_____________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Para ahli pendidikan memandang metode sebagai suatu alat
yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan-pengajaran
Islam, sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan ”الطَّرِيْقَةُ اَهَمُّ مِنَ الْمَادَّةِ ”, bahwa metode lebih penting daripada penguasaan materi.[1] Penerapan berbagai metode dalam pengajaran
pada hakekatnya ialah diarahkan untuk menunjang keberhasilan proses belajar
mengajar agar murid dapat menguasai materi pendidikan agama Islam dan berbagai
kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Masing-masing
materi yang harus dikuasai murid dalam proses pembelajarannya tentu saja
menggunakan berbagai jenis metode yang berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupinya, sehingga seorang guru sebelum menerapkan metode
pengajarannya dituntut untuk memperhatikan dan mengetahui seberapa besar tingkat kesulitan materi,
jenis dan karakteristik materi, serta tingkat perkembangan intelektual dan
kejiwaan murid.
Atas dasar itu penulis ingin mengungkap bagaimana metode
yang digunakan K.H. Ali Maksum dalam mengajarkan berbagai Kitab Kuning
untuk mewujudkan tujuan pendidikan dan missi pesantren sebagai lembaga
”pencetak ulama”. Untuk mengungkap metode beliau ini, penulis akan memfokuskan
pembahasannya pada metode yang beliau gunakan dalam beberapa aktifitas
pengajaran Kitab Kuning pada sistem weton, sistem sorogan,
dan pengajaran shorof.
Metode Pengajaran Sistem Weton
Sistem
pengajaran yang digunakan K.H. Ali Maksum pada masa-masa awal dan masa-masa
selanjutnya ialah dengan menggunakan sistem weton/halaqoh.
Dalam
penyelenggaraan sistem pengajaran weton ini, santri tidak harus
menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kiai
biasanya membaca dan menerjemahkan secara cepat teks kitab yang dirasa sulit,
dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Sementara itu, santri mendengar
sambil meng-harokati (memberi syakal) dan ngesahi/jenggoti
(mencatat makna gandul) didalam kitabnya. Dengan cara ini, kiai dapat
mengkhatamkan kitab-kitab pendek atau tipis dalam beberapa minggu saja.[2]
Penerapan
sistem pengajaran weton di pesantren-pesantren pada umumnya dalam
kenyataannya memang memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun demikian, K.H.
Ali Maksum berusaha untuk meminimalisir kelemahannya dan meningkatkan segi
efektifitas pengajarannya, sehingga hal ini dapat diandalkan untuk meningkatkan
kualitas keilmuan para alumni.
Kelebihan
dari sistem weton secara umum antara lain :
a. Sistem ini tidak terlalu banyak membutuhkan
sarana-prasarana (meja, kursi) dan tempat yang ideal. Yang penting ada suatu
tempat, misalnya di ruang inti masjid atau serambinya, di kamar, ataupun di
ruangan apapun, untuk melakukan pengajaran.
b. Oleh karena tidak membutuhkan ruangan khusus,
maka dengan sistem weton ini, berapapun jumlah santri yang mengikutinya
dapat tertampung dalam satu majlis halaqah.
c. Sistem weton sangat disukai para
santri daripada sistem sorogan, karena mereka hanya datang, mendengarkan
bacaan kitab dan keterangan sekedarnya dari kiai, serta ngesahi/jenggoti (membuat
catatan makna gandul secara harfiyah) didalam kitabnya.
d. Penyelenggaraan pengajaran sistem weton
pada umumnya tidak menggunakan daftar kehadiran/absensi, dan para santri mengikuti
atas dasar kesadarannya, sehingga mereka merasa bebas dan nyaman untuk
mengikutinya ataupun tidak, terlambat datang ataupun tidak. Apalagi dalam
sistem ini tidak ada ujian pada akhir pengajaran. Keilmuan yang diperoleh dari
belajar atas dasar kesadaran sendiri tentu saja lebih berkualitas daripada atas
dasar keterpaksaan dan tekanan absensi.
e. Sebagian besar materi kajian kitab di
pesantren berhubungan dengan ilmu-ilmu terapan seperti fiqih, tasawwuf dan ilmu
alat. Sehabis mempelajari isi/teori kitab tersebut, para santri biasanya
langsung dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu mereka
membahas hasil prakteknya untuk diuji kembali dengan teori yang mereka
pelajari, dan seterusnya, sehingga keberlangsungan antara teori dan praktek
yang secara terus menerus ini pada gilirannya dapat membentuk kepribadian
santri.
f. Tingkat keberhasilan santri dalam
mempelajari dan menguasai Kitab Kuning banyak ditentukan oleh ketekunan,
kerajinan, kedisiplinan dan kemampuan daya nalar/kecerdasan individu. Semakin
cerdas, rajin, disiplin dan tekun seorang santri, maka semakin cepat ia dapat
menguasai isi kandungan kitab, dan dapat mengikuti kajian kitab-kitab
berikutnya yang lebih tinggi.
g. Motivasi keagamaan, yaitu niat lillahi
ta’ala atau Li i’lai kalimatillah dalam mengikuti pengajian
merupakan faktor pendorong bagi individu santri untuk lebih bersemangat dan
giat lagi [3],
karena dengan niat yang benar ini maka apa yang dilakukan kiai dan santri dalam
proses belajar mengajarnya diyakini sebagai perbuatan beribadah dan
mendatangkan keberkahan.
Sedangkan
kekurangan dari pengajaran sistem weton secara umum antara lain :
a. Sistem ini menjadikan para santri bersikap
pasif, karena mereka hanya mendengarkan sambil meng-harokati dan njenggoti/ngesahi
teks kitab, tanpa ada
kesempatan dialog atau tanya jawab antara kiai dan santri.
b. Tidak adanya sistem absensi dan ujian akan
berakibat buruk bagi kesuksesan santri dalam menuntut ilmu, yaitu :
1). Tidak adanya kedisiplinan dan kerutinan dalam
belajar santri, sehingga ilmu yang didapatkannya tidak sempurna dan urut;
santri hanya mendapatkan ilmu tentang beberapa bab, tetapi tidak pada bab yang
lain. Di samping berakibat pada berlarut-larutnya masa belajar santri.
2). Tidak adanya semangat bagi santri untuk tekun
mempelajari kembali Kitab Kuning-nya, karena tidak adanya tantangan
untuk mengikuti ujian. Pada gilirannya nanti, santri tidak mampu mengungkap isi
kandungan suatu kitab.
3). Mendorong santri bebas memilah dan memilih
guru yang disukai dan yang tidak disukai, sehingga terjadi fenomena dimana
pengajian yang diadakan guru yang disukai para santri terlihat banyak jumlah
santri yang mengikutinya, sementara guru yang tidak disukai nampak sedikit
jumlah santri yang mengikutinya. Padahal menurut tradisi pesantren, santri
tidak boleh menaruh rasa tidak suka, apalagi benci, kepada guru, karena dapat
menghilangkan nilai keberkahan dan berakhir dengan ketidakmanfaatan ilmu yang
dituntut.
c. Sebagian besar orientasi keilmuan yang
diajarkan melalui sistem weton ini dititikberatkan pada ilmu-ilmu
terapan[4]
seperti fiqih, tasawuf dan ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah),
sementara ilmu-ilmu yang dapat mengembangkan wawasan dan menajamkan penalaran santri
seperti tarikh, matiq, usul fiqh, tarikh tasyri’ dan sejenisnya kurang
mendapatkan perhatian serius, sehingga santri bersikap pasif dan tidak terlatih
mengembangkan pemikirannya.
d. Sebagian santri mengikuti pengajian dilandasi
motivasi dan keyakinan untuk mendapatkan keberkahan (ngalap berkah) dari
guru, sehingga hal ini dapat menurunkan semangat santri untuk rajin belajar mempelajari
ilmu, atau santri tidak terdorong untuk memperoleh pemahaman yang mendalam.
e. Pada umumnya kiai yang mem-balah
(membaca) Kitab Kuning menargetkan khatam dalam waktu singkat, sehingga kiai
lebih mementingkan pembacaan teks secara cepat beserta makna terjemah lafzhiyahnya
daripada memahami, mendalami dan mengulas secara mendalam isi kandungan kitab.
Akibatnya, santri hanya mampu membaca secara tekstual dan tidak terlatih untuk
memahami isi kandungannya.
f. Para santri sulit dipantau dan dievaluasi
sejauh mana tingkat kemampuannya dalam memahami materi kitab yang dibaca kiai,
karena mereka hanya dituntut untuk mendengar, memberi harokat (syakal)
dan ngesahi/njenggoti kitabnya saja, tanpa ada kesempatan untuk berdialog
atau bertanya jawab antara kiai dan santri.
Untuk
mengatasi kelemahan dan meningkatkan segi efektifitas pengajaran sistem
weton tersebut, sehingga dapat diperoleh hasil keilmuan yang maksimal dan
berkualitas, maka K.H. Ali mencoba melakukan pembenahan terhadap orientasi dan
metode pengajarannya antara lain:
a. Orientasi pengajarannya lebih mementingkan
pemahaman terhadap isi kandungan teks daripada sekedar mengejar target khatam,
dengan cara memberikan ulasan dan tinjauan terhadap teks secara luas dan
mendalam, lalu dikaitkan dengan suatu kasus tertentu dan kondisi kekinian
masyarakat.
b. Menggunakan metode pengajaran yang bervariasi
dan disesuaikan dengan situasi-kondisi kejiwaan santri.
c. Terhadap kelompok-kelompok pengajian Kitab
Kuning bagi santri yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, maka
diterapkan-lah sistem absensi yang dikaitkan dengan persyaratan mengikuti ujian
semester[5]
dan diadakan ujian kemampuan membaca kitab (qiro`atul kutub) oleh ustadz
yang bersangkutan.
Dengan
begitu, para santri sangat antusias mengikuti kelompok-kelompok pengajian weton,
terutama yang di-balah langsung oleh K.H. Ali Maksum, dan lagi pula
metode yang digunakannya sangat beragam dalam setiap pengajiannya. Hal ini
dibuktikan dengan membanjirnya para santri yang mengikuti setiap pengajiannya.
Barangkali inilah yang membedakan antara orientasi dan pengajaran di Pesantren
Al-Munawwir Krapyak dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya.
Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren
Al-Munawwir Krapyak yang langsung di-balah oleh K.H. Ali Maksum pada era tahun 1980-an
diadakan tiga kali dalam satu minggu, yaitu setiap malam hari Selasa, Rabu dan
Kamis, sedangkan malam hari Sabtu, Ahad dan Senin di-balah oleh K.H.M.
Hasbullah dengan materi kajian kitab Tafsir Jalalain. Waktunya sehabis
shalat maghrib (+ 18.00 WIB) sampai ba’da isya’ (+ 19.30 WIB)
selama satu setengah jam. Selama tiga hari itu dikaji sebuah kitab, begitu
seterusnya sampai khatam, lalu diganti dengan kitab baru lainnya dan begitu seterusnya
sampai khatam, sehingga satu kitab dapat dikhatamkan antara dua sampai tiga
tahun lebih. Pesertanya mulai dari para santri tingkat Madrasah Aliyah, santri
mahasiswa atau sekolah umum, sampai santri takhassus, sedangkan santri tingkat
Madrasah Tsanawiyah mengikuti pengajaran Al-Qur’an dan beberapa kelompok
pengajian weton yang di-balah oleh beberapa ustadz senior. Kitab
Kuning yang pernah dikaji K.H. Ali
Maksum selama kurun waktu 10 tahun (antara tahun 1979 s/d 1989) secara
berurutan meliputi :
a. Kitab Al-Majalisus Saniyyah
(المجالس السنية), sebuah kitab
syarah hadis Arba’in Nawawi.
b. Kitab Nashoihul ’Ibad (نصائح العباد), sebuah kitab
yang berisi nasehat-nasehat diniyyah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad
Nawawi al-Banteni.
c. Kitab Riyadhus Sholihin (رياض الصالحين), sebuah kitab
kumpulan Hadis Shohih tulisan Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi.
Proses pengajaran kitab Riyadhus
Sholihin[6]
dapat digambarkan sebagai berikut :
Para santri mendatangi tempat
pengajian ”Gedung Baru”[7] dan menempati kursi yang
tersedia sampai penuh, sedangkan yang tidak kebagian kursi mengambil tempat
diluar gedung. Mereka mengawali kegiatan dengan membaca Manzhumal al-Asmaul
Husna[8] secara
bersama-sama sampai selesai, sambil menunggu kedatangan K.H. Ali Maksum memasuki
ruangan. Setelah memasuki ruangan, duduk dan memijat tombol mick pengeras
suara,[9] kiai kemudian mengucapkan
salam, basmalah, diteruskan membaca teks sebuah hadis atau beberapa buah hadis
secara lengkap dalam kitab Riyadhus Sholihin, lalu menerjemahkan
kata-perkata (makna lafzhiyyah) kedalam bahasa Jawa, dan terkadang
diselipi dengan penjelasan tentang kedudukan nahwiyah-nya. Sementara itu
santri ngesahi/jenggoti atau membuat catatan makna lafzhiyah yang
sulit/belum diketahuinya kedalam kitabnya, dengan tulisan arab ”pego”
(arab Jawi) secara miring/condong ke kiri atau lambang huruf tertentu yang
diletakkan di depan bagian atas suatu lafazh, yang berfungsi untuk menunjukkan
kedudukan nahwiyah lafazh tersebut dari keseluruhan ”kalam” atau
”jumlah mufidah” (jumlah fi’liyah dan ismiyah).[10] Sebelum mengkaji isi
kandungannya, biasanya kiai membahas secara sepintas status/derajat hadis (shohih,
hasan dan dhoif-nya), tinjauannya tentang status rowi hadis
dan asbabul wurud-nya. Kiai kemudian memberikan penjelasan, ulasan atau
tinjauan secara luas dan dalam terhadap satu atau beberapa teks hadis yang
dibaca sebelumnya. Bahkan penjelasannya terkadang dihubungkan dengan suatu
kasus terbaru atau kejadian sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat,
disertai nasehat-nasehat dan motivasi untuk meningkatkan amal shaleh. Terkadang
di tengah-tengah penjelasannya itu diselipi dengan sejarah, kisah atau cerita
yang berkaitan dengan materi, dan juga diselingi dengan humor atau guyonan
segar, sehingga suasana pengajian tidak nampak serius dan tegang, tetapi penuh
dengan keceriaan dan semangat.
Dari paparan diatas dapatlah
disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan metode pengajaran K.H. Ali
Maksum, sebagai berikut:
a. Beberapa Metode Pengajaran yang
digunakan:
1). Metode Pepujian/dzikir.
Metode yang dilakukan sebelum pengajian dimulai dengan cara membaca Manzhumah
Asmaul Husna yang berisi pepujian dan doa-dzikir dengan
menyebut-nyebut Asma’ Allah ini dapat meningkatkan rasa beriman dan taqarrub
kepada Alloh, serta dapat menciptakan ketenangan dan ketentraman jiwa santri.
Ketentraman jiwa inilah yang pada akhirnya nanti dapat menciptakan konsentrasi
santri dalam belajarnya.
2). Metode Ceramah/Kuliah.
Metode ini mendominasi proses pengajaran sistem weton. Dalam metode ini
yang aktif adalah kiai, sedangkan santri bersikap pasif, yakni sekedar
mendengar dan menerima penjelasan apa adanya. Terus menerus mempergunakan
metode ini dapat menyebabkan santri merasa jenuh, bosan dan akhirnya mengantuk.
Akibatnya, materi pelajaran tidak
sepenuhnya dapat terserap oleh daya nalar santri. Untuk mengatasi kelemahan
ini, diperlukan metode pengajaran yang bervariasi, diantaranya adalah metode
kisah/cerita, motivasi dan reinforcement (mendorong semangat), dialog, dll.
3). Metode kisah/cerita. Metode yang diselipkan di tengah-tengah ceramah ini
dapat mengatasi kejenuhan dan dapat meningkatkan konsentrasi pikiran santri
pada materi pokok. Dengan metode ini diharapkan santri dapat melakukan ’ibrah
(perenungan atas peristiwa), santri akan lebih mudah memahami materi/teori
dan pada akhirnya terdorong untuk
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mencontoh dan
mensuriteladani kehidupan tokoh/figur yang dikisahkan tersebut.
4). Metode motivasi dan reinforcement
(mendorong semangat). Dalam prakteknya, metode ini diterapkan melalui
pemberian nasehat (mau’izhah hasanah), motivasi berupa janji pahala dan
ancaman siksa (targhib wat tarhib) serta kisah/cerita kehidupan penghuni
surga dan neraka. Metode
ini sangat bermanfaat mendorong santri untuk mempraktekkan ilmu atau teori
dalam kehidupan sehari-harinya, mendorongnya untuk ber-musabaqoh
(berlomba-lomba) dalam kebaikan, serta meningkatkan amal sholeh dan menghindari
keburukan.
5). Humor dan guyonan segar di tengah-tengah
pengajian mampu mengatasi kejenuhan, kebosanan dan ketegangan suasana, serta
mampu membangkitkan keceriaan, semangat dan konsentrasi santri untuk mengikuti
pengajaran, selama hal ini dilakukan sekedarnya dan tidak terus menerus dari
awal hingga akhir pengajaran. Guyonan segar sering digunakan K.H. Ali
Maksum untuk mengkritik, mengkoreksi atau menyindir (al-Tanqibiyyah)
perilaku para santri yang dipandangnya nyeleneh, kurang pantas atau
menyimpang secara moral dengan tanpa menyebut identitas santri. Dengan metode
ini para santri diharapkan secara sukarela dapat memperbaiki perilakunya, tanpa
merasa sakit hati, malu atapun tersinggung.
b. Penjelasan K.H. Ali Maksum yang
selalu dikaitkan dengan suatu kasus tertentu dan segala peristiwa dalam
kehidupan nyata di tengah masyarakat menjadikan ilmu yang diperoleh santri
tidak sekedar bersifat teoritis, namun juga bersifat fungsional sehingga mudah
untuk diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
c. Dengan metode pengajaran yang
bervariasi tersebut, K.H. Ali mampu menciptakan iklim belajar yang kondusif
untuk mendorong tercapainya keberhasilan dalam proses belajar mengajar secara
efektif, sehingga santri dapat
menguasai materi dan berbagai kompetensi yang diharapkan.
d. Orientasi pengajaran sistem weton
model K.H. Ali lebih dititikberatkan pada segi pemahaman dan pendalaman isi
kandungan Kitab Kuning, dan tidak sekedar mengungkap makna lafzhiyah
saja. Target yang ingin dicapai ialah bagaimana santri mampu mengungkap makna
lafzhiyah disertai dengan memahami isi kandungannya. Oleh karena itu, untuk
mengkhatamkan sebuah kitab terkadang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih
dari satu tahun, tergantung tebal-tipisnya kitab yang dikaji. Barangkali inilah yang membedakan orientasi pengajaran sistem
weton di pesantren Al-Munawwir Krapyak dengan pesantren-pesantren salaf
pada umumnya. Meskipun memerlukan waktu yang relatif lama, para santri sangat
antusias, apalagi metode yang digunakan K.H. Ali sangat beragam dalam setiap
pengajiannya, tergantung situasi dan kondisi. Hal ini dibuktikan dengan
membanjirnya para santri yang mengikuti setiap pengajian yang di-balah
atau diajarkan secara langsung oleh K.H. Ali Maksum.
[1] A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press,
2008, cet.1. halm 133
[2] Zamakhsyari Dhofier,
op.cit., halm. 30
[3] Menurut K.H. Ali
Maksum, bahwa niat atau motivasi dalam thalabul ilmi yang dilakukan
secara ikhlas lillahi ta’ala, lii’lai kalimatillah atau
semata-mata untuk kepentingan ilmu dan untuk diamalkan serta untuk diabdikan
kepada masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ta’lim
al-Muta’allim, merupakan daya pendorong dan perangsang yang dapat
mengarahkan langkah santri untuk sukses memperoleh ilmu yang bermanfaat.
(Samsul Munir Amin, op.cit., Halm. 187-188)
[4] Yang dimaksud
dengan “ilmu terapan” di sini ialah ilmu-ilmu yang perlu diketahui dan
segera diterapkan atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
[5] Santri yang
tingkat ketidakhadirannya (tanpa disertai alasan yang dibenarkan) lebih dari 25
% tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. (Wawancara dengan Drs. K.H.
Asyhari Abta, 04-09-2010)
[6] Kitab ini di-balah
K.H. Ali pada sekitar tahun 1987 sampai wafatnya (1989), dan belum sampai
khatam.
[7] “Gedung Baru”
merupakan salah satu nama dari beberapa gedung atau lokal tempat pengajaran
yang dibangun atas sumbangan dari Presiden Soeharto (pemerintah pusat) pada era
tahun 1970-an. Disebut gedung baru karena pada saat itu merupakan
satu-satunya gedung terbaru dari sekian puluh gedung yang ada.
[8] Manzhumah
al-Asmaul Husna merupakan bacaan dzikir Al-Asmaul Husna sekaligus
berisi doa dalam bentuk nazhoman (syi’ir), tulisan Syaikh Yusuf bin
Ism’ail an-Nabhani, yang diterima ijazah-nya oleh K.H. Ali Maksum dari
ayahnya (K.H. Maksum Lasem) dan gurunya (K.H. Dimyati Tremas), dari Syekh
Mahfuzh at-Tirmasi, begitu seterusnya sampai kepada penyusunnya, Syaikh Yusuf
bin Ism’ail an-Nabhani. (Lihat: Achmad Suchaimi, Berdoa dengan Asmaul Husna
dan Sholawat Nabi, Surabaya: RoudhoH, 2006,)
[9] Pengeras suara ini
diatur sedimikian rupa, kabelnya disambungkan ke beberapa pengeras suara yang
di pasang di beberapa tempat strategis, sehingga sampai terdengar jauh keluar
gedung, menjangkau sudut-sudut pesantren dan dapat didengarkan sebagian besar santri.
[10] Misalnya lambang
huruf “م”
untuk mununjukkan kedudukan nahwiyah sebagai mubtada’, diartikan
“utawi”. Lambang huruf “خ” menunjukkan kedudukannya sebagai khobar
diartikan “iku”. Lambang huruf “ف” untuk menunjukkan kedudukan fa’il,
diartikan opo atau sopo, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar