Sabtu, 21 Februari 2015

Metode Pengajaran KH Ali Maksum - (5)

_____________________________
 Oleh : Achmad Suchaimi




Para ahli pendidikan memandang metode sebagai suatu alat yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan-pengajaran Islam, sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan الطَّرِيْقَةُ   اَهَمُّ  مِنَ الْمَادَّةِ ”, bahwa metode lebih penting daripada penguasaan materi.[1]  Penerapan berbagai metode dalam pengajaran pada hakekatnya ialah diarahkan untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar agar murid dapat menguasai materi pendidikan agama Islam dan berbagai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Masing-masing materi yang harus dikuasai murid dalam proses pembelajarannya tentu saja menggunakan berbagai jenis metode yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, sehingga seorang guru sebelum menerapkan metode pengajarannya dituntut untuk memperhatikan dan mengetahui seberapa besar tingkat kesulitan materi, jenis dan karakteristik materi, serta tingkat perkembangan intelektual dan kejiwaan murid.
Atas dasar itu penulis ingin mengungkap bagaimana metode yang digunakan K.H. Ali Maksum dalam mengajarkan berbagai Kitab Kuning untuk mewujudkan tujuan pendidikan dan missi pesantren sebagai lembaga ”pencetak ulama”. Untuk mengungkap metode beliau ini, penulis akan memfokuskan pembahasannya pada metode yang beliau gunakan dalam beberapa aktifitas pengajaran Kitab Kuning pada sistem weton, sistem sorogan, dan pengajaran shorof.


Metode Pengajaran Sistem Weton

Sistem pengajaran yang digunakan K.H. Ali Maksum pada masa-masa awal dan masa-masa selanjutnya ialah dengan menggunakan sistem weton/halaqoh. 
Dalam penyelenggaraan sistem pengajaran weton ini, santri tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kiai biasanya membaca dan menerjemahkan secara cepat teks kitab yang dirasa sulit, dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Sementara itu, santri mendengar sambil meng-harokati (memberi syakal) dan ngesahi/jenggoti (mencatat makna gandul) didalam kitabnya. Dengan cara ini, kiai dapat mengkhatamkan kitab-kitab pendek atau tipis dalam beberapa minggu saja.[2]
Penerapan sistem pengajaran weton di pesantren-pesantren pada umumnya dalam kenyataannya memang memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun demikian, K.H. Ali Maksum berusaha untuk meminimalisir kelemahannya dan meningkatkan segi efektifitas pengajarannya, sehingga hal ini dapat diandalkan untuk meningkatkan kualitas keilmuan para alumni.

Kelebihan dari sistem weton secara umum antara lain :
a.  Sistem ini tidak terlalu banyak membutuhkan sarana-prasarana (meja, kursi) dan tempat yang ideal. Yang penting ada suatu tempat, misalnya di ruang inti masjid atau serambinya, di kamar, ataupun di ruangan apapun, untuk melakukan pengajaran.
b. Oleh karena tidak membutuhkan ruangan khusus, maka dengan sistem weton ini, berapapun jumlah santri yang mengikutinya dapat tertampung dalam satu majlis halaqah.
c.  Sistem weton sangat disukai para santri daripada sistem sorogan, karena mereka hanya datang, mendengarkan bacaan kitab dan keterangan sekedarnya dari kiai, serta ngesahi/jenggoti (membuat catatan makna gandul secara harfiyah) didalam kitabnya.
d. Penyelenggaraan pengajaran sistem weton pada umumnya tidak menggunakan daftar kehadiran/absensi, dan para santri mengikuti atas dasar kesadarannya, sehingga mereka merasa bebas dan nyaman untuk mengikutinya ataupun tidak, terlambat datang ataupun tidak. Apalagi dalam sistem ini tidak ada ujian pada akhir pengajaran. Keilmuan yang diperoleh dari belajar atas dasar kesadaran sendiri tentu saja lebih berkualitas daripada atas dasar keterpaksaan dan tekanan absensi.
e.  Sebagian besar materi kajian kitab di pesantren berhubungan dengan ilmu-ilmu terapan seperti fiqih, tasawwuf dan ilmu alat. Sehabis mempelajari isi/teori kitab tersebut, para santri biasanya langsung dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu mereka membahas hasil prakteknya untuk diuji kembali dengan teori yang mereka pelajari, dan seterusnya, sehingga keberlangsungan antara teori dan praktek yang secara terus menerus ini pada gilirannya dapat membentuk kepribadian santri.
f.  Tingkat keberhasilan santri dalam mempelajari dan menguasai Kitab Kuning banyak ditentukan oleh ketekunan, kerajinan, kedisiplinan dan kemampuan daya nalar/kecerdasan individu. Semakin cerdas, rajin, disiplin dan tekun seorang santri, maka semakin cepat ia dapat menguasai isi kandungan kitab, dan dapat mengikuti kajian kitab-kitab berikutnya yang lebih tinggi.
g. Motivasi keagamaan, yaitu niat lillahi ta’ala atau Li i’lai kalimatillah dalam mengikuti pengajian merupakan faktor pendorong bagi individu santri untuk lebih bersemangat dan giat lagi [3], karena dengan niat yang benar ini maka apa yang dilakukan kiai dan santri dalam proses belajar mengajarnya diyakini sebagai perbuatan beribadah dan mendatangkan keberkahan.
Sedangkan kekurangan dari pengajaran sistem weton secara umum antara lain :
a.   Sistem ini menjadikan para santri bersikap pasif, karena mereka hanya mendengarkan sambil meng-harokati dan njenggoti/ngesahi teks kitab,  tanpa ada kesempatan dialog atau tanya jawab antara kiai dan santri.
b.   Tidak adanya sistem absensi dan ujian akan berakibat buruk bagi kesuksesan santri dalam menuntut ilmu, yaitu :
1).  Tidak adanya kedisiplinan dan kerutinan dalam belajar santri, sehingga ilmu yang didapatkannya tidak sempurna dan urut; santri hanya mendapatkan ilmu tentang beberapa bab, tetapi tidak pada bab yang lain. Di samping berakibat pada berlarut-larutnya masa belajar santri.
2).  Tidak adanya semangat bagi santri untuk tekun mempelajari kembali Kitab Kuning-nya, karena tidak adanya tantangan untuk mengikuti ujian. Pada gilirannya nanti, santri tidak mampu mengungkap isi kandungan suatu kitab.
3).  Mendorong santri bebas memilah dan memilih guru yang disukai dan yang tidak disukai, sehingga terjadi fenomena dimana pengajian yang diadakan guru yang disukai para santri terlihat banyak jumlah santri yang mengikutinya, sementara guru yang tidak disukai nampak sedikit jumlah santri yang mengikutinya. Padahal menurut tradisi pesantren, santri tidak boleh menaruh rasa tidak suka, apalagi benci, kepada guru, karena dapat menghilangkan nilai keberkahan dan berakhir dengan ketidakmanfaatan ilmu yang dituntut.
c.   Sebagian besar orientasi keilmuan yang diajarkan melalui sistem weton ini dititikberatkan pada ilmu-ilmu terapan[4] seperti fiqih, tasawuf dan ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah), sementara ilmu-ilmu yang dapat mengembangkan wawasan dan menajamkan penalaran santri seperti tarikh, matiq, usul fiqh, tarikh tasyri’ dan sejenisnya kurang mendapatkan perhatian serius, sehingga santri bersikap pasif dan tidak terlatih mengembangkan pemikirannya.
d. Sebagian santri mengikuti pengajian dilandasi motivasi dan keyakinan untuk mendapatkan keberkahan (ngalap berkah) dari guru, sehingga hal ini dapat menurunkan semangat santri untuk rajin belajar mempelajari ilmu, atau santri tidak terdorong untuk memperoleh pemahaman yang mendalam.
e.   Pada umumnya kiai yang mem-balah (membaca) Kitab Kuning menargetkan khatam dalam waktu singkat, sehingga kiai lebih mementingkan pembacaan teks secara cepat beserta makna terjemah lafzhiyahnya daripada memahami, mendalami dan mengulas secara mendalam isi kandungan kitab. Akibatnya, santri hanya mampu membaca secara tekstual dan tidak terlatih untuk memahami isi kandungannya.
f.  Para santri sulit dipantau dan dievaluasi sejauh mana tingkat kemampuannya dalam memahami materi kitab yang dibaca kiai, karena mereka hanya dituntut untuk mendengar, memberi harokat (syakal) dan ngesahi/njenggoti kitabnya saja, tanpa ada kesempatan untuk berdialog atau bertanya jawab antara kiai dan santri.

Untuk mengatasi kelemahan dan meningkatkan segi efektifitas pengajaran sistem weton tersebut, sehingga dapat diperoleh hasil keilmuan yang maksimal dan berkualitas, maka K.H. Ali mencoba melakukan pembenahan terhadap orientasi dan metode pengajarannya antara lain:
a. Orientasi pengajarannya lebih mementingkan pemahaman terhadap isi kandungan teks daripada sekedar mengejar target khatam, dengan cara memberikan ulasan dan tinjauan terhadap teks secara luas dan mendalam, lalu dikaitkan dengan suatu kasus tertentu dan kondisi kekinian masyarakat.
b.   Menggunakan metode pengajaran yang bervariasi dan disesuaikan dengan situasi-kondisi kejiwaan santri.
c. Terhadap kelompok-kelompok pengajian Kitab Kuning bagi santri yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, maka diterapkan-lah sistem absensi yang dikaitkan dengan persyaratan mengikuti ujian  semester[5] dan diadakan ujian kemampuan membaca kitab (qiro`atul kutub) oleh ustadz yang bersangkutan.
Dengan begitu, para santri sangat antusias mengikuti kelompok-kelompok pengajian weton, terutama yang di-balah langsung oleh K.H. Ali Maksum, dan lagi pula metode yang digunakannya sangat beragam dalam setiap pengajiannya. Hal ini dibuktikan dengan membanjirnya para santri yang mengikuti setiap pengajiannya. Barangkali inilah yang membedakan antara orientasi dan pengajaran di Pesantren Al-Munawwir Krapyak dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya.
Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren Al-Munawwir Krapyak yang langsung di-balah oleh  K.H. Ali Maksum pada era tahun 1980-an diadakan tiga kali dalam satu minggu, yaitu setiap malam hari Selasa, Rabu dan Kamis, sedangkan malam hari Sabtu, Ahad dan Senin di-balah oleh K.H.M. Hasbullah dengan materi kajian kitab Tafsir Jalalain. Waktunya sehabis shalat maghrib (+ 18.00 WIB) sampai ba’da isya’ (+ 19.30 WIB) selama satu setengah jam. Selama tiga hari itu dikaji sebuah kitab, begitu seterusnya sampai khatam, lalu diganti dengan kitab baru lainnya dan begitu seterusnya sampai khatam, sehingga satu kitab dapat dikhatamkan antara dua sampai tiga tahun lebih. Pesertanya mulai dari para santri tingkat Madrasah Aliyah, santri mahasiswa atau sekolah umum, sampai santri takhassus, sedangkan santri tingkat Madrasah Tsanawiyah mengikuti pengajaran Al-Qur’an dan beberapa kelompok pengajian weton yang di-balah oleh beberapa ustadz senior. Kitab Kuning yang  pernah dikaji K.H. Ali Maksum selama kurun waktu 10 tahun (antara tahun 1979 s/d 1989) secara berurutan meliputi :
a.   Kitab Al-Majalisus Saniyyah (المجالس السنية), sebuah kitab syarah hadis Arba’in Nawawi.
b.   Kitab Nashoihul ’Ibad (نصائح العباد), sebuah kitab yang berisi nasehat-nasehat diniyyah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Banteni.
c.   Kitab Riyadhus Sholihin (رياض الصالحين), sebuah kitab kumpulan Hadis Shohih tulisan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi.

Proses pengajaran kitab Riyadhus Sholihin[6] dapat digambarkan sebagai berikut :

Para santri mendatangi tempat pengajian ”Gedung Baru”[7] dan menempati kursi yang tersedia sampai penuh, sedangkan yang tidak kebagian kursi mengambil tempat diluar gedung. Mereka mengawali kegiatan dengan membaca Manzhumal al-Asmaul Husna[8] secara bersama-sama sampai selesai, sambil menunggu kedatangan K.H. Ali Maksum memasuki ruangan. Setelah memasuki ruangan, duduk dan memijat tombol mick pengeras suara,[9] kiai kemudian mengucapkan salam, basmalah, diteruskan membaca teks sebuah hadis atau beberapa buah hadis secara lengkap dalam kitab Riyadhus Sholihin, lalu menerjemahkan kata-perkata (makna lafzhiyyah) kedalam bahasa Jawa, dan terkadang diselipi dengan penjelasan tentang kedudukan nahwiyah-nya. Sementara itu santri ngesahi/jenggoti atau membuat catatan makna lafzhiyah yang sulit/belum diketahuinya kedalam kitabnya, dengan tulisan arab ”pego” (arab Jawi) secara miring/condong ke kiri atau lambang huruf tertentu yang diletakkan di depan bagian atas suatu lafazh, yang berfungsi untuk menunjukkan kedudukan nahwiyah lafazh tersebut dari keseluruhan ”kalam” atau ”jumlah mufidah” (jumlah fi’liyah dan ismiyah).[10] Sebelum mengkaji isi kandungannya, biasanya kiai membahas secara sepintas status/derajat hadis (shohih, hasan dan dhoif-nya), tinjauannya tentang status rowi hadis dan asbabul wurud-nya. Kiai kemudian memberikan penjelasan, ulasan atau tinjauan secara luas dan dalam terhadap satu atau beberapa teks hadis yang dibaca sebelumnya. Bahkan penjelasannya terkadang dihubungkan dengan suatu kasus terbaru atau kejadian sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat, disertai nasehat-nasehat dan motivasi untuk meningkatkan amal shaleh. Terkadang di tengah-tengah penjelasannya itu diselipi dengan sejarah, kisah atau cerita yang berkaitan dengan materi, dan juga diselingi dengan humor atau guyonan segar, sehingga suasana pengajian tidak nampak serius dan tegang, tetapi penuh dengan keceriaan dan semangat.

Dari paparan diatas dapatlah disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan metode pengajaran K.H. Ali Maksum, sebagai berikut:

a.   Beberapa Metode Pengajaran yang digunakan:
1). Metode Pepujian/dzikir. Metode yang dilakukan sebelum pengajian dimulai dengan cara membaca Manzhumah Asmaul Husna yang berisi pepujian dan doa-dzikir dengan menyebut-nyebut Asma’ Allah ini dapat meningkatkan rasa beriman dan taqarrub kepada Alloh, serta dapat menciptakan ketenangan dan ketentraman jiwa santri. Ketentraman jiwa inilah yang pada akhirnya nanti dapat menciptakan konsentrasi santri dalam belajarnya.
2).  Metode Ceramah/Kuliah. Metode ini mendominasi proses pengajaran sistem weton. Dalam metode ini yang aktif adalah kiai, sedangkan santri bersikap pasif, yakni sekedar mendengar dan menerima penjelasan apa adanya. Terus menerus mempergunakan metode ini dapat menyebabkan santri merasa jenuh, bosan dan akhirnya mengantuk. Akibatnya, materi pelajaran  tidak sepenuhnya dapat terserap oleh daya nalar santri. Untuk mengatasi kelemahan ini, diperlukan metode pengajaran yang bervariasi, diantaranya adalah metode kisah/cerita, motivasi dan reinforcement (mendorong semangat), dialog, dll.
3). Metode kisah/cerita. Metode yang diselipkan di tengah-tengah ceramah ini dapat mengatasi kejenuhan dan dapat meningkatkan konsentrasi pikiran santri pada materi pokok. Dengan metode ini diharapkan santri dapat melakukan ’ibrah (perenungan atas peristiwa), santri akan lebih mudah memahami materi/teori dan pada akhirnya terdorong untuk  mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mencontoh dan mensuriteladani kehidupan tokoh/figur yang dikisahkan tersebut. 
4).  Metode motivasi dan reinforcement (mendorong semangat). Dalam prakteknya, metode ini diterapkan melalui pemberian nasehat (mau’izhah hasanah), motivasi berupa janji pahala dan ancaman siksa (targhib wat tarhib) serta kisah/cerita kehidupan penghuni surga dan neraka. Metode ini sangat bermanfaat mendorong santri untuk mempraktekkan ilmu atau teori dalam kehidupan sehari-harinya, mendorongnya untuk ber-musabaqoh (berlomba-lomba) dalam kebaikan, serta meningkatkan amal sholeh dan menghindari keburukan.
5). Humor dan guyonan segar di tengah-tengah pengajian mampu mengatasi kejenuhan, kebosanan dan ketegangan suasana, serta mampu membangkitkan keceriaan, semangat dan konsentrasi santri untuk mengikuti pengajaran, selama hal ini dilakukan sekedarnya dan tidak terus menerus dari awal hingga akhir pengajaran. Guyonan segar sering digunakan K.H. Ali Maksum untuk mengkritik, mengkoreksi atau menyindir (al-Tanqibiyyah) perilaku para santri yang dipandangnya nyeleneh, kurang pantas atau menyimpang secara moral dengan tanpa menyebut identitas santri. Dengan metode ini para santri diharapkan secara sukarela dapat memperbaiki perilakunya, tanpa merasa sakit hati, malu atapun tersinggung. 
b.   Penjelasan K.H. Ali Maksum yang selalu dikaitkan dengan suatu kasus tertentu dan segala peristiwa dalam kehidupan nyata di tengah masyarakat menjadikan ilmu yang diperoleh santri tidak sekedar bersifat teoritis, namun juga bersifat fungsional sehingga mudah untuk diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
c.   Dengan metode pengajaran yang bervariasi tersebut, K.H. Ali mampu menciptakan iklim belajar yang kondusif untuk mendorong tercapainya keberhasilan dalam proses belajar mengajar secara efektif, sehingga santri dapat menguasai materi dan berbagai kompetensi yang diharapkan.
d. Orientasi pengajaran sistem weton model K.H. Ali lebih dititikberatkan pada segi pemahaman dan pendalaman isi kandungan Kitab Kuning, dan tidak sekedar mengungkap makna lafzhiyah saja. Target yang ingin dicapai ialah bagaimana santri mampu mengungkap makna lafzhiyah disertai dengan memahami isi kandungannya. Oleh karena itu, untuk mengkhatamkan sebuah kitab terkadang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun, tergantung tebal-tipisnya kitab yang dikaji. Barangkali inilah yang membedakan orientasi pengajaran sistem weton di pesantren Al-Munawwir Krapyak dengan pesantren-pesantren salaf pada umumnya. Meskipun memerlukan waktu yang relatif lama, para santri sangat antusias, apalagi metode yang digunakan K.H. Ali sangat beragam dalam setiap pengajiannya, tergantung situasi dan kondisi. Hal ini dibuktikan dengan membanjirnya para santri yang mengikuti setiap pengajian yang di-balah atau diajarkan secara langsung oleh K.H. Ali Maksum.



[1]  A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press,  2008, cet.1. halm 133

[2]  Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 30

[3] Menurut K.H. Ali Maksum, bahwa niat atau motivasi dalam thalabul ilmi yang dilakukan secara ikhlas lillahi ta’ala, lii’lai kalimatillah atau semata-mata untuk kepentingan ilmu dan untuk diamalkan serta untuk diabdikan kepada masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, merupakan daya pendorong dan perangsang yang dapat mengarahkan langkah santri untuk sukses memperoleh ilmu yang bermanfaat. (Samsul Munir Amin, op.cit., Halm. 187-188)

[4]  Yang dimaksud dengan “ilmu terapan” di sini ialah ilmu-ilmu yang perlu diketahui dan segera diterapkan atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari

[5] Santri yang tingkat ketidakhadirannya (tanpa disertai alasan yang dibenarkan) lebih dari 25 % tidak diperkenankan mengikuti ujian semester. (Wawancara dengan Drs. K.H. Asyhari Abta, 04-09-2010)

[6]  Kitab ini di-balah K.H. Ali pada sekitar tahun 1987 sampai wafatnya (1989), dan belum sampai khatam.

[7] “Gedung Baru” merupakan salah satu nama dari beberapa gedung atau lokal tempat pengajaran yang dibangun atas sumbangan dari Presiden Soeharto (pemerintah pusat) pada era tahun 1970-an. Disebut gedung baru karena pada saat itu merupakan satu-satunya gedung terbaru dari sekian puluh gedung yang ada.

[8]  Manzhumah al-Asmaul Husna merupakan bacaan dzikir Al-Asmaul Husna sekaligus berisi doa dalam bentuk nazhoman (syi’ir), tulisan Syaikh Yusuf bin Ism’ail an-Nabhani, yang diterima ijazah-nya oleh K.H. Ali Maksum dari ayahnya (K.H. Maksum Lasem) dan gurunya (K.H. Dimyati Tremas), dari Syekh Mahfuzh at-Tirmasi, begitu seterusnya sampai kepada penyusunnya, Syaikh Yusuf bin Ism’ail an-Nabhani. (Lihat: Achmad Suchaimi, Berdoa dengan Asmaul Husna dan Sholawat Nabi, Surabaya: RoudhoH, 2006,)

[9]  Pengeras suara ini diatur sedimikian rupa, kabelnya disambungkan ke beberapa pengeras suara yang di pasang di beberapa tempat strategis, sehingga sampai terdengar jauh keluar gedung, menjangkau sudut-sudut pesantren dan dapat  didengarkan sebagian besar santri.


[10] Misalnya lambang huruf “م” untuk mununjukkan kedudukan nahwiyah sebagai mubtada’, diartikan “utawi. Lambang huruf “خ” menunjukkan kedudukannya sebagai khobar diartikan “iku”. Lambang huruf “ف” untuk menunjukkan kedudukan fa’il, diartikan opo atau sopo, dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar