirannya nanti
sang kiai cenderung bersikap tertutup untuk menerima usulan strategik,
pemikiran-pemikiran jenius dan kritik konstruktif dari orang luar dalam rangka
pengembangan pesantren di masa depan. Corak kepemimpinan yang bersifat
indivivual ini akan berakibat fatal bagi perkembangan pesantren di masa depan,
sekaligus terjadinya krisis kepemimpinan, manakala putra mahkota atau calon
pengganti tidak mampu melanjutkan kepemimpinan sang kiai, disebabkan tidak
memiliki karisma sebesar yang dimiliki sang kiai, dan juga tidak memiliki
kualitas pribadi, penguasaan ilmu, dan kemampuan dalam mengelola lembaga.
Sehubungan dengan uraian di atas, Nurcholis Madjid
mencoba mendata kelemahan-kelemahan dari kepemimpinan kiai semacam ini, yaitu:
1. Pola kepemimpinan karismatik cukup
menunjukkan segi tidak demokratisnya disebabkan tidak rasional dan akan
kehilangan kualitas demokratisnya.
2. Oleh karena kepemimpinan kiai bersifat
karismatik, maka dengan sendirinya kepemimpinannya juga bersifat pribadi atau
personal. Implikasinya, kepemimpinan kiai tidak mungkin dapat diganti oleh
orang lain dan sulit ditundukkan oleh aturan-aturan administrasi dan managemen
modern.
3. Seorang kiai selain sebagai pemimpin agama
juga sebagai penggerak massa dalam masyarakat feodal (religio-feodalisme).
Feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan akan lebih
berbahaya daripada feodalisme biasa.
4. Karena
dasar kepemimpinannya seperti itu, maka faktor kecakapan, skill atau kemampuan
teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini menjadi salah satu penyebab
pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan jaman.[6]
Ketiga. Suksesi kepemimpinan kiai sebagian besar pesantren,
termasuk di pesantren Al-Munawwir, adalah berlaku seumur hidup dan estafet
kepemimpinannya diwariskan secara turun-temurun dari kiai ke para putra
lelakinya, menantu lelakinya dan cucu-cucu lelakinya, diantaranya melalui
proses penunjukan dari kiai, penyiapan putra mahkota, atau wasiat. Dengan begitu, kaderisasi yang dilakukannya
hanya terbatas pada keturunan dan keluarga pesantren.
Model suksesi dan kaderisasi semacam itu di satu sisi
terdapat kelebihan, diantaranya bahwa proses pergantian kepemimpinan semacam
ini relatif lebih lancar dan aman, tanpa menimbulkan gejolak dan hambatan yang
berarti. Selain itu, para calon yang dikader tentu lebih memiliki kesiapan
daripada yang tidak dikader. Namun kekurangannya ialah jika mereka yang
dipersiapkan tersebut ternyata kurang mumpuni atau tidak memiliki kualitas
pribadi yang setara dengan pemimpin sebelumnya, baik dari segi besarnya
karisma, luasnya wawasan, penguasaan keilmuan, maupun dari segi kemampuan dalam
pengelolaan lembaga, maka akan berakibat fatal pada kemunduran lembaga yang
dipimpinnya di masa depan, karena tipe kepemimpinan tradisional dan karismatik
itu identik dengan figur pemimpin itu sendiri, sehingga kaberhasilan dan
kegagalannya sangat ditentukan oleh faktor pribadi pemimpinnya.
KH Zainal Abidin |
Kelemahan lainnya, bahwa proses estafet kepemimpinannya
terkadang menimbulkan kekisruhan dan perebutan kepemimpinan, kalau hal itu
tidak ada penunjukan yang jelas atau secara langsung dari kiai (pemimpin) yang
bersangkutan tentang siapa yang bakal menggantikannya. Kekisruhan semacam itu pernah terjadi di pesantren
Al-Munawwir sepeninggal K.H. Ali Maksum, antara K.H. Zainal Abidin Munawwir dan
K.H. Atabik Ali.
KH A. Warson |
K.H. Dalhar |
Keempat.
Pola kepemimpinan pesantren pada umumnya, dan di pesantren Al-Munawwir pada
khususnya, masih kental dengan unsur-unsur kekuasaan patrimonial yang
bertumpu pada ikatan keluarga. Kepemimpinannya lebih bersifat paternalistik
(bapakisme). Dalam hal ini, orang-orang yang menjabat pimpinan dan menduduki
posisi-posisi penting di pesantren dijabat oleh anggota keluarga besar pesantren,
yaitu mereka yang memiliki hubungan keluarga, darah/nasab, perkawinan, dan
hubungan yang sangat intim antara kiai dan santri. Segi kualitas
kepribadiannya, luas-dalamnya pengetahuan, kemampuannya dalam pegelolaan
lembaga, dan segi profesionalitas, terkadang diabaikan dan tidak menjadi
prioritas utama. Hal ini dibuktikan selama periode kepemimpinan Tiga Serangkai dan periode kepemimpinan K.H. Ali Maksum,
bahwa jabatan strategis dan penting di pesantren Krapyak dijabat oleh keluarga
pesantren, seperti K.H. Zainal Abidin Munawwir sebagai kepala Madrasah Aliyah
Salafiyah sekaligus sebagai wakil umum kepengasuhan pesantren; K.H.A. Warson
Munawwir sebagai pengasuh pengajian kitab di komplek Q; K.H. Dalhar Munawwir
dan K.H. Mufid Mas’ud (Menantu K.H.M. Munawwir) sebagai pengasuh santri putri
dengan segala aktifitas pengajarannya di komplek N; K.H. Ahmad Munawwir dan
K.H. Muhammad Najib Abdul Qodir sebagai pengasuh dan pengelola Madrasatul
Huffazh; K.H. Zaini Munawwir, Nyai Badriyah Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah
Munawwir, Nyai Hj. Durrotun Nafisah Ali, dan Nyai Hj. Lutfiyah Jirjis menangani
pengajaran Al-Qur’an untuk santri dari masyarakat sekitar pesantren; K.H.
Masyhuri AU (menantu K.H. Abd. Qodir) sebagai kepala MTs Al-Munawwir; K.H.M. Hasbullah (menantu K.H. Ali) menjadi
kepala MA Al-Munawwir). Selain keluarga, beberapa santri senior yang memiliki
hubungan sangat dekat dengan K.H. Ali pun dipercaya menduduki jabatan penting
lainnya seperti K.H. Asyhari Abta, K.H. Henri Sutopo, K.H. Munawwir AF, dan
lain-lain. Maka sangat sulit bagi orang-orang luar pesantren untuk menduduki
jabatan-jabatan penting di pesantren, kecuali sekedar sebagai guru biasa atau
tenaga administratif, karena mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan
seperti uraian di atas, sekalipun mereka memiliki kecakapan, kemampuan, dan keilmuan
lebih, serta lebih profesional.
[1] Misalnya KHM
Hasbullah sebagai kepala Madrasah Aliyah, Al-Munawwir, KH Masyhuri AU sebagai kepala MTs Al-Munawwir,
KH Dalhar Munawwir mengelola santri putri dan Madrasah Diniyah Banat, KH Ahmad
Munawwir dan K.H.M. Najib Abdul Qodir mengelola Madrasatul Huffazh, KH Zainal
Abidin mengelola takhassus, dan lain-lain.
[2] Wawancara dengan
Drs. KH Asyhari Abta dan KH Henri Sutopo, pada tanggal 17-07-2010.
[3] Abu Asma Anshari
dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus,
Refleksi 61 tahun K.H.A. Mustofa Bisri. Semarang: HMT Foundation, 2005, hal. 55-56.
.... Kata K.H. Zainal Abidin: ”Wah ... ya
enggak bisa Mus. Kamu kan tahu sendiri yang sudah lulus dan menjalani
pengabdian mengajar satu tahun saja belum tentu saya beri ijazah. Lha kamu
lulus saja tidak, kok minta ijazah. Nanti bagaimana pertanggungjawabanku di
yaumil hisab?”.....
Untungnya, lain Kiai Zainal lain Kiai Ali. Rupanya
bagi Kiai Ali, peraturan itu tidak mesti berlaku ketat untuk semua santri. ”Sudah
nanti saya buatkan surat keterangan”, kata Kiai Ali menjanjikan. ”Kiai
Zainal itu pangkatnya kan tinggi saya. Dia cuma direktur sekolah, sedangkan
saya direktur pesantren yang membawahi sekolahan”, kata Kiai Ali
berkelakar. .....
[4] Abdurrahman Wahid,
Bunga Rampai Pesantren, CV Dharma Bhakti, t.t., hal. 167
[5] Ibid, hal.
168-169.
[6] Nurcholish Madjid,
Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1992, halm., 95-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar