Kamis, 23 Mei 2013

Perjalanan Panjang Pesantren Krapyak Yogya : Periode KHM Munawwir (1911-1940)*. - 1



 _________________________
Oleh :  Achmad Suchaimi

Letak Geografis Dan Latar Belakang Berdirinya P.P. Al-Munawwir Krapyak
Pondok Pesantren Al-Munawwir  secara geografis terletak di dusun Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
Dusun Krapyak Kulon dikelilingi oleh dusun-dusun sebagai berikut: sebelah utara adalah Kalurahan Jogokaryan Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. sebelah timur dan selatan adalah dusun Krapyak Wetan, dusun Sorowajan dan dusun Glugo Janganan, keduanya terletak di desa Panggungharjo, Sewon, kabupaten Bantul; sedangkan sebelah barat adalah dusun Dongkelan, desa Tirtonirmolo, kecamatam Kasihan, kabupaten Bantul.
Jarak tempuh dusun Krapyak Kulon dengan kantor Desa Panggungharjo 1,5 km, dengan kantor kecamatan 3,5 km, dengan kota kabupaten Bantul 8 km, dan dengan pusat kota Yogyakarta (Kraton) adalah 3 km.

Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta didirikan oleh K.H. Muhammad Munawwir pada tanggal 15 Nopember 1910 M dengan memfokuskan pendidikannya pada penghafalan Al-Qur’an. Pada awalnya, pesantren ini terkenal dengan sebutan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, disebabkan terletak di dusun Krapyak Yogyakarta, kemudian pada tahun 1976 diberi tambahan Al-Munawwir untuk mengenang nama pendirinya.
K.H.M. Munawwir lahir di kampung Kauman Yogyakarta, sebelah barat Masjid Agung Kraton Yogyakarta sekitar tahun 1870-an pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau merupakan putra kedua dari pasangan K.H. Abdullah Rosyad bin K.H. Hasan Bashori atau Kiyai Kasan Besari[1] (Dongkelan Yogyakarta) dengan Ibu Khodijah (Bantul Yogyakarta).
Sejak kecil, K.H.M. Munawwir mendapatkan pendidikan keislaman dari orang tuanya dan menunjukkan bakatnya dalam menghafal Al-Qur’an. Mengetahui hal itu, K.H. Abdullah Rosyad tidak bosan-bosannya terus mendorong putranya untuk menekuni bakatnya, antara lain dengan  memberinya hadian Rp. 2,50 jika mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam waktu seminggu. Bahkan tanpa hadiah pun, beliau terbiasa mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali tanpa rasa bosan.   
Kehandalannya dalam menekuni Al Qur’an ini terlihat ketika mondok di Bangkalan Madura di bawah asuhan K.H.M. Kholil. K.H.M. Kholil sendiri mengakui kehandalan M. Munawwir kecil yang baru berusia 10 tahun dalam membaca Al-Qur’an. Dia sudah dipercaya menjadi imam shalat dengan dimakmumi oleh K.H. Kholil dan para santrinya. Semasa kecil sampai remaja, K.H.M. Munawwir tidak hanya menekuni ilmu Qiro’ah dan hafalan Al-Qur’an, akan tetapi juga belajar dan berguru ilmu-ilmu keislaman lainnya kepada beberapa kiai terkemuka saat itu. Diantaranya berguru kepada 1) K.H. Abdullah (Kanggotan Bantul),  2) K.H.M. Kholil (Bangkalan Madura),  3) K.H.  Sholeh (Ndarat, Semarang),  dan 4) K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Muntilan Magelang).[2]
Pada tahun 1888 K.H.M. Munawwir meneruskan belajar di tanah suci Makkah al Mukarramah dan Madinah al Munawwarah selama 21 tahun. Selama 16 tahun beliau habiskan di kota Makkah untuk mengkhususkan belajar di bidang ilmu Al Qur’an dan cabang-cabangnya, baik tahfidz, tafsir, maupun Qiro’ah Sab’ah
Diantara para guru beliau adalah : 1) Syaikh Abdullah Sanqoro, 2) Syaikh Syarbini, 3) Syaikh Mukri,  4) Syaikh Ibrahim Huzaimi,  5) Syaikh Mansyur,  6) Syaikh Abdus Syakur, 7) Syaikh Musthofa, dan  8) Syaikh Yusuf Hajar (guru spesialis ilmu qiro’ah sab’ah). Selanjutnya beliau pergi ke kota Madinah. Di kota ini beliau tinggal selama 5 tahun dan belajar ilmu-ilmu syariat, seperti tauhid, fiqih, hadits, ilmu bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan ilmu-ilmu lainnya. Sepulangnya dari tanah haram, K.H.M. Munawwir menjadi seorang kiai.[3]
Dalam tradisi pesantren, keabsahan dan kemasyhuran seorang kiai tidak hanya dikarenakan kepribadian yang dimilikinya. Ia menjadi kiai dikarenakan ada yang mengajarnya. Dengan begitu, ia pada dasarnya mewakili watak pesantren dan kiainya dimana ia belajar.  Keabsahan ilmunya dan jaminan ia sebagai murid dari seorang kiai terkenal dapat ia buktikan melalui “sanad” atau mata rantai transmisi keilmuan.[4]
Demikian pula K.H.M. Munawwir yang terkenal di Jawa sebagai seorang kiai yang paling kompeten di bidang ilmu Al-Qur’an di abad ke-20 ini memiliki sanad mutawatir di bidang ilmu qiro’ah Imam ‘Ashim menurut riwayat Imam Hafsh, yang beliau peroleh dari Syaikh Abd. Karim bin H. Umar Al Badri Ad Dimyathi dari Syaikh Ismail, dari Syaikh Ahmad Ar Rosyidi, dari Syaikh Musthofa bin Abdur Rahman Al Azmiri, dari Syaikh Hijaziy dari Syaikh Aly bin Sulaiman Al-Masyhury, dari Syaikh Sultan Al Muzany, dari Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al Fadholy, dari Syaikh Tahazah Al Yamani, dari Syaikh Namiruddin Ath-toblawiy, dari Syaikh Zakariyah Al Anshory, dari Syaikh Ahmad As Suyuthy, dari Syaikh Muhammad Ibnu Jazariy, dari al Imam Abi Abdullah Muhammad bin Kholiq al Mushriy Asy Syafi’iy, dari Al Imam Abil Hasan Ali Asy Syuja bin Salam bin Ali bin Musa Al Abbasi Al Mishriy, dari Al Imam Abi Qosim Asy Syatibi, dari Al Imam Abil Hasan bin Huzail, dari Al Hafidz Abi ‘Amr Ad Daniy, dari Abil Hasan Thohir, dari Syaikh Abil Abbas Al Asynaniy, dari ‘Ubaid Ibnu Shobbagh, dari Al Imam Hafsh dari Al-Imam ‘Ashim, dari Abdur Rahman As-Salma, dari : 1) Utsman bin Affan,  2) ‘Ubay bin Ka’ab,  3) Zaid bin Tsabit,  dan 4) Ali bin Abi Thalib.  Keempat sahabat tersebut mengambil bacaan langsung dari Rasulullah SAW, dari Allah SWT, melalui perantaraan malaikat Jibril A.S.[5]
Kemasyhuran K.H.M. Munawwir sebagai ulama ahli Al-Qur’an tidak lepas dari cita-cita K.H. Hasan Bashori, kakeknya yang pernah menjadi ajudan Pangeran Diponegoro, dan K.H. Abdullah Rosyad, ayahnya sendiri. Kakek dan ayahnya tersebut memang pernah bercita-cita untuk menguasai ilmu Al-Qur’an dan menjadi huffazh (penghafal Al-Qur’an), namun tidak kesampaian, sehingga mereka berharap agar salah satu dari keturunannya ada yang menjadi seorang ahli Al-Qur’an. Harapan mereka akhirnya terkabul dengan munculnya K.H.M. Munawwir.[6]
Pada awal tahun 1909 M, K.H.M. Munawwir  kembali dari tanah haram langsung menetap di rumah ayahnya (K.H. Abdullah Rosyad) di Kauman GM (Gondomanan) IV/276 Yogyakarta, dan langsung beliau menyelenggarakan pengajian Al-Qur’an di sebuah langgar kecil miliknya.[7]  Yang cukup menarik, langgar tempat mengajar K.H.M. Munawwir ini hanya beberapa meter dari rumah kediaman K.H. Ahmad Dahlan yang juga digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan klasikal (madrasah). Bedanya, K.H.M. Munawwir menggunakan sistem pesantren, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan dengan sistem madrasi (klasikal). Selang dua tahun setelah K.H.M. Munawwir pindah ke Krapyak, pada tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan di kemudian hari, kedua tokoh tersebut merupakan perintis di bidangnya masing-masing. K.H.M. Munawwir sebagai perintis berdirinya pesantren-pesantren di Yogyakarta, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan menjadi perintis berdirinya madrasah/sekolah-sekolah Muhammadiyah. 
Dalam waktu singkat, kurang dari satu tahun mengajar, usaha beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari kaum muslimin dan pengajian Al-Qur’annya semakin berkembang dengan pesat, sehingga ruangan langgar yang ada tidak mampu menampung para santri. Saat itu, datanglah K.H. Sa’id, seorang ulama terkenal dan pengasuh pesantren besar di Gedongan Cirebon, memberi saran kepada K.H.M. Munawwir agar mencari tempat diluar kampung Kauman, diluar wilayah benteng Kraton, untuk pendirian pesantren dan pengembangan pendidikan Al-Qur’annya, mengingat :
a. Kondisi perkampungan Kauman sempit, penuh sesak dengan perumahan dan penghuninya, sehingga  tidak memungkinkan untuk mengembangkan sebuah pondok pesantren.
b. Letak geografis dan lingkungan masyarakat di Kauman sendiri menurut perhitungannya kurang tepat didirikan sebuah pondok pesantren dan kurang mendukung para santri yang ingin menekuni penghafalan Al-Qur’an.
Setelah mempertimbangkan dengan cermat dan berniat sungguh-sungguh, saran itu beliau terima dengan baik. Di samping itu, ditambah dengan alasan untuk menghindarkan diri dari kewajiban “sebo” atau sowan kehadapan Raja di Kraton, apalagi saat itu beliau diangkat sebagai salah seorang “abdi dalem pamethakan” yang beranggotakan empat puluh (40) ulama/kiai Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat yang mempunyai tugas spiritual menjaga keamanan Kraton.  Akhirnya K.H.M. Munawwir menemukan sebuah tempat yang dinilai strategis untuk berdirinya sebuah pesantren, yakni sebidang tanah yang ditumbuhi semak-semak dan pepohohan lebat di dusun Krapyak, milik bapak Jopanggung, yang dibelinya dari uang amal H. Ali (Graksan-Cirebon).[8]
Pada akhir tahun 1909 M, dilaksanakanlah pembangunan pesantren tahap awal yang meliputi : pembangunan rumah kiai dan langgar yang bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Pada tanggal 15 Nopember 1910 M pesantren ini mulai ditempati para santri yang belajar Al Qur’an dan beliau sendiri sebagai pengasuhnya. Namun sebelum benar-benar pindah ke Krapyak, beliau bertempat tinggal untuk sementara di kampung Gading dalam rangka membantu kakak beliau, K.H. Mudzakkir,[9]  dalam mengajar pengajian Al Qur’an dan Ilmu Syariah. Setelah dibangunnya rumah, langgar dan kamar santri, K.H.M. Munawwir terus berusaha menyelesaikan pembangunan masjid tahap kedua, setelah tahap pertama yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Jalil.[10]   Pada tahun 1927 M pembangunan masjid tersebut telah selesai. Selain membangun sarana untuk ibadah (masjid dan langgar),  juga membangun sarana untuk tempat tinggal santri, yaitu bangunan komplek A, B, C, dan D.[11]
Dengan demikian, sejak awal berdirinya (1910 M), pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak sudah memenuhi syarat sebagai lembaga pendidikan Islam yang disebut “Pondok Pesantren”, karena yang disebut pondok pesantren  --menurut rumusan Zamakhsyari Dhofir-- paling tidak memiliki 5 (lima) elemen pokok, yaitu ada kiai, ada santri, ada pondok/asrama, ada masjid/langgar, dan ada pengajian kitab, yang dalam hal ini adalah pengajian ilmu Al-Qur’an.



[1])     K.H. Hasan Bashori atau Kiai Kasan Besari (bukan Kiai Kasan Besar pimpinan Pondok Tegalsari Ponorogo) merupakan ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau diangkat menjadi komandan perang untuk merebut daerah Kedu dari tangan Belanda, berdasarkan surat perintah dari Pangeran Diponegoro yang artinya :
Surat ini datang dari saja Kandjeng Gusti Pangeran Diponegoro serta Pengeran Mangkoe Boemi di Djogyakarta Adiningrat kepada semoea teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang semoenya mesti tahoe akan hal ini, laki-laki perempuan, besar ketjil, tidak perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapoen orang jang saja soroeh namanja Kasan Basari. Djikaloe soedah mengikoeti soerat oendangan saja ini biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama Rosoel (SAW tim). Djikalaoe ada jang berani tiada maoe pertjaya akan boenjinja soerat saja maka dia saja potong leher. Kamis tanggal 5 boelan Hadji/31 Djoeli 1825.”
Beliau pernah ditahan Belanda, lalu dibuang ke Menado dan menetap di sana hingga wafat, kemudian dimakamkan dekat makam P. Diponegoro di Menado.

[2])     Djunaidi A. Syakur, dkk., Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta : Pengurus Pusat PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 2001, cet.2. halm. 8; 
[3])     Ibid.
[4])     Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet.1. halm. 79.
[5])     Aly As’ad, dkk., K.H.M. Moenauwir , Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Yogyakarta, 1975, halm. 6;   Djunaidi, ibid., halm. 9
[6])     Ibid, halm.23;  Djunaidi A. Syakur, dkk., Ibid.,. halm. 10 ;  A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Makshum: Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1. halm. 22
[7])     Ibid., halm. 23.
Langgar kecil milik beliau ini sekarang menjadi Gedung Nasyiyatul ‘Aisyiyah Yogyakarta.
[8] )    Ibid. halm. 21; Djunaidi dkk, ibid. halm. 10-12; dan A.Zuhdi Mukhdlor, ibid. halm.23
[9] )    K.H. Mudzakkir adalah ayah kandung Prof. DR. Kahar Mudzakkir, tokoh Muhammadiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia Sembilan BPUPKI bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, K.H.A. Wachid Hasyim, dan lain sebagainya.  (H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet. 1, halm. 242).
[10]). Pada pembangunan tahap pertama tersebut terdapat suatu kisah: K.H. Abd. Jalil dalam memilih tempat untuk membangun masjid adalah dengan menggariskan tongkat sebagai batas luas bangunannya. Biqodloillah bekas garis itu tidak ditumbuhi rumput. Pada tempat tersebut beliau mulai meletakkan batu pertama, memasang fondasi dan terhenti baru sampai pembangunan dinding setinggi  ± 1 meter.
[11])   Djunaidi A. Syakur, dkk. Ibid. halm. 12
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar